Bagaimana Kita Mengobati Realita Yang Menyakitkan

Sebagian orang bertanya, “Solusi apa yang bisa mengeluarkan dunia Islam dan orang-orang Muslim dewasa ini dari penindasan dan tekanan musuh dari berbagai segi? Apakah termasuk solusi dengan mengkafirkan orang-orang, pemerintah, dan hijrah dari masyarakat? Apakah solusinya mengadakan kudeta terhadap pemerintahan? Apakah termasuk sebuah solusi mengadakan peledakan, pembantaian, dan yang semacamnya? Apakah solusinya kembali pada Kitabullah dan as-Sunnah, serta mengikuti pemahaman orang-orang salaf dan mendidik manusia sesuai aturan agama Islam yang benar?

Untuk mengetahui jawaban yang benar dan jelas, kita harus kembali pada para ulama kita. Kita ajukan kepada mereka persoalan-persoalan. Kemudian, kita mengambil jawaban yang memuaskan dari mereka. Insya Allah hal itu akan menjadi obat bagi kondisi yang di derita umat Islam.

Syaikh al-Albani seorang ahli hadits terkemuka ditanya (Ket : Dikutip dari kaset no 760. Rekaman pada majlis telah sempurna pada tanggal 26/10/1413 H/1993M yang kemudian di cetak dalam kitab Fatawa Syaikh al-Albani dan Perbandingan Fatwa Ulama oleh Ukasyah Abdul Manan hal. 219, 236.), “ Syaikh, mengetahui bahwa dewasa ini kondisi umat Islam diperangi di berbagai pelosok, sedangkan tidak ada perhatian dari pemerintah. Maka apa yang harus kita lakukan dalam kondisi seperti ini? Apakah kita akan berdosa jika hanya duduk bersenang-senang tanpa melakukan apa-apa?”

Beliau menjawab, “Pertanyaan dilihat dari zahir dan kalimatnya, sepertinya sangat sedikit daripada maksud terkandung di dalamnya. Ketika ia berkata, ‘Kita duduk dan tidak melakukan apa-apa’, Ini artinya (sesuatu tertentu) bukan (apa-apa sama sekali). Ini artinya sesuatu yang tertentu, karena tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa seorang Muslim harus hidup seperti hewan ternak,, tidak melakukan apa pun, karena ia diciptakan untuk maksud yang agung sekali, yaitu beribadah kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya. Karena itu, tidakkah dipahami oleh seseorang, seperti pertanyaan ini bahwa ia bermaksud tak melakukan apa-apa, akan tetapi ia bermaksud: tak melakukan suatu perbuatan yang sesuai dengan realita ini, yang mana orang-orang Muslim terkuasai dari berbagai segi. Inilah zahir dari maksud penanya, bukan yang dikata-kan penanya.”

Atas pertanyaan tersebut, kami menjawab, “Kondisi orang-orang Muslim pada saat ini tidak jauh berbeda, baik sedikit ataupun banyak, dengan keadaan dakwah Islam pada periode pertama, yaitu periode Mekkah (Ket : Al-Albani berkata, “Realita Muslimin sekarang lebih buruk daripada orang Arab dalam memahami kalimat Lailaha Illallah, karena orang Arab memahaminya namun tidak meng-imaninya. Adapun orang Muslim sekarang mereka mengatakannya namun tidak meya-kininya, mereka mengatakan Lailaha Illalllah sedangkan mereka menolak terhadap maknanya” dikutip dari kaset ke 157. Ditranskip ke dalam kitab Fatwa- fatwa al-Bani dan perbandingan fatwa para ulama oleh Ukasyah Abdulmanan hal. 539- 554.) Kita tahu bahwa berjalannya dakwah pada saat itu (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) dalam menjalankan dakwahnya mendapat tentangan dari kaum yang beliau sendiri diutus kepadanya, seperti diterangkan dalam al-Qur’an. Kemudian, tatkala dakwah tersebar dan meluas ke daerah-daerah antara suku-suku bangsa Arab, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk hijrah dari Mekkah ke Madinah. Setelah Nabi Hijrah dan diikuti sebagian shahabatnya, mulailah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berniat mendirikan negara Islam di Madinah al-Munawwarah. Bersamaan dengan hal itu juga, mulailah muncul musuh-musuh baru terhadap dakwah, yang mana dakwah mendekati tempat kaum nasrani yaitu Rum (Romawi) yang pada saat itu dibawah penguasaan Heraclius. Muncullah di sana musuh baru terhadap dakwah yang bukan hanya dari Arab yang ada di jazirah Arab, akan tetapi dari nasrani, sebelah utara jazirah Arab.

Kemudian muncul musuh lain, yaitu persia, maka jadilah dakwah Islam ditentang (diperangi) dari setiap arah:

  • Dari orang-orang musyrik di jazirah Arab.

  • Dari orang-orang nasrani dan yahudi di sebagian penjuru jazirah Arab.

  • Dari Farsi (Persia) yang berseteru dengan orang-orang nasrani, seperti disinyalir dalam firman Allah Ta’ala, “Telah dikalahkan bangsa Romawi di negerinya yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun lagi” (ar-Ruum: 1-4)

Kesamaannya adalah kita tidak heran menyaksikan kondisi dakwah Islam sekarang yang mendapat tentangan (diperangi) dari beberapa sisi karena dakwah pada periode pertama juga diperangi dari setiap arah.

