PERBEDAAN-PERBEDAAN ANTARA “AT-TANATHTHU’” DAN “TARKU SYUBHAT”

Perbedaan antara at-Tanathu’ yang ada dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Celakalah al-Mutahathi’un.”( Muslim no. 2670) dan “ijtanibu syubhat” dalam sabdanya, “Maka barangsiapa yang menjauhi syubhat, berarti ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya.” (Bukhari no. 52, Muslim no. 1599 dari hadits Nu’man bin Basyir RA)

Syeikh Ibnu Jibrin berkata (Majmu Fatawa Syaikh ibnu Jibrin, al-‘Akidah juz kedua.) tentang sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Celakalah al-Mutanathi’un.” Ibnu Jibrin menafsirkan bahwa at-Tanathu’ adalah berlebihan dan sikap keras, baik dalam perkataan atau perbuatan, sesungguhnya berlebihan dan sikap keras tersebut merupakan jalan menuju kehancuran atau mendekatinya, tetapi hal tersebut tidak akan jelas kecuali dengan contoh.

Contohnya dalam masalah wudhu. Sebagian orang bersikap keras atau berlebihan, ia mengulanginya berkali-kali dalam membasuh anggota wudhu dan berkeyakinan bahwasanya anggota wudhu tersebut tidak akan suci kecuali dengan mengulanginya berkali-kali dan ini termasuk kategori at-Tanathu’. Begitu pula dalam masalah mandi dan menghilangkan najis, kamu akan mendapati sikap keras atau berlebihan, dan tidak diragukan lagi bahwa hal tersebut merupakan kehancuran.

Adapun hal tersebut dikatakan kehancuran, karena sesungguhnya hal itu merupakan jalan yang menuju kepada sikap mempersulit diri atau meremehkan pekerjaan orang lain. Yang mana ia mengira bahwa pekerjaan orang lain tersebut adalah batal bahkan para Rasul dan sahabat pun menurut penilaiannya adalah orang yang melakukan kekurangan karena lalai tidak melakukan seperti apa yang ia lakukan.

Demikian pula contoh dari at-Tanathu’ adalah sikap keras atau berlebihan dalam mengeluarkan huruf, yang mana ia mengira bahwasannya ia tidak mengeluarkan huruf tersebut apabila ia berbicara. Sehingga disebutkan bahwa sebagian dari mereka apabila ia hendak mengucapkan huruf “dhod” maka ia berlebihan, sehingga ia mengeluarkan air ludahnya disebabkan sangat berlebihan dalam mengeluarkan huruf tersebut. Ia telah mempersulit dirinya sendiri, dan terkadang mempersulit dirinya dalam mengucapkan sebagian huruf yang mati (sukun) dalam takbiratul ihram dengan mengulang-ulang huruf “kaf” pada kalimat “Allahu Akbar” sebanyak tiga kali, dan ini termasuk dalam kategori at-tanathu’ al-madzmun (tercela). Dan “al-Mutanathi’un” terkadang mengulang-ulang fatihah sehingga imam ruku’ sebelum ia menyelesaikannya (fatihah). Maka berdasarkan contoh-contoh tersebut dapatlah diambil kesimpulan bahwa at-tanathu’ adalah sikap keras atau berlebihan dalam urusan yang disyari’atkan sehingga mengeluarkannya dari yang seharusnya, dan mengakibatkan amalannya menjadi batal. Inilah standar atau ukuran untuk at-tanathu’.

Adapun tarku syubhat (meninggalkan syubhat) yang disebut-kan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam haditsnya,

فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَ عِرْضِهِ

“Barangsiapa yang meninggalkan syubhat, maka ia telah meyelamatkan agama dan harga dirinya.” (Bukhari no. 52, Muslim no. 1599 dari hadits Nu’man bin Basyir RA) Dalam ungkapan tersebut tidak ada makna al-tanathu sedikit pun, melainkan tarku syubhat ini adalah sikap hati-hati terhadap sesuatu karena ditakutkan sesuatu tersebut tergolong kepada yang haram, kemudian menjauhkan diri darinya karena takut itu akan menjerumuskannya pada keharaman. Diriwayatkan dari sebagian kaum salaf sebagaimana yang disebutkan Ibnu Rajab dalam penjelasan hadits ini dari kitab “Jami’ul Ulum Wal Hikam” bahwasanya ia berkata, “Seorang manusia tidak akan bisa selamat se-hingga ia meninggalkan sesuatu yang mengandung syubhat (keraguan), atau melakukan sesuatu yang bukan haram namun di takutkan sesuatu tersebut diharamkan, atau sebagaimana yang dikatakannya.” Ini berkaitan dengan sesuatu yang diragukan.”

Contohnya, anda mengetahui bahwa mu’amalah ini digunakan oleh sebagian orang, tetapi anda tidak memiliki dalil yang kuat untuk membolehkannya, dan anda takut mu’amalah tersebut termasuk dalam sesuatu yang dilarang. Maka anda harus meninggalkannya sehingga anda selamat dari yang diharamkan.

Adapun jika anda meninggalkan yang syubhat secara keseluruhan, maka dengan yakin anda telah meninggalkan yang haram. Jika anda melakukan yang syubhat, maka boleh jadi di dalamnya terdapat keraguan. Sesuatu yang syubhat (meragukan) terkadang membawa seseorang kepada yang bukan syubhat, bahkan membawanya kepada keharaman yang nyata. Inilah makna yang ditunjukkan oleh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَ عِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ

“Barangsiapa yang meninggalkan syubhat maka ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya, dan barangsiapa yang terjerumus pada syubhat berarti ia terjerumus pada yang haram.” (Muslim no. 1599 dari hadits Nu’man bin Basyir RA.)