Kedua: Pembajakan Pesawat atau Kapal Laut, serta Penculikan Orang

Sesungguhnya tindakan itu adalah gambaran dari kebiadaban dan gambaran dari para pengikut orang jahat, yang mana mereka berlindung di balik orang-orang yang tidak berdosa dan mencampakkan diri mereka pada marabahaya, baik mereka itu laki-laki atau perempuan besar atau kecil dari kalangan kaum Muslimin dan orang yang darahnya terlindungi. Dalam perbuatan seperti ini terdapat pengkhianatan yang tercela, mengganggu keamanan, menghilangkan kemaslahatan negara dan manusia. Secara umum perbuatan seperti ini tidak membawa atau mendatangkan kemaslahatan yang berarti. Karena itulah kita mengatakan bahwa perbuatan tersebut adalah haram dan merupakan suatu kejahatan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِيْ هُرَّةٍ حَبَسَتْهَا, حَتَّى مَاتَتْ فَدَخَلَتْ فِيْهَا النَّارَ, وَ قِيْلَ لَهَا, لاَ أَنْتِ أَطْعَمْتِهَا وَلاَ سَقَيْتِهَا حَتَّى حَبَسْتِهَا, وَلاَ أَنْتِ أَرْسَلْتِهَا فَأَكَلَتْ مِنْ خَشَاشِ اْلأَرْضِ

“Seorang perempuan disiksa karena ia mengurung kucing sehinga kucing tersebut mati. Maka perempuan itu pun masuk neraka dan dikatakan kepadanya, ‘Kamu tidak memberinya makan dan tidak memberinya minum dan mengurungnya. Kamu tidak melepaskannya hingga kucing itu dapat memakan serangga-serangga tanah.” (Dikeluarkan oleh Imam Bukhari No. 3482 dan oleh Imam Muslim No. 2242 dari hadist Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma. Dan dikeluarkan oleh Imam Muslim juga No. 2243 dari hadist Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu.)

Sesungguhnya perbuatan perempuan tersebut merupakan fenomena dari kerasnya hati dan hilangnya rasa kasih sayang dari hati. Rasa kasih sayang tidak akan hilang kecuali dari hati yang sakit, dan perbuatan mereka tadi tidak jauh dari perbuatan perempuan ini.

Sebaliknya dari itu Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ketika seorang laki-laki melakukan perjalanan ia merasakan haus yang sangat, ia pun menuruni sebuah sumur dan minum darinya kemudian keluar. Tiba-tiba ia mendapatkan seekor anjing yang menjulurkan lidahnya sambil memakan tanah karena rasa haus yang sangat. Ia berkata, “Sungguh anjing ini telah ditimpa rasa haus sebagaimana telah menimpa diriku.” Ia kemudian memenuhi sepatunya dengan air kemudian digigit dengan mulutnya. Ia naik dari sumur kemudian memberi minum pada anjing tersebut. Allah Ta’ala pun memujinya dan mengampuni dosanya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah berbuat baik terhadap hewan ada pahalanya bagi kita?” Beliau menjawab, “Pada setiap hewan yang hidup ada pahalanya.” (Dikeluarkan oleh Imam Bukhari No. 2363 dan oleh Imam Muslim No. 2244.) Maka jadikanlah atau ambilah hadits ini sebagai pelajaran wahai orang-orang yang mempunyai pandangan! (Kitab Tahsilu Zad Litahkiki al-Jihad karya Sa’id Abdul Adzim halaman 206-207.)

Syaikh Ibnu Baz berkata, (Ket : Perkataan Syekh Abdul Aziz Bin Baz dipublikasikan dalam buku Fattawa wal Maqalah al-Mutanawi’ah karya beliau sendiri Juz 1 halaman 276-289 sebagaimana telah dipublikasikan oleh majalah Tauhid yang dikeluarkan oleh kelompok Ansoru Sunah al-Muhamdiyah di Mesir tanggal 8-10-01.) “Sudah dimaklumi bagi setiap orang yang memiliki pandangan paling rendah, bahwasanya pembajakan pesawat, dan penculikan seseorang dari kedutaan besar dan yang lainnya, merupakan kejahatan-kejahatan besar dan Internasional yang mengakibatkan kerusakan dan bahaya yang besar, mempersempit gerak langkah orang-orang tak berdosa serta menyakiti mereka yang tidak dapat dihitung kecuali oleh Allah Ta’ala.