Dalam kondisi seperti ini, muncul pertanyaan, apa yang mesti kita kerjakan?

Apa tindakan Nabi shallallahu ‘alihi wasallam dan para sahabatnya yang pada waktu itu jumlah mereka sedikit bila dibandingkan dengan jumlah orang-orang Muslim sekarang? Apakah pada periode awal dakwah, orang-orang Muslim memerangi para pembangkang Arab? Apakah pada periode pertama dakwah orang-orang muslim memerangi kaum nasrani? Apakah orang-orang Muslim memerangi bangsa Persia?

Jawabnya, “Tidak, mereka tidak memerangi.”

Kalau demikian, apa tindakan orang-orang Muslim?

Kita sekarang harus melakukan apa yang dilakukan orang-orang Muslim pada periode pertama, karena yang menimpa kita sama dengan yang menimpa mereka, apa yang menjadi solusi terhadap apa yang menimpa mereka harus menjadi solusi terhadap yang menimpa kita.

Saya kira pendahuluan ini memberi isyarat untuk jawaban dan saya akan memperkuat isyarat itu dengan ungkapan yang jelas.

Maka saya katakan bahwa kesinambungan sejarah ini dimulai dalam satu kondisi bahwa Allah Ta’ala menolong orang-orang Mukmin pada periode pertama yang jumlahnya sangat sedikit bila dibandingkan dengan orang kafir dan orang-orang musyrik dari setiap aliran mereka. Sesungguhnya Allah menolong mereka karena keimannya.

Dengan demikian, pada saat itu solusi atau obat untuk menghadapi penentang dakwah sama dengan solusi dan obat yang sepantasnya digunakan oleh orang-orang Muslim dewasa ini, yaitu berupaya untuk mewujudkan realisasi solusi ini seperti telah diwujudkan oleh periode pertama. Persoalannya sama seperti yang dikatakan sejarah dapat terulang juga. Saya berkata bahwa sesungguhnya Allah telah menganugerahkan kepada hamba-Nya dan alam semesta yang telah diciptakannya dengan sebaik-baiknya ciptaan, dan telah mengaturnya dengan sebaik-baiknya aturan. Hal itu semua merupakan sunnah yang tidak akan berubah dan berganti-ganti, firman Allah Ta’ala yang artinya, “Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah dan sekali-kali kamu tidak akan (pula) menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu” (Fathir: 43)

Ini adalah sunnah Allah yang sepantasnya setiap Muslim memperhatikan dan menjaga sebenar-benarnya, khususnya mengenai sunnah syar’iyyah dan sunnah kauniyah, bahkan sekarang dikatakan ada sunnah thab’iyyah.

Sunnah kauniyah dan thab’iyyah, orang kafir dan orang Muslim, orang baik dan orang durhaka, bersama dapat mengetahuinya, seperti badaniyah manusia, makan, minum, udara yang bersih dan selain itu. Kalau manusia tidak makan, tidak minum, dan tidak menghirup udara segar, berarti ia telah mencampakkan dirinya pada kematian, mati dengan sebab materi.

Apakah mungkin dapat hidup jika tidak menggunakan sunnah kauniyah? Jawabannya, tidak mungkin, itu adalah sunnah Allah, “Sekali-kali kamu tidak akan pula menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu” (Fathir: 43)

Seperti saya katakan tadi, setiap manusia dapat mengetahuinya lewat pengetahuan dan eksperimen, baik Muslim, kafir, saleh, maupun durhaka. Yang penting buat kita sekarang dapat mengetahui sunnah syar’iyyah, barangsiapa yang mempelajarinya ia akan sampai pada tujuan sunnah tersebut, percis sama dengan sunnah kauniyah. Apabila seseorang mengambilnya dan menjalankannya, ia akan sampai pada tujuannya.

Inilah adalah perkataan yang dapat dipahami, namun membutuhkan pada penjelasan, jawaban atas pertanyaan penting itu:

Kita semua membaca ayat-ayat Allah bahkan ayat-ayat tersebut dapat menghiasi tempat-tempat atau dinding rumah, yaitu firman Allah, “Jika kamu sekalian menolong agama Allah tentu Allah akan menolong kalian” (Muhammad: 7) ayat ini terpampang di dinding-dinding dengan tulisan bervariasi, ada yang ditulis dengan tinra emas yang indah, ada yang ditulis dengan khat riq’ah, khat farsi, dan yang lainnya.

Namun sangat disayangkan, ayat ini hanya menjadi hiasan dinding, adapun hati orang-orang Muslim kosong dari kekuatannya, seakan-akan tidak tergores dengan maksud yang terkandung dalam ayat ini. Jika kalian menolong agama Allah, tentu Allah akan menolong kalian. Karena itu, dunia Islam dewasa ini menjadi tertekan seakan-akan tak menemukan jalan keluar, padahal jalan keluarnya disebutkan dalam ayat itu. Apabila kita membacakan ayat itu kepada orang-orang Muslim, kita berpendapat bahwa tidak membutuhkan pada keterangan yang luas, namun cukup sebagai pengingat saja karena mengingatkan dapat bermanfaat bagi orang Muslim.

