Manakah yang utama, apakah bergabung bersama manusia atau memisahkan diri dari mereka?

Menurut madzhab asy-Syafi’i dan mayoritas ulama bahwa bergabung bersama manusia lebih utama dengan syarat dapat selamat dari berbagai fitnahnya. Mayoritas ulama menjelaskan hadits yang berkenaan dengan uzlah, mencakup uzlah ketika banyak terjadi bencana dan peperangan, atau uzlah pada orang-orang yang tidak mungkin selamat darinya dan tidak bisa bersabar bersama mereka atau pada kasus-kasus yang khusus, seperti hadits Uqbah bin Amir,

أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ, وَلْيَسَعَكَ بَيْتُكَ, وَابْكِ عَلىَ خَطِيْئَتِكَ

“Tahanlah lisanmu, cukuplah rumahmu untukmu, dan menangislah atas dosa-dosamu” (HR. Turmudzi no. 240, hadits Hasan.)

Hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya, “Orang yang bagaimana yang lebih utama?” Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang mukmin yang berjihad dengan dirinya dan hartanya di jalan Allah.” Ia bertanya lagi, “Siapa lagi?” Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kemudian orang-orang mukmin yang berada di salah satu syi’ib (jaln setapak yang berada di antara dua bukit), ia beribadah kepada Allah Ta’ala dan meninggalkan kejelekan masyarakat.” (HR Bukhari no.2786, Muslim no.1888.)

Tidak boleh Menjeneralisasi seruan al-I’tizal [menjauhkan diri] Atas semua manusia dan di setiap keadaan. Kalau tidak, maka kapan dilaksanakannya kewajiban syari’at yang dituntut secara bersama dan kerja sama.?!

Para Nabi shalawatullah ‘alaihim dan mayoritas para shahabat, para tabi’in, para ulama, serta ahli zuhud yang berbaur dengan masyarakat. Mereka telah memperoleh manfaat kebersamaan seperti hadir pada shalat Jum’at, shalat berjama’ah, mengurus jenazah, menjenguk orang sakit, serta majlis-majlis dzikir (ilmu) dan sebagainya.

Dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri yang telah disebutkan menjelaskan keagungan posisi mujahid, bahwa ia sebaik-baik manusia, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Seorang laki-laki dari shahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam melintas pada sebuah syi’ib yang ada padanya mata air yang menawan hatinya. Lalu berkata, “Kalau aku menjauhi manusia, maka aku akan berdiri ditengah-tengah kaum ini, namun aku tidak melakukan sampai Rasulullah memberikan izin.” Lalu diceritakanlah hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda,

لاَ تَفْعَلُ فَإِنَّ مَقَامَ أَحَدِكُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهِ فِيْ بَيْتِهِ سَبْعِيْنَ عَامًا, أَلاَ تُحِبُّوْنَ أَنْ يَغْفِرَ اللهُ لَكُمْ وَيُدْخِلُكُمْ الْجَنَّةَ !! أُغْزُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ, مَنْ قَتَلَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ فَوَاقَ نَاقَةِ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّة.

“Janganlah engkau lakukan, sesungguhnya tempat seseorang di antaramu di jalan Allah lebih utama dari pada shalat di rumahnya 70 tahun. Sukakah kamu andai Allah mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam surga? Berperanglah di jalan Allah, barangsiapa berperang di jalan Allah seukuran lamanya memerah susu onta, maka berhak baginya surga.” (HR Tirmidzi no. 1650, Ahmad dalam Musnadnya Juz II no. 524. Menurut at-Turmudji hadits ini Hasan, sedangkan Imam al-Bani menshahihkannya dalam Silsilah al-Shahihah hal. 902)

Masih dari Abu Hurairah ia berkata bahwa dikatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ya Rasulullah apakah yang dapat menandingi jihad di jalan Allah?” Beliau bersabda, “Kalian tidak akan bisa melakukannya.” dan mereka mengulangi perkataannya dua bahkan tiga kali. Dalam semua itu beliau bersabda, “Kalian tidak akan bisa melakukannya.” Kemudian beliau bersabda,

مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتٍ لاَ يَفْتَرُ مِنْ صَلاَةٍ وَلاَ صِيَامٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ

“Perumpamaan seorang mujahid di jalan Allah seperti orang yang berpuasa, yang tunduk kepada ayat-ayat Allah, ia tidak akan usai dari shalat dan puasanya sehingga kembali menjadi mujahid di jalan Allah” (HR Bukhari no. 2785, dan Muslim no.1878 dengan lafadz baginya.).

Dalam satu riwayat, ada seorang laki-laki berkata, “Ya Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amal yang menyamai jihad?” Beliau bersabda, “Aku tidak menemukannya!” kemudian beliau bertanya,

هَلْ تَسْتَطِيْعُ إِذَا خَرَجَ الْمُجَاهِدُ أَنْ تَدْخُلَ مَسْجَدَكَ فَتَقُوْمَ وَلاَ تَفْتُرُ وَتَصُوْمُ وَلاَ تُفْطِرُ

“Apakah engkau mampu apabila seorang mujahid keluar lalu kamu masuk ke masjidmu dan mendirikan shalat tidak henti-hentinya dan melaksanakan shaum tidak berbuka-buka?” maka ia berkata, “Siapa yang mampu melaksanakannya?” (HR Bukhari no.27785)

Dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, berkata, Aku bertanya; Wahai rasulullah amalan apakah yang paling utama? Lalu beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan berjihad di jalan-Nya.” (HR. Bukhari No. 2518 dan muslim No. 84)

Dari Salman radhiallahu ‘anhu. ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَ قِيَامِهِ, وَإِنْ مَاتَ فِيْهِ أُجْرِيَ عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِيْ كَانَ يَعْمَلُ, وَأُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ أَمَنَ الفَتَّانُ

“Ribath sehari semalam lebih baik dari shaum sebulan dan mendirikan shalat malamnya. Jika ia mati akan mengalir baginya pahala amal yang ia lakukan, dan akan mengalir rizki baginya serta akan terjaga dari malaikat Munkar Nakir” (HR Muslim no.1913) Dari Utsman, radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berjihad di jalan Allah lebih baik dari 1000 hari lainnya di rumah.” (HR Tirmidzi no.1667, dan Nasai no.3169 dan 3170, Ahmad dalam Musnad (1/65). Ahmad Syakir berkata saat mengomentari al-Musnad no.470, bahwa sanadnya shahih.)

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, “Satu malam berjihad di jalan Allah lebih aku cintai dari pada aku mendirikan shalat di malam lailatul qodar di dekat Hajar Aswad”

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa sesungguhnya berjaganya orang-orang muslim di perbatasan seperti pintu negeri Syam dan Mesir lebih utama daripada beri’tikaf di tiga mesjid. Kemudian ia berkata lagi, “Aku tidak tahu kalau dalam hal ini ada pertentangan antara ahlul ilmi. Ini telah dikemukakan oleh para imam karena ar-ribath termasuk dari jenis jihad, sedangkan I’tikaf paling-paling punckanya adalah seperti haji. Firman Allah yang artinya, “Apakah orang-orang yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji di mesjidil haram kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta jihad di jalan Allah? Mereka tidak sama disisi Allah” (at-Taubah: 19) (Tahsil Zad Litahqiq al Jihad, Said Abdul Adhim hal. 47-49)