Sebagaimana telah menjadi maklum pula bahwasanya kejahatan-kejahatan ini bahayanya tidak hanya menimpa salah satu negara saja atau salah satu kelompok saja tetapi menyeluruh ke seluruh dunia.

Tidak diragukan lagi bahwa tindakan yang merupakan bagian dari kejahatan seperti ini. Yang harus dilakukan oleh pemerintah dan orang-orang yang memiliki tanggung jawab adalah memberikan perhatian yang serius dan berusaha keras yang mungkin dilakukan untuk menghentikan dan memutuskan kejahatannya. Allah Ta’ala telah menurunkan kitab-Nya al-Qur’an sebagai penjelas bagi segala sesuatu, sebagai petunjuk, rahmat, serta kabar gembira bagi kaum Muslimin. Allah Ta’ala telah mengutus Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai rahmat bagi seluruh alam, dan sebagai hujjah atas hamba seluruhnya. Allah telah mewajibkan kepada jin dan manusia untuk menghukumi dengan syariat-Nya dan merujuk kepadanya serta mengembalikan permasalahan yang diperselisihkan manusia kepada kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya, ”Maka demi Tuhanmu mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisa: 65); firman Allah, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan siapakah yang lebih baik (hukumnya) daripada Allah bagi orang-orang yang yakin.” (al-Maidah: 50)

Firman Allah, “Wahai orang-orang yang beriman taatlah kamu sekalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, juga kepada para pemimpin di antara kamu. Maka jika kamu sekalian berselisih pada suatu urusan, kembalikanlah urusan tersebut kepada Allah dan Rasul, jika kamu sekalian beriman kepada Allah dan hari akhir, yang demikian itu lebih utama bagi kamu dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa: 59).

Para ulama telah bersepakat bahwa yang dimaksud dengan mengembalikan urusan kepada Allah adalah kepada kitab-Nya yang mulia, dan mengembalikan kepada Rasul-Nya adalah mengembalikan kepadanya pada saat beliau masih hidup dan kepada Sunnahnya yang shahih setelah beliau wafat.

Allah Ta’ala berfirman, “Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka (putusannya) terserah kepada Allah.” (asy-Syuura: 10).

Maka ayat-ayat ini dan yang lainnya yang semakna, menunjukkan kepada kewajiban untuk mengembalikan apa yang diperselisihkan manusia kepada Allah Ta’ala dan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Itulah yang dimaksud dengan mengembalikan permasalahan kepada hukum Allah Ta’ala, dan menunjukkan pula kepada peringatan dari sesuatu yang menyalahinya dalam segala urusan, dan yang terpenting dari urusan tersebut yang bahaya dan kejelekannya menyeluruh adalah seperti penculikan dan pembajakan.

Maka kewajiban negara yang di dalamnya terdapat pelaku penculikan serta pembajakan adalah menerapkan syari’at Allah kepada mereka, dikarenakan dampak negatif yang diakibatkan kejahatan mereka yang keji terhadap hak-hak Allah dan hamba-Nya, serta menimbulkan bahaya-bahaya yang banyak, dan kerusakan-kerusakan yang besar.