Insya Allah kita semua tahu sesungguhnya firman Allah, “jika kalian menolong agama Allah” ini adalah syarat, dan jawabannya “(Allah) akan menolong kamu sekalian.”

Jika kamu makan … jika kamu minum …
jika … jika … Jawabnya, kamu akan hidup …
Jika kamu tidak makan … jika kamu tidak minum …
maka apa yang terjadi? Tentu kamu mati

Begitulah makna yang terkandung dalam ayat ini. (Jika kamu sekalian menolong agama Allah, Allah akan menolong kamu sekalian), menurut ahli ushul kebalikan dari ayat ini adalah, jika kamu tidak menolong agama Allah kalian tidak akan ditolong… inilah realita orang Muslim sekarang.

Penjelasan ayat ini terdapat dalam sunnah dan beberapa nash syar’i, terutama hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan firman Allah, (jika kamu sekalian menolong agama Allah), dapat diketahui dengan jelas bahwa tidaklah yang dimaksudkan oleh ayat, kita menolong Allah dari musuh-musuh-Nya dengan kekuatan tentara dan kekuatan materi. ! Bukan, bukan begitu! Sesungguhnya Allah menguasai semua urusan-Nya, Dia tidak membutuhkan pertolongan seorang pun berupa pertolongan materi, ini adalah perkara yang jelas. Oleh karena itu makna (jika kamu sekalian menolong agama Allah) adalah mengikuti hukum-hukum Allah, maka itulah arti menolong agama-Nya.

Sekarang,
Apakah orang-orang muslim melaksanakan syarat ini?
Apakah mereka melaksanakan kewajiban ini?
Adapun jawabannya, “Setiap orang di antara kalian pasti mengatakan orang-orang Muslim, tidak menolong agama Allah.”

Di sini, saya juga ingin mengatakan sebuah kalimat sebagai Tadzkir (peringatan) bukan bab ta’lim (pengajaran). Umumnya, orang-orang Muslim sekarang menyimpangkan pengetahuannya dari agama dan dari ajaran hukum agama. Mayoritas mereka tidak mengetahui Islam. Apabila di antara mereka mengetahui sedikit pengetahuan tentang Islam, pengetahuannya bukan dari Islam yang benar namun dari Islam yang telah disimpangkan dari ajaran Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena itu, pertolongan Allah dijanjikan, bagi orang yang Menolong Allah adalah bagi orang yang mengetahui Islam dengan pengetahuan yang shahih seperti yang datang dari Al-Qur’an dan Sunnah, kemudian yang kedua beramal dengan Islam tersebut, jika tidak maka bencana yang akan menimpa penganutnya. Firman Allah, “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang kamu tidak perbuat? Amat besar kebencian disisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan” (ash-Shaf: 2-3)

Dengan demikian, kita membutuhkan ajaran Islam dan beramal dengan Islam.

Yang ingin saya katakan juga seperti yang saya katakan tadi, yaitu kebiasaan mayoritas Muslim sekarang terkena berbagai celaan disebabkan kebiasaan orang-orang Muslim menghinakan dan menyepelekan hukum-hukum agama. Bersamaan dengan itu, mereka tidak menolong agama-Nya, tidak menolong orang-orang Muslim yang ditindas orang-orang kafir, yahudi, nasrani, dan yang lainnya. Demikianlah kebiasaan yang terjadi sekarang di kalangan orang-orang Muslim, menimpakan berbagai celaan kepada pemerintah, bersamaan dengan itu, orang-orang yang mencela tidak merasakan adanya celaan yang ditujukan kepada para hakim padahal sebenarnya celaan ini menimpa pada semua ummat, baik hakim maupun yang dihakimi.

Bukan ini saja, ada sekelompok orang yang mencela kepada pemerintahan Muslim dengan sebab tidak melaksanakan hukum agama. Mereka inilah yang berhak mendapat celaan karena menyalahi firman Allah, “jika kamu sekalian menolong agama Allah”, artinya orang-orang Muslim yang mencela terhadap hakim yang menyalahi hukum-hukum Islam ketika berupaya merubah kondisi ketertindasan orang-orang Muslim dengan jalan yang bertentangan dengan jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang mana mereka (1) Mendeklarasikan kekafiran pemerintahan muslim. (2) Mengumumkan kewajiban untuk keluar dari penguasa.

Maka muncullah fitnah yang membutakan, menulikan dan membungkam dikalangan kaum Muslimin sendiri. Sehingga mereka pun saling bercerai-berai. Di antara mereka adalah –kelompok yang telah saya singgung terdahulu- mereka yang menyangka bahwa kondisi kaum Muslimin yang tertidas serta terhina terwujud dengan cara keluar dari para penguasa. Polemik ini tidak berhenti sampai di sini, bahkan lebih tragis lagi (polemik) ini semakin meluas hingga terjadinya perselisihan di tubuh kaum Muslimin sendiri, sedangkan para penguasa jauh dari perselisihan ini. Kemudian muncullah polemik yang bersumber dari sikap ghuluw sebagian orang-orang Islam dalam memberikan solusi atas realita yang menyakitkan ini, yaitu dengan cara memerangi penguasa kaum Muslimin guna mewujudkan Kondisi yang kondusif. Namun pernyataan ini adalah bumerang yang digunakan untuk menyerang balik mereka oleh orang-orang Islam lainnya yang berpendapat bahwa solusi atas realita yang menyakitkan ini bukanlah dengan keluar dari para penguasa.

