Telah dijelaskan sebelumnya bahwa berhukum kepada Allah adalah kewajiban, lalu bagaimana bila kewajiban ini diabaikan, sebaliknya hukum yang diterapkan bukanlah hukum Allah?

Berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah Taala adalah kekufuran mengeluarkan dari agama, membatalkan iman dalam beberapa bentuk dan keadaan, di antaranya:

1- Meletakkan syariat selain apa yang diturunkan Allah Taala

Kewajiban mengesakan Allah dalam hukum dan peletakkan syariat telah disebutkan sebelumnya, “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-A’raf: 54).

Jika Allah ta’ala adalah satu-satunya pencipta, pemberi rizki, yang menghidupkan, yang mematikan tidak ada sekutu bagiNya dalam sifat-sifat tersebut maka Dia subhanahu wa ta’ala adalah satu-satunya peletak syariat yang menghalalkan dan yang mengharamkan. Agama tidak lain kecuali apa yang Allah syariatkan, tidak seorang pun berhak meletakkan suatu syariat yang tidak hadir dari Allah dan tidak pula dari Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam.

Peletakan syariat adalah hak murni Allah semata tiada sekutu bagiNya barangsiapa merebut sebagian darinya dari Allah maka dia musyrik, firman Allah ta’ala, artinya, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syura: 21).

Ibnu Katsir berkata tentang ayat ini, “Yakni mereka tidak mengikuti agama lurus yang Allah letakkan bagimu, akan tetapi mereka mengikuti syariat setan dari jin dan manusia dengan mengharamkan apa yang diharamkan oleh setan dalam bentuk bahirah (Bahiirah: ialah unta betina yang telah beranak lima kali dan anak kelima itu jantan, lalu unta betina itu dibelah telinganya, dilepaskan, tidak boleh ditunggangi lagi dan tidak boleh diambil air susunya.
-ed), washilah (seekor domba betina melahirkan anak kembar yang terdiri dari jantan dan betina, maka yang jantan ini disebut washiilah, tidak disembelih dan diserahkan kepada berhala.
-ed), sa`ibah (Saaibah: ialah unta betina yang dibiarkan pergi kemana saja lantaran sesuatu nazar. Seperti, jika seorang Arab Jahiliyah akan melakukan sesuatu atau perjalanan yang berat, maka ia biasa bernazar akan menjadikan untanya saaibah bila maksud atau perjalanannya berhasil dengan selamat.
-ed)dan ham(Haam: unta jantan yang tidak boleh diganggu gugat lagi, karena telah dapat membuntingkan unta betina sepuluh kali. Perlakuan terhadap bahiirah, saaibah, washiilah dan haam ini adalah kepercayaan Arab Jahiliyah.
-ed), menghalalkan makan bangkai, darah, judi dan kesesatan serta kebodohan-kebodohan batil yang mereka buat-buat dalam jahiliyah mereka dalam bentuk penghalalan, pengharaman, ibadah-ibadah batil dan harta-harta yang haram.”

2- Mengingkari bahwa hukum Allah dan rasulNya berhak untuk diterapkan

Sebagaimana dalam riwayat Ibnu Abbas tentang firman Allah ta’ala, artinya : “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44), Ibnu Abbas berkata, “Barangsiapa mengingkari apa yang diturunkan Allah maka dia kafir.”

Mengingkari hukum Allah Taala adalah penolakan terhadap syariat Allah Taala dan pendustaan terhadap nash-nash al-Qur’an dan sunnah, para ulama telah berijma’ mengkafirkan orang yang mengingkari hukum yang diketahui secara mendasar dalam agama, ijma’ ini disampaikan oleh para ulama dalam jumlah besar.

Asy-Syinqithi berkata, “Barangsiapa tidak berhakim kepada apa yang diturunkan Allah karena menentang para rasul dan membatalkan hukum-hukum Allah maka kezhalimannya, kefasikannya dan kekufurannya mengeluarkan dari agama.”

Tidak luput dari kita bahwa pengingkaran ini pada dasarnya merupakan kekufuran meskipun tidak diiringi dengan berhukum kepada selain syariat, pengingkaran tetaplah kafir tidak berbeda apakah dia berhukum kepada selain yang diturunkan Allah atau tidak.

3- Mengedepankan hukum thaghut daripada hukum Allah Taala

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab telah menyebutkan keadaan ini di antara pembatal-pembatal Islam, dia berkata, “Barangsiapa meyakini bahwa petunjuk selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih sempurna daripada petunjuknya atau hukum selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih baik daripada hukumnya seperti orang yang mengunggulkan hukum para thaghut di atas hukumNya maka dia kafir.”

