Kelima dalam masalah metode bertalaqqi:

Ahlus Sunnah mengambil agama dari al-Qur`an dan sunnah yang shahih dengan berpijak kepada pemahaman generasi salaf shalih. Ahlus Sunnah tidak menyimpang dari koridor al-Qur`an dan sunnah, mereka meyakini bahwa di dalam keduanya terdapat kebenaran yang memadahi dan mencukupi kebutuhan manusia dalam perkara agama dan dunia, di samping itu Ahlus Sunnah memahami keduanya berdasarkan pemahaman salaf shalih karena sejarah telah berkata dengan jujur bahwa pemahaman mereka telah melahirkan interpretasi terbaik terhadap al-Qur`an dan sunnah.

Sementara Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam masalah ini berpijak kepada al-Qur`an dan sunnah akan tetapi dengan pemahaman kalami falsafi yang terinspirasi oleh akal murni dan filsafat Yunani. Hal ini melahirkan pemikiran yang menyimpang yang bisa dibaca dari perkara-perkara berikut:

Pertama: Memahami al-Qur`an dan sunnah dengan pemahaman falsafi kalami membawa mereka kepada pemikiran dimungkinkannya pertentangan antara dalil aqli dan dalil naqli dan jika hal itu terjadi maka yang pertama wajib didahulukan di atas yang kedua.

Bandingkan hal ini dengan apa yang diyakini dan dipegang oleh Ahlus Sunnah, bahwa di antara dalil aqli dan dalil naqli tidak ada pertentangan, akal yang lurus tidak akan bertentangan dengan dalil syar’i yang shahih, jika terjadi pertentangan maka kemungkinan akalnya tidak lurus, atau akalnya lurus dan dalil syar’inya tidak shahih.
Dengan asumsi dalil akal bertentangan dengan dalil naqli, Ahlus Sunnah tetap mengedepankan yang kedua. Masalah ini telah penulis jelaskan dalam bantahan terhadap pemikiran Asy’ariyah. Silakan dirujuk.

Kedua: Memahami al-Qur`an dan sunnah dengan pemahaman falsafi kalami membawa kepada pemikiran penolakan terhadap hadits Ahad dalam bidang akidah. Sebuah pemikiran yang bertentangan dengan al-Qur`an, sunnah dan ijma’ para sahabat. Penulis telah mengkajinya dalam bantahan terhadap pemikiran Asy’ariyah.

Ketiga: Memahami al-Qur`an dan sunnah dengan pemahaman falsafi kalami membuat Maturidiyah membagi dasar-dasar agama menjadi dua: aqliyat dan sam’iyat, sebuah pembagian baru yang tidak berdasar kepada al-Qur`an dan sunnah dan tidak dikenal dalam istilah para sahabat, generasi terbaik umat ini.

Sementara Asy’ariyah membaginya menjadi tiga: perkara yang ditetapkan oleh akal murni, perkara yang ditetapkan oleh akal dan naql dan perkara yang ditetapkan oleh naql. Setali tiga uang dengan Maturidiyah. Sama-sama memasukkan akal ke dalam wilayah yang bukan haknya.

Keempat: Memahami al-Qur`an dan sunnah dengan pemahaman falsafi kalami membuat Asy’ariyah berkata, kewajiban mukallaf pertama adalah nazhar, sementara Ahlus Sunnah berkata, kewajiban pertama mukallaf adalah beriman atau berikrar syahadatain.

Dari pemaparan di atas pembaca bisa menilai dengan obyektif dan adil tanpa ruh fanatik buta, benarkah Asy’ariyah dan Maturidiyah itu Ahlus Sunnah? Penulis sendiri berpendapat bahwa Asy’ariyah dan Maturidiyah termasuk Ahlus Sunnah dengan syarat mereka berkenan rujuk kepada sunnah Rasulullah saw dan pemahaman salaf shalih.

Dengan jujur penulis mengatakan bahwa persimpangan antara Ahlus Sunnah di satu pihak dengan Asy’ariyah dan Maturidiyah di pihak lain bukan perkara remeh, atau perkara di mana dalil-dalil memang memungkinkan. Ambil satu contoh, penolakan hadits Ahad dalam menetapkan akidah. Berapa banyak perkara-perkara akidah yang ditetapkan oleh hadits Ahad, para sahabat tidak pernah mempersoalkannya apalagi menggugatnya, demikian pula para tabiin dan para imam-imam yang menjadi panutan dalam agama seperti Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, lalu datang Asy’ariyah dan Maturidiyah dan mereka memposisikan diri mereka seolah-olah mereka lebih mengetahui daripada para sahabat. Jika menuruti kemauan mereka maka berapa banyak hadits Rasulullah saw dalam perkara akidah yang kita campakkan hanya karena hadits-hadits tersebut tidak diriwayatkan secara mutawatir? Inikah adab seorang muslim kepada Rasulullah saw ?

Kata terakhir.

Penulis menutup pembicaraan ini dengan ucapan Syaikh Muhammad Shalih al-Utsimin dalam al-Qawaid al-Mutsla, beliau berkata, “Kami tidak mengingkari bahwa sebagian ulama yang menisbatkan diri kepada Asy’ari memiliki jasa besar dalam Islam dalam bentuk pembelaan terhadapnya, perhatian besar terhadap kitab Allah dan sunnah Rasulullah saw baik dari segi riwayat maupun dirayat, kesungguhan dalam memberi petunjuk dan manfaat kepada kaum muslimin, akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa mereka terjaga dari kekeliruan dalam perkara-perkara di mana mereka memang keliru di dalamnya dan menerima semua yang mereka katakan, hal ini juga tidak menghalangi kita untuk menjelaskan kekeliruan mereka dan membantahnya karena hal itu berarti menjelaskan kebenaran dan memberi petunjuk kepada kaum muslimin.

Kami tidak mengingkari bahwa sebagian dari mereka mempunyai maksud yang baik dalam apa yang dikatakannya dan kebenaran samar baginya, akan tetapi dalam perkara menerima suatu pendapat tidak cukup hanya berpijak kepada maksud baik semata, harus ada kesesuaiannya dengan syariat Allah azj, jika ia menyelisihi maka wajib ditolak siapapun dia berdasarkan sabda Nabi saw, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak berdasarkan perintah dariku maka ia tertolak.” Selesai. Wallahu a’lam.