Kalau mayoritas mereka berhak keluar darinya dikarenakan tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah, maka apakah ada solusi seperti yang diprediksikan orang-orang, memulai dengan menghakimi pemerintahan di negeri Islam dari kaum Muslimin? Walaupun sebagian mereka kita anggap sebagai kaum Muslimin secara geografi, sebagaimana dikatakan di zaman modern ini.

Di sini kami berpendapat:

Tidak diragukan lagi bahwa sikap musuh-musuh Islam klasik yaitu yahudi, nasrani, dan atheis, mereka sangat bahaya dari para pemerintah itu yang tidak memenuhi keinginan orang-orang Muslim untuk menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah. Apa yang dapat dilakukan orang-orang Muslim yang ada dibelakang atau disamping mereka, yang mengumumkan wajib memerangi para hakim dari kaum Muslim, apa yang dapat mereka lakukan?

Kalau keluar dari pemerintahan, itu suatu hal yang mesti sebelum memulai dengan membersihkan (ishlah) diri-diri kita, yang mana itu merupakan solusi yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memulai dengannya. Sesungguhnya mereka tidak akan mampu melakukan sesuatu apa pun. Banyak realita yang menunjukkan atas hal itu, bahwa solusi yang mereka lakukan mulai dengan memerangi hakim-hakim Muslim, hal itu tidak akan menghasilkan hasil yang diharapkan karena seperti telah aku katakan tadi bahwa sebab (‘illat) bukan terletak pada para hakim saja, akan tetapi juga terletak pada yang di hukumi, maka wajib bagi mereka memperbaiki (ishlah) untuk masalah ini ada pembahasan lain yang telah kami bicarakan berulang-ulang dan sebentar lagi, insya Allah, akan kami bicarakan kembali. Sekarang yang terpenting bagi orang-orang Muslim semuanya sepakat bahwa kondisi mereka sedang dalam ketertindasan dan kehinaan, dalam arti mereka tidak mengetahui Islam.

Dari mana kita mulai?

Apakah kita memulai dengan memerangi hakim yang menghukumi orang Muslim? Ataukah kita memulai dengan memerangi seluruh orang kafir dari negeri Islam? Atau kita memulai dengan memerangi kejelekan nafsu amarah?

Dari sinilah kita harus memulai karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memu-lai dengan membersihkan jiwa orang-orang Muslim yang diseru (al-mad‘uwwiin) seperti telah kita ceritakan pada pembicaraan awal dakwah Islam. Bermula dakwah di Mekkah kemudian pindah ke Madinah, setelah itu mulailah muncul permusuhan antara orang-orang kafir dan orang-orang Muslim, kemudian antara orang-orang Muslim dengan orang-orang Romawi. Selanjutnya antara orang-orang muslim dengan orang-orang Persia. Demikianlah seperti yang telah kita ceritakan, dan sejarah akan terulang kembali.

Sekarang wajib bagi orang-orang Muslim menolong agama Allah untuk mengobati realita yang menyakitkan ini, bukan mengobati dengan cara lain (janib) karena tidak akan mendapatkan hasil yang diharapkan, sekalipun mampu melaksanakannya.

Apakah cara lain tersebut?

Memerangi hakim yang menghukumi tidak dengan apa-apa yang telah diturunkan Allah? Cara ini sekarang tidak akan bisa, karena mereka (hakim) sekali pun mereka kafir seperti yahudi dan nasrani, apakah orang-orang Muslim sekarang mampu memerangi yahudi dan nasrani?

Jawabannya, tidak!

Persoalannya persis seperti keadaan orang-orang Muslim pertama yaitu periode Mekkah, mereka tertindas dan terhina, diperangi, disiksa, dibunuh, mengapa begini?

Karena keadaan mereka lemah, tidak memiliki daya dan kekuatan kecuali keimanan yang ada dihatinya dengan sebab mengikuti dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam mengikuti dakwah ini harus disertai kesabaran atas segala cercaan inilah yang akan mendatangkan hasil. Hasil yang diharapkan dan kita dambakan sekarang.

Jalan apa yang dapat menghantarkan kepada hasil yang didambakan ini?

Yaitu jalan yang telah ditempuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya yang mulia.

Selama orang-orang Muslim tidak dapat memerangi orang kafir yang ada dalam berbagai kesesatannya.

Lalu apa yang wajib bagi mereka?

Mereka wajib beriman dengan sebenar-benar iman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, namun orang-orang Muslim sekarang keadaannya seperti yang telah difirmankan Rabb al-Alamiin, “Akan tetapi kebanyakan manusia mereka tidak mengetahui” (al-A’raf: 187), (Yusuf: 21), (Yusuf: 40), (Yusuf: 68), (an-Nahl: 38), (ar-Ruum: 6 dan 30). Orang-orang Muslim sekarang Muslim namanya saja, bukan Muslim sebenarnya.