Tidak ada solusi yang dapat memutuskan pangkalnya dan menghentikan kejelekannya kecuali solusi yang telah ditetapkan Allah yang Maha Bijaksana dan Maha Penyayang dalam kitab-Nya yang mulia, dan dibawa oleh hamba-Nya yang paling ikhlas dan utama juga paling penyayang, sebagai pemimpin generasi pertama dan terakhir, beliau adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliaulah satu-satunya solusi yang harus difahami oleh para penculik dan yang diculik, dan harus difahami pula oleh orang-orang yang mempunyai hubungan dengan mereka dan yang lainnya, hati mereka akan rela kepadanya (Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam) apabila mereka benar-benar orang yang beriman. Jika mereka bukan orang yang beriman, maka Allah Ta’ala telah memerintahkan Nabi-Nya untuk menghukumi mereka dengan syari’at-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya,

“Dan hukumilah di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (orang kafir).” (al-Maidah : 49) dan firman-Nya yang lain, “Dan apabila kamu menghukumi maka hukumilah di antara mereka dengan adil. “ (al-Maidah: 42).

Berdasarkan atas apa yang telah kami sebutkan, maka yang harus dilakukan oleh setiap negara yang ditekan oleh para penculik atau pembajak adalah membentuk panitia dari kalangan para ulama syari’at Islam untuk melihat permasalahan tersebut, dan mempe-lajarinya dari berbagai sisi kemudian menghukuminya dengan syari’at Allah.

Para ulama tersebut harus menghukumi permasalahan tersebut berdasarkan pada kitab Allah dan Sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mencari tahu dalam permasalahan tersebut dengan apa yang telah disebutkan oleh para ulama syari’at pada ayat “muhaaribah” (peperangan) dari surat al-Maidah, “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat diamnya) yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.” (al-Maidah: 33). Dan apa yang telah disebutkan para ulama pada setiap madzhab pada bab “Qitho’u Thorik” (perampok), kemudian mereka mengeluarkan hukumnya yang diperkuat oleh dalil-dalil syari’at.

Pemerintah yang ditekan oleh para penculik atau pembajak tersebut harus menerapkan hukum syari’at, sebagai bukti ketaatan kepada Allah, menjunjung tinggi perintah-Nya, menjalankan syariat-Nya, menghentikan kejahatan yang besar ini, dan sebagai motivasi untuk mewujudkan atau mencapai keamanan, serta sebagai rahmat dan keadilan bagi orang yang diculik.

Adapun undang-undang yang dibuat manusia untuk kasus ini tanpa didasarkan pada kitab Allah Ta’ala, dan sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, semua itu ketetapan manusia dan bagi umat Islam tidak dibolehkan untuk merujuk kepadanya, dan sebagiannya tidak lebih baik dari sebagian yang lain untuk dijadikan rujukan, karena undang-undang tersebut kesemuanya merupakan hukum jahiliyah dan “thogut” yang telah diperingatkan Allah darinya. Keinginan untuk merujuk kepada hukum jahiliyah dan “thogut” ini dinisbatkan kepada orang-orang munafik sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada “thogut” padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari “thogut” itu. Dan syetan bermaksud untuk menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” (an-Nisa: 60-61).

Maka tidak dibolehkan bagi pemeluk Islam untuk menyerupai musuh-musuh Allah yang munafik dengan merujuk atau berhukum kepada selain Allah, dan menghalangi manusia dari hukum Allah dan Rasul-Nya.

Juga tidak dibolehkan bagi pemeluk Islam untuk berhujjah dengan apa yang dilakukan oleh mayoritas umat Islam dari berhukum terhadap undang-undang buatan manusia, karena semua itu tidak akan membebaskannya dan tidak akan menjadikannya (berhukum terhadap undang-undang yang dibuat manusia) menjadi boleh. Bahkan perbuatan itu termasuk dari perbuatan yang paling mungkar, walaupun hal tersebut dilakukan oleh mayoritas umat Islam. Keterlibatan mayoritas umat Islam dalam melakukan suatu perbuatan (yang menyalahi syari’at) bukanlah sebagai dalil atas kebolehannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (al-An’am 116).

Setiap hakim atau penguasa yang menyalahi syari’at Islam maka ia termasuk dari hukum jahiliyah, Allah Ta’ala berfirman, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan siapakah yang lebih baik (hukumnya) dari hukum Allah bagi kaum yang yakin.” (al-Maidah: 50).

Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa menghukumi dengan selain yang diturunkan Allah adalah kufur, zalim, dan fasik. Allah Ta’ala berfirman dalam surat al-Maidah, “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” “Barang-siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (al-Maidah 44, 45, 47)

Ayat-ayat ini dan yang lainnya yang semakna, mewajibkan atas umat Islam untuk berhati-hati dari tindakan menghukumi dengan selain yang telah diturunkan Allah, dan hendaknya mereka membebaskan diri dari perbuatan tersebut, kemudian bersegera untuk berhukum kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, serta berlapang dada terhadap hukum tersebut dan menyerahkan diri kepada-Nya.

Apabila ada suatu kasus atau peristiwa yang bahayanya menyeluruh seperti penculikan, maka kewajiban untuk mengembalikan hukumnya kepada Allah dan Rasul-Nya lebih kuat dan lebih besar dalam kewajibannya, karena Allah Ta’ala Dia Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, Dia Hakim yang paling bijaksana, Dia Maha Penyayang, dan mengetahui akan kemaslahatan hamba-Nya, Dia akan menjauhkan dari hamba-Nya marabahaya dan akan menghentikan dari mereka kerusakan pada masa sekarang dan mendatang, maka mereka harus mengembalikan permasalahan yang diperselisihkan kepada kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, karena pada keduanya terdapat kecukupan, kepuasan, solusi untuk problematika, dan penyelesaian atau pelenyapan setiap kejelekan bagi orang yang berpegang teguh kepada keduanya dan istiqomah atas keduanya, juga menghukumi dengan keduanya dan menghukumi kepada keduanya sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya dalam ayat-ayat muhkamat.

Dikarenakan besarnya bahaya kejahatan ini, saya melihat bahwa yang harus dilakukan adalah mempublikasikan perkataan ini sebagai nasihat bagi umat, membebaskan kewajiban, memberikan peringatan bagi masyarakat umum dengan kewajiban yang besar ini dan sebagai bentuk kerjasama para penanggung jawab untuk melakukan kebaikan dan ketakwaan.”

Syaikh Ibnu Jibrin ditanya, “Sebagian orang melakukan pembajakan terhadap pesawat atau kapal laut, dan mereka menghendaki dengan tindakan tersebut memberikan tekanan terhadap fihak yang memiliki pesawat atau kapal laut ini. Mereka memberikan ancaman terhadap para penumpangnya dengan ancaman pembunuhan, bahkan mereka betul-betul membunuh sebagian dari mereka hingga permintaannya dituruti. Maka apakah hukum perbuatan seperti ini? Apalagi perbuatan seperti ini telah mengejutkan atau mengagetkan para penumpang?” (Majmu Fatawa wa-Rasail Syekh Ibnu Jibrin, al-Akidah Juz 8.)

Maka beliau menjawab, “Pemerintah harus melakukan alternatif yang cukup untuk melawan para pembelot, dan menghukumi mereka, dan pemerintah juga harus membekali setiap kelompok dari para pilot dengan orang yang menjaganya, yang bisa menghadapi atau melawan para pelaku aniaya yang berusaha untuk membajak. Sebagaimana mereka melakukan pemeriksaan yang sempurna sebelum menaiki pesawat, mereka tidak membiarkan satu orang pun meninggalkan tempat, kecuali setelah dipastikan bahwasannya setiap orang tidak membawa senjata walaupun hanya sekedar besi kecuali setelah diketahuinya. Berbarengan dengan itu sebagian kelompok ada yang melakukan pemaksaan terhadap sebagian pilot untuk merubah arah. Maka apabila ada orang yang mampu mengalahkan mereka dari kalangan tentara dan penumpang niscaya rencana mereka akan bisa digagalkan.

Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan yang dilakukan oleh mereka itu adalah kesalahan, kebodohan, kesesatan, serta merupakan tindakan melampaui batas dan mengagetkan orang yang dalam kondisi aman dari para penumpang. Selain itu memberikan ancaman dengan sesuatu yang tidak mungkin mereka (penumpang) lakukan dan tidak mungkin pula untuk memutuskannya, Wallahu a’lam.”