Tanya :

Kewajiban mensyukuri segala kinikmatan dan tidak menggunakannya bukan pada tempatnya.

Jawab :

Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga Allah mencurahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para shahabatnya. Amma ba’du:

Adakalanya Allah Subhannahu wa Ta’ala menguji hamba-Nya dengan kefakiran dan kemiskinan, sebagaimana terjadi pada penduduk negeri ini (Saudi Arabia) pada awal abad 14 Hijriah. Allah Subhannahu wa Ta’ala telah berfirman,
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan hanya kepada-Nya lah kami kembali.” (Al-Baqarah: 155-156).
Allah Subhannahu wa Ta’ala juga memberikan cobaan-Nya berupa kenikmatan dan kelapangan rizki, sebagaimana realita kita saat ini, untuk menguji iman dan kesyukuran mereka. Dia berfirman sebagai berikut:
“Sesungguhnya harta dan anak-anak kamu adalah cobaan. Dan Allah, di sisi-Nya ada pahala yang sangat besar.” (At-Taghabun: 15).

Kesudahan yang terpuji di dalam semua cobaan itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang-orang yang amal perbuatan mereka sejalan dengan apa yang disyari’atkan Allah, seperti sabar dan hanya mengharap pahala di dalam kondisi fakir, bersyukur kepada Allah atas segala karunia-Nya dan menggunakan harta pada penggunaan yang tepat di waktu kaya dan sederhana di dalam membelanjakan harta kekayaan pada tempatnya, baik untuk keperluan makan dan minum, dengan tidak pelit terhadap diri dan keluarga, dan tidak pula israf (berlebih-lebihan) di dalam menghabiskan harta kekayan pada sesuatu yang tidak ada perlunya.

Allah Subhannahu wa Ta’ala telah melarang sikap buruk tersebut, seraya berfirman,
“Dan jangalah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (israf) karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (Al-Isra’: 29).

Dan firman-Nya,
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta mereka (yang dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” (An-Nisa’: 5).

Pada ayat di atas Allah melarang menyerahkan harta kekayaan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, sebab mereka akan membelanjakannya bukan pada tempatnya. Maka hal itu berarti bahwa membelanjakan harta kekayaan bukan pada tempatnya (yang syar’i) adalah merupakan perkara yang dilarang.

Allah Subhannahu wa Ta’ala juga berfirman,
“Hai anak Adam (manusia), pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A’raf: 31).

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-sau-dara syetan.” (Al-Isra’: 26-27).

Israf adalah membelanjakan harta kekayaan melebihi kebutuhan yang semestinya. Sedangkan tabdzir adalah membelanjakannya bukan pada tempat yang layak.

Sungguh, banyak sekali manusia saat ini yang diberi cobaan, yaitu berlebih-lebihan di dalam hal makanan dan minuman, terutama ketika mengadakan pesta-pesta dan resepsi pernikahan, mereka tidak puas dengan sekedar kebutuhan yang diperlukan, bahkan banyak sekali di antara mereka yang membuang makanan yang tersisa dari makanan yang telah dimakan orang lain, dibuang di dalam tong sampah dan di jalan-jalan. Ini merupakan kufur nikmat dan merupakan faktor penyebab hilangnya kenikmatan. Orang yang berakal adalah orang yang mampu menimbang semua perkara dengan timbangan kebutuhan, maka apabila ada sedikit kelebihan makanan dari yang dibutuhkan, ia segera mencari orang yang membutuhkannya, dan jika ia tidak mendapkannya, maka ia tempatkan sisa tersebut jauh dari tempat yang menghinakan, agar dimakan oleh binatang melata atau siapa saja yang Allah kehendaki, dan supaya terhindar dari penghinaan. Maka wajib atas setiap Muslim ber-upaya maksimal menghindari larangan Allah Subhannahu wa Ta’ala dan menjadi orang yang bijak di dalam segala tindakannya seraya mengharap keridhaan Allah, mensyukuri karunia-Nya, agar tidak meremehkan atau menggunakannya bukan pada tempat yang tepat.

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman,
“Dam ingatlah, tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7).

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepada-Mu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan jangan kamu meng-ingkari (ni’mat)-Ku.” (Al-Baqarah: 152).

Allah Subhannahu wa Ta’ala juga menginformasikan bahwa bersyukur (terimakasih) itu haruslah dengan amal, tidak hanya sekedar dengan lisan. Dia berfirman,
“Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur” (Saba’: 13).

Jadi, bersyukur kepada Allah itu dilakukan dengan hati, lisan dan perbuatan. Barangsiapa yang bersyukur kepada-Nya dalam bentuk ucapan dan amal perbuatan, niscaya Allah tambahkan kepadanya sebagian dari karunia-Nya dan memberinya kesudahan (nasib) yang baik; dan barangsiapa yang mengingkari ni’mat Allah dan tidak menggunakannya pada jalan yang benar, maka ia berada dalam posisi bahaya yang sangat besar, karena Allah Subhannahu wa Ta’ala telah mengancamnya dengan adzab yang sangat pedih. Semoga Allah berkenan memperbaiki kondisi kaum Muslimin dan membimbing kita serta mereka untuk bisa bersyukur kepada-Nya dan mempergunakan semua karunia dan ni’mat-Nya untuk ketaatan kepada-Nya dan kebaikan bagi hamba-hamba-Nya. Hanya Dialah yang Maha Kuasa melakukan itu semua. Shalawat dan salam semoga tetap dilimpah-kan kepada Nabi kita, Muhammad, keluarga dan para shahabatnya.
(Ibnu Baz: Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, jilid 4, hal. 37. )