Kalau kita ambil contoh mengenai hal itu sebuah firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang yang khusyu’ dalam shalatnya dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan yang tiada berguna) dan orang-orang yang menunaikan zakat dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa yang mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah yang melampaui batas” (al-Mukminuun: 1-7)

Kalau kita mengambil sifat dan karakter dalam ayat itu saja tidak kembali pada yang dimaksud ayat ini dalam ayat lain yang menceritakan sebagian sifat dan karakter yang tidak sebut dalam ayat diatas yang semuanya tertuju sekitar beramal dengan Islam. Maka barangsiapa yang memiliki sifat yang disebutkan dalam ayat di atas dan sifat yang disebutkan pada ayat lainnya, mereka itulah yang disinyalir dalam firman Allah Ta’ala, “mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman” (al-Anfaal: 74)

Apakah kita orang-orang yang benar-benar beriman? Jawabannya, tidak!

Kalau begitu, wahai saudara-saudara, janganlah terpedaya dan dapat dibodohi, berdzikirlah atau belajarlah agar dapat mengetahui obatnya.

Orang Islam sekarang tidak sebenar-benarnya Islam karena keimanan yang benar akan menuntut perbuatan yang benar pula. Kita sekarang senang mengerjakan shalat yang merupakan salah satu dari sifat dan karakter yang disebutkan dalam ayat, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya” (al-Mukminuun: 1-2)

Apakah kita orang yang khusyu’ dalam shalat?

Saya tidak berbicara atas nama seseorang, … dua orang … lima orang … sepuluh orang … seratus orang … dua ratus orang … seribu orang … dua ribu orang dan seterusnya.

Namun saya berbicara atas nama kaum Muslimin, setidaknya mereka yang mempertanyakan apa solusinya untuk menuntaskan hal yang menimpa kaum Muslimin?!

Saya tidak maksudkan orang-orang Muslim yang lalai, fasik, yang tidak memperhatikan kehidupan akhirat tetapi mereka mementingkan hawa nafsu dan perut mereka.

Saya akan membicarakan orang-orang Muslim yang mengerjakan shalat, apakah mereka tersifati dengan sifat yang tertera pada awal surat al-Mukminuun? Jawabannya, seperti jawaban jama’ah, seperti jawaban umat, “Tidak!”

Mereka mengharap keselamatan, namun tidak menempuh jalannya.
Perahu tidak dapat berlayar di tempat yang kering.

Maka mau tidak mau harus mengambil sebab yang merupakan kesempurnaan sunnah syar’iyyah. Setelah sunnah kauniyah, sehingga Allah yang Maha Agung menghilangkan kehinaan yang menimpa kita semua.

Ada beberapa hadits Nabi yang menyebutkan kondisi buruk kaum Muslimim sekarang. Sesungguhnya mereka kalau mengingat keburukan ini tentu akan bertanya, mengapa kehinaan ini menimpa kita? Karena mereka telah melupakan orang-orang yang menyalahi syari’at Allah. Di antara hadits-hadits itu, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ, وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ, وَرَضِيْتُمْ بِّالزَّرْعِ, وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ, سَلَطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ عَنْكُمْ حَتَّي تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ

“Apabila engkau melaksanakan riba dan mengambil ekor-ekor sapi, ridha dengan benih-benih yang ditanam serta meninggalkan jihad di jalan Allah, tentu akan tercampur padamu kehinaan yang kamu tidak akan bisa menghilangkannya sehingga kamu kembali pada agama” (HR Abu Daud no.3462, dishahihkan oleh al-Bani dalam Silsilah Hadits Shahihah) Hadits ini telah sering saya ceritakan dalam berbagai kesempatan, namun saya akan mengulas lagi tentang kalimat “apabila engkau melaksanakan riba (al-iinah)”

Al-‘iinah adalah sesuatu dari perbuatan riba’. Tetapi saya tidak ingin memasukkan riba secara dzat, apakah di antara kalian ada yang tidak tahu terhadap orang-orang Muslim yang bergaul dengan macam-macam riba? Bank-bank riba’ yang mengendalikan laju perekonomian negeri Islam, dan keadaannya diakui oleh setiap undang-undang yang diberlakukan di negeri Islam, bukan oleh pemerintah saja, tetapi diakui juga oleh masyarakat karena masyarakat itu berinteraksi dengan bank tersebut. Apabila mereka berdialog, mereka berkata, kamu tahu bahwa riba’ itu haram, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ أَشَدُّ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ سِتِّ وَثَلاَثِيْنَ زَنِيَّةٍ

“Harta riba’ yang dimakan oleh seseorang lebih keras siksanya di sisi Allah dari pada tiga puluh enam timbangan” ((HR Ahmad dalam al-Musnad (5/225), dan dishahihkan oleh al-Bani dalam Silsilah ash-Shahihah (1033))

Apabila kamu berkata pada salah seorang di antara mereka, “Wahai saudara, mengapa kamu melakukan riba’?”

Ia akan menjawab, “Apa yang sedang kita lakukan? Kita hanya sekedar ingin hidup.”

Kalau begitu, persoalan riba’ tidak berkaitan dengan pemerintah saja, namun berkaitan juga dengan masyarakat. Persoalan yang ada di masyarakat hakikatnya sama dengan persoalan yang ada di pemerintah.

Apabila kita ingin mereformasi kondisi kita maka jangan mengumumkan perang untuk memerangi pemerintah sementara kita melupakan diri sendiri padahal inti permasalahan yang ada di dunia Islam sekarang terletak dalam individu kita.

