Hendaknya Seorang Da’i Menyingkap Tabir Pembatas Antara Dia Dan Masyarakat

Di antara saudara-saudara kita para da`i ketika melihat suatu kaum berada dalam kemungkaran, ia enggan untuk mendatangi dan menasehati mereka dengan alasan bahwa ia benci terhadap kemungkaran tersebut. Demikian itu suatu tindakan yang salah dan sama sekali tidak sesuai dengan prinsip hikmah. Bahkan konsekwensi hikmah engkau harus mendatangi dan menasehati mereka serta memberi peringatan dan ancaman kepada mereka, dan janganlah kefasikan mereka membuat anda merasa berat dan enggan mendatangi dan berkumpul bersama mereka. Apabila engkau –wahai para da`i muslim- tidak mau datang dan berkumpul dalam rangka menasehati mereka ke jalan Allah, maka siapa lagi yang bisa diharapkan untuk memperbaiki mereka?

Apakah kita serahkan kepada orang-orang fasik seperti mereka? Ataukah kita serahkan kepada orang-orang yang tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah untuk memperbaiki mereka? Itu semua sama sekali tidak mungkin, oleh karena itu, sudah seharusnya seorang da`i memiliki kesabaran yang ganda sebagaimana telah kami jelaskan di atas dan hendaknya seorang da`i menghilangkan pembatas antara dirinya dengan masyarakat sehingga dakwahnya lebih mengena kepada mereka. Adapun bersikap eksklusif (tertutup), maka hal ini menyelisihi dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah, Nabi pernah pergi ke Mina untuk menemui orang-orang musyrik dan menyeru mereka kepada jalan Allah. Telah diriwayatkan bahwa beliau bersabda:

أَلاَ أَحَدٌ يَحْمِلُنِيْ حَتَّى أُبَلِّغَ كَلاَمَ رَبِّيْ فَإِنَّ قُرَيْشًا مَنَعَتْنِيْ أَنْ أُبَلِّغَ كَلاَمَ رَبِّيْ.

“Apakah ada orang yang mampu membawaku (ke Mina) sehingga aku menyampaikan risalah Rabbku kepada mereka? Sesungguhnya kaum Quraisy telah menghalangiku untuk menyampaikan risalah Rabbku.”

Jika Nabi telah melakukan hal di atas, sementara beliau adalah seorang imam dan teladan kita, maka hendaknya kita meniru beliau dalam berdakwah dan mengajak umat manusia kepada jalan Allah.