Syaikh Muhammad bin Ibrahim berkata, “Barangsiapa meyakini bahwa hukum selain rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih baik daripada hukumnya, lebih sempurna, lebih memadahi terhadap hukum yang dibutuhkan oleh manusia pada saat terjadi perselisihan baik secara mutlak atau berdasarkan peristiwa-peristiwa baru yang lahir karena perkembangan zaman dan perubahan keadaan maka tidak diragukan bahwa ia adalah kekufuran karena dia mengunggulkan hukum-hukum makhluk yang sebenarnya hanyalah kotoran akal dan ampas pemikiran di atas hukum Allah yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”

Musuh-musuh agama telah memakai berbagai cara demi meminggirkan syariat Islam dan mengunggulkan hukum thaghut di atas hukum Allah, anda bisa melihat mereka berkata,” Islam adalah agama rohani tidak memiliki keterkaitan dengan perkara-perkara dunia seperti muamalat, peradilan, politik, hudud dan lain-lain”.

Ahmad Syakir berkata tentang orang-orang tersebut dan hukum Allah pada mereka, “Al-Qur`an sarat dengan hukum-hukum dan kaidah-kaidah mulia dalam masalah-masalah sipil, perniagaan, hukum-hukum perang, perdamaian, hukum-hukum peperangan, harta rampasan perang, tawanan perang, al-Qur`an juga penuh dengan nash-nash yang jelas tentang hudud dan qishash. Oleh karena itu barangsiapa mengklaim bahwa Islam hanyalah agama ibadah saja maka dia mengingkari semua ini, dia telah berdusta besar atas nama Allah, dia mengira bahwa orang tertentu siapapun dia atau organisasi tertentu apapun ia berhak menggugurkan ketaatan kepada Allah dan mengamalkan hukum-hukumnya sebagaimana yang diwajibkan oleh Allah, hal ini tidak diucapkan dan tidak akan diucapkan oleh seorang muslim, dan barangsiapa mengucapkannya maka dia telah keluar dari Islam seluruhnya dan dia menolak Islam semuanya walaupun dia shalat, puasa dan mengaku muslim.”

Para musuh tersebut mengklaim bahwa berhukum kepada syariat berarti mengakui diktator politik dan teror pemikiran, mereka berpegang kepada kejadian di Eropa ketika orang-orang gereja berkuasa, terkadang mereka meneriakkan kebekuan syariat dan bahwa ia tidak mampu mengatasi kehidupan yang maju dan berkembang dan terkadang pula mereka menuduh hukum-hukum hudud dan qishash brutal tidak sesuai dengan kemanusiaan zaman ini.

4- Mensejajarkan hukum Allah Taala dengan hukum thaghut

Dan meyakini bahwa kedua hal tersebut setara maka ini adalah kekufuran yang mengeluarkan dari agama karena hal tersebut berarti menyamakan makhluk dengan Khalik di samping menentang dan menantang berdasarkan firman Allah, yang artinya : “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (Asy-Syura: 11).

Menyamakan hukum Ilahi dengan hukum manusiawi adalah pelecehan terhadap Allah, berlebih-lebihan dan melampui batas terhadap hukum manusia, syirik kepada Allah Taala karena menyamakan berarti mengangkat sekutu bagi Allah Taala. Firman Allah ta’ala, artinya : “Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (An-Nahl: 74).

Ibnu Katsir berkata tentang ayat ini, “Yakni janganlah kamu membuat sekutu-sekutu, tandingan-tandingan dan saingan-saingan bagiNya. Sesungguhnya Allah mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui yakni dia mengetahui dan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang haq selain Allah sementara kalian dengan kebodohan kalian meyekutukan selainNya denganNya.”

Jika memang demikian perkaranya maka tidak ada yang lebih sesat dan lebih buruk keadaannya daripada orang-orang yang menyamakan hukum Allah Taala yang tidak ada penolak bagi hukumNya dengan hukum manusia yang lemah dan terbatas.

Ibnu Taimiyah berkata, “Barangsiapa ingin ditaati bersama Allah maka dia menginginkan orang-orang mengangkat sekutu-sekutu selain Allah, yang mereka cintai seperti menyintai Allah padahal Allah memerintahkan agar hanya Dia yang disembah dan agar agama hanyalah untukNya.”

Allah Taala mengabarkan tentang penghuni neraka bahwa mereka berkata kepada tuhan-tuhan mereka ketika mereka di dalamnya, “Demi Allah, sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakanmu dengan Tuhan semesta alam.” (Asy-Syu’ara`: 97-98). Wallahu a’lam.