Karena itu, kami akan menasihati orang-orang Muslim agar mereka kembali pada agamanya dan merealisasikan apa yang telah diketahui dari agamanya, “Pada hari itu berbahagialah orang-orang Mukmin.” (ar-Ruum: 4)

Setiap persoalan yang nampak sekarang, yang mana sebagian orang bersemangat dengannya, lantas ia berkata, “Apa yang kita lakukan?”

Baik yang kita katakan itu berupa musibah yang ada disamping kita dan menimpa dunia Islam serta dunia Arab yaitu penjajahan orang yahudi terhadap Palestina, atau yang kita katakan penyerangan orang-orang nasrani kepada orang-orang Muslim di negara Eritria, di Somalia, dan Bosnia Herzegovina, semua masalah ini tidak mungkin dituntaskan dengan cara frontal, akan tetapi akan dituntaskan dengan ilmu dan amal, “Dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu dan kamu akan dikembalikan pada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (at-Taubah: 105)

Berjuang untuk Islam pada sebuah komunitas Islam sekarang memiliki bentuk yang banyak sekali, ada yang melalui jama’ah Islam dan ada yang melalui organisasi atau golongan yang bermacam-macam. Namun, pada hakikatnya golongan-golongan ini diantara muskilah dunia Islam yang menurut sebagian mereka merupakan masalah terbesar dan banyak disorot. Sebagian mereka berpendapat bahwa masalah terbesar adalah penjajahan orang yahudi di Palestina, sedangkan yang lainnya butuh pendapat lagi, bahwa masalah terbesar adalah penyerangan orang-orang kafir ke berbagai negeri dan penduduk Islam.

“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (ar-Ruum: 31-32)

Jama’ah Islamiyah berbeda-beda cara dalam menuntaskan masalah yang dihadapinya, yang jelas setiap jama’ah akan merendahkan yang mengotori orang muslim dan berupaya untuk menghilangkannya.

Adapun cara utama dan tidak ada duanya untuk menuntaskan masalah adalah mengajak kembali pada Islam, memahami Islam dengan pemahaman yang benar, merealisasikannya dengan mendidik kaum Muslimin sesuai kehendak Islam. Itu adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana telah kita ceritakan dan telah kita ingatkan selamanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mulai mengajak shahabatnya untuk beriman kepada Allah dan rasul-Nya, mengajarkan kepada merek hukum-hukum Islam dan menyuruh merealisasikannya. Ketika mereka menghadapi musibah, kezaliman dan penyiksaan orang-orang musyrik, beliau menyuruh mereka untuk sabar. Demikianlah sunnah Allah untuk makhluk-Nya. Melawan hak dengan bathil, melawan orang-orang mukmin dengan musyrik.

Jalan utama dan benar untuk menghadapi persoalan dalam realita ini yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal yang benar. Ada gerakan-gerakan dan dakwah-dakwah lain yang semuanya berbeda dengan jalan atau cara yang pertama dan utama. Sebagian gerakan dan dakwah berpendapat, “Sekarang tinggalkanlah Islam dari sisi kewajiban memahami dan mengamalkannya, sekarang ada persoalan yang lebih penting, yaitu kita bersatu untuk memerangi orang-orang kafir.”

Subhaanaallah, bagaimana mungkin dapat memerangi orang kafir tanpa senjata?

Setiap manusia memiliki akal apabila ia tidak memiliki kekuatan materi, maka ia tidak akan mampu melawan musuh yang memiliki senjata. Apabila ingin melawan musuh yang memiliki kekuatan senjata sedangkan ia tidak memiliki senjata, apa yang pantas dikatakan untuknya?

Perangilah tanpa bersenjata atau bersenjatalah kemudian perangi? Tidak ada perbedaan dalam masalah ini bahwa jawabannya, bersenjatalah terlebih dahulu kemudian perangi, ini dari sisi materi.

Namun, dari sisi non materi (maknawi), dan inilah yang lebih penting. Apabila kita hendak memerangi orang kafir, maka akan tidak mungkin memeranginya dengan meninggalkan Islam, karena sikap ini menyalahi apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, diantaranya, “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh serta nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran” (al-‘Ashr: 1-3)

Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, sedangkan kita sekarang berada dalam kerugian … mengapa?

Karena kita belum mengambil pengecualian dari apa yang disebutkan Allah Ta’ala ketika berfirman, “Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan melaksanakan amal shalih, saling menasihati dalam hak dan kesabaran” (al-‘Ashr: 2-3)

Kita sekarang mengatakan bahwa kita beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, namun ketika mengajak orang-orang Muslim yang berkelompok-kelompok, berpartai-partai, bersatu untuk kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, mereka berkata, “Persoalan ini kita tinggalkan sekarang karena persoalan yang terpenting sekarang adalah memerangi orang kafir.”

Lalu kita katakan, “Memeranginya dengan senjata atau tanpa senjata?”

Maka harus ada dua kekuatan senjata.

Senjata Pertama: Senjata Maknawi (yang tidak terlihat)

Mereka berkata, “Sekarang tinggalkan senjata maknawi ini, dan ambillah senjata al-maadi (materi).” Kita tidak mempunyai senjata materi, karenanya ini tidak bisa diupayakan dikarenakan undang-undang yang berlaku sekarang, dan para hakim yang menghukumi kita sekarang.

Kita sekarang tidak bisa sekali pun mengambil persiapan dan senjata almaadi.

Maksud kami adalah kita ingin berperang dengan senjata almaadi. Dan ini tidak bisa ditempuh.

Senjata Kedua: Senjata al-Maknawi

Senjata ini sudah ada di tangan kita. “Ketahuilah olehmu bahwa tidak ada Illah kecuali Allah” (Muhammad: 19). Yang dimaksud adalah dengan kekuasaan ilmu kemudian amal sesuai dengan batasan yang kita bisa.

Apakah begini mereka katakan dengan segala kesederhanaan dapat berakhir meninggalkan senjata maknawi ini.

Dan ini senjata maknawi yang sudah dapat diusahakan dan kita diperinthkan meninggalkannya!! dan itu senjata maadi yang tidak dapat diusahakan, kemudian kita berkata, wajibkah kita berperang?

Dengan apa kita berperang?

Kita tidak memiliki kedua senjata itu, yaitu senjata maknawi dan senjata maadi.

Subhaanallaah, senjata maknawi adalah ilmu. Mereka berkata, “Kita menangguhkannya karena ini bukan waktunya, sedangkan senjata maadi kita tidak mendapatkannya.”

Maka tinggallah kehancuran dan kelemahan dalam kedua senjata itu (maknawi dan maadi).

Kalau kita kembali pada periode awal yaitu periode Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah ia memiliki senjata maadi?

Jawabannya, “Tidak!”

Kalau begitu, dengan apa kunci pertolongan? Dengan senjata maadi atau maknawi?

Kuncinya adalah senjata maknawi yaitu dengan dakwah, seperti tertera dalam ayat, “Ketahuilah olehmu sesungguhnya tidak ada illah kecuali Allah”

Dengan demikian, hendaklah mengetahui Islam sebelum segala sesuatu, kemudian merealisasikan Islam dalam batas yang kita mampu.

Kita mampu mengetahui aqidah Islam yang benar.
Kita mampu mengetahui ibadah menurut Islam.
Kita mampu mengetahui hukum-hukum Islam.
Kita mampu mengetahui perilaku Islami.

Hal ini semua dapat dilakukan, namun mayoritas Muslim dan golongan-golongannya ingin berpaling darinya kemudian berteriak, “Kami ingin berjihad!”

Bagaimana kita berjihad kalau senjata pertama (maknawi) hilang dari diri kita, dan senjata kedua (maadi) tidak ada di tangan kita.

Kalau sekarang kita menemukan sebuah jama’ah Islam yang komitmen terhadap Islam dengan benar dan mereka merealisasi-kannya dengan benar, namun mereka tidak memiliki senjata materi. Mereka itulah yang terkhitab [menjadi sasaran] perintah Allah, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu” (al-Anfaal: 60)

Kalau kita memiliki senjata maknawi maka kita dituntut me-miliki senjata maadi. Apakah kita harus berperang kalau tidak memiliki persiapan senjata maadi?

Jawabannya, “Tidak!”

Karena kita belum mewujudkan ayat yang menyuruh mempersiapkan kekuatan maadi, bagaimana kita mampu berperang sedangkan kita tidak memiliki kedua senjata ini, maknawi dan maadi?!! “Allah Ta’ala tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya” (al-Baqarah: 286).”bertakwalah kepada Allah sesuai dengan kemampuanmu” (at-Taghabun: 16), yang dapat kita lakukan sekarang adalah mencari ilmu yang bermanfaat dan beramal shalih.

Untuk menjawab pertanyaan di atas perlu jawaban yang panjang lebar, namun saya akan menyimpulkannya.

Problematika Muslimin sekarang bukan tentang Palestina saja namun yang sangat disayangkan banyak penyimpangan-penyimpangan yang menimpa orang-orang Muslim sekarang hingga amalnya kontradiktif dengan ilmunya. Ketika kita bicara tentang Islam dan negara Islam, menurut saya, setiap negara Islam adalah tanah air setiap Muslim, tidak ada perbedaan antara orang Arab, antara Hijaj, Yordania, dan Mesir walaupun perbedaannya ada dalam realita, yang bukan berbeda dalam politik saja dan hal ini tidak asing lagi menurut pandangan orang Islam. Umpamanya ada sebagian umat Islam yang memprioritaskan masalah Palestina sementara tidak memperhatikan masalah yang menimpa orang muslim di negeri lainnya.

Ketika peperangan berlangsung antar Muslim Afghanistan dan Uni Sovyet (Rusia) serta orang-orang komunis. Keberadaan golongan-golongan atau organisasi-organisasi Islam tidak memperhatikan peperangan ini … Kenapa?

Karena mereka umpamanya dipandang bukan orang Syiria atau Mesir dan semacamnya. Kalau demikian, problematika Muslim sekarang bukan terletak tentang Palestina saja, tapi terletak juga di berbagai negeri Islam.

Bagaimana kita dapat menuntaskan dengan dua kekuatan, maknawiyah dan ma’aadiyah, dengan yang mana kita mulai.

segala sesuatu kita awali dengan yang terpenting. (Ket : Sesuatu yang terpenting yang harus kita mulai adalah memurnikan aqidah, karena aqidah merupakan dasar dan rukun pertama dalam Islam. Al-Bani berkata, (1) “Sesuatu yang terpenting dan layak bagi seorang du’at adalah mengajak kepada tauhid berlandaskan kepada firman Allah. Ketahuilah olehmu bahwasanya tiada tuhan selain Allah (Surat Muhamad ayat 19) demikian juga berlandaskan pada sunnah Nabi, baik fi’lan wa ta’liman. Adapun sunnah fi’lan: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada periode Mekkah memusatkan dakwahnya untuk beribadah kepada Allah saja tanpa menyekutukan-Nya. Sedangkan sunnah ta’liman dapat diketahui dari hadits Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mengutus Muadz ke Yaman. Beliau berkata kepadanya, “Jadikanlah syahadat sebagai ajakan pertamamu.” Dengan demikian Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk memulai dengan apa yang ia mulai, yaitu mengajak mereka kepada syahadat.
Kemudian al-Albani berkata lagi, (2) “Karenanya kewajiban pertama bagi para du’at adalah mengajak mereka sekitar kalimat ini dan penjelasan maknanya. Kemudian menjelaskan kosekuensi kalimat thayyibah ini seperti ikhlas dalam beribadah karena Allah Ta’ala. Ketika mengisahkan tentang orang-orang musyrik, mereka berkata, “Kami tidak menyembah mereka (berhala) kecuali untuk mendekatkan kami kepada Allah.” Setiap ibadah yang ditujukan kepada selain Allah adalah kafir terhadap makna kalimat thayibah (Lailaha Illallah). Karena itu, menurut pendapat saya, sekarang tidak ada faedahnya mengumpulkan kaum Muslimin, menyatukan mereka, sedangkan mereka dibiakan berada dalam kesesatan dan jauh dari makna kalimat thayyibah. Karena hal ini tidak memberikan manfaat bagi mereka di dunia terlebih di akhirat.”
(3). Dari pernyataan ini saya tidak bermaksud memfokuskan diri menjelaskan masalah terpenting/ prioritas, kemudian yang penting dan terus ke bawah. Yaitu para da’I hanya fokus mendakwahkan kalimat thayyibah dan memfahamkan maknanya. Karena Islam setelah disempurnakan Allah Ta’ala (ajarannya), para da’i harus mendakwahkannya secara menyeluruh tidak separuh-separuh.
(4). Kemudian al-Albani berkata, “Sangat tidak pantas seseorang mengatakan, ‘Pada zaman sekarang ini kita harus berpindah ke tahapan lain, selain tahapan berdakwah kepada tauhid. Yang saya maksud dengan tahapan di atas adalah berdakwah melalui politik.’ Tidak, kita tidak pantas mengatakan yang demikian. Karena dakwah Islam itu dimulai dengan mendakwahkan tauhid terlebih dahulu, baru setelah itu masalah yang lain. Karena kita tidak tahu dari mana kita akan mulai memantau pergerakan yang dengannya akan diawali pengaplikasian hukum-hukum Islam di bumi Allah ini. oleh karena itu dakwah kita harus menyeluruh (dan tertib dimulai dari yang prioritas baru level setelahnya).”
(5) Kemudian berkata, “Kita harus senantiasa memulai dengan dua titik sentral. Pertama, membersihkan Islam dari setiap yang mengotorinya, baik dalam akidah, ibadah, akhlak dan muamalah. Kedua, pendidikan, yaitu mendidik manusia agar sejalan dengan kemurnian Islam. Dalam hal ini mesti berbarengan dengan dua hal, yaitu pemurnian dan pendidikan.”
(6) Kemudian berkata pula, “Tidak mungkin menegakkan kewajiban ini dengan jumlah yang minoritas, khususnya di dalam masyarakat sekarang yang berjumlah berjuta-juta. Mesti ada beratus-ratus da’i yang memahami Islam dengan pemahaman yang benar, kemudian mereka melaksanakan kewajibannya, dengan mendidik masyarakat. Maka oleh karena itu bergelut dalam politik sebelum mewujudkan kedua kewajiban yang mendasar ini yaitu permunian dan pendidikan, akan memberikan dampak yang buruk.”
(7) Kemudian berkata lagi, “Adapun yang sekarang sangat menyibukan yaitu aktivitas politik. Memang kami tidak menolak aktivitas politik, namun kita harus berpegang kepada petunjuk syari’at, yaitu kita memulai dengan akidah, kemudian beribadah, perilaku yang benar, lantas berpolitik. Yang dimaksud berpolitik artinya mengatur keadaan umat. Siapa yang mengatur keadaan umat?. Bukan Zaid, Bakar, Umar, namun seseorang yang dibai’at dari kalangan orang-orang Muslim. Mereka inilah yang harus mengetahui perpolitikan. Kewajiban kita sekarang adalah membawa diri kita dan orang- orang di sekitar kita agar memahami Islam dengan benar, mendidiknya dengan pendidikan yang benar pula dengan memurnikan akidahnya, membenarkan ibadahnya dan memperbaiki perilakunya. Inilah di antara kewajiban yang fardhu ‘ain. Adapun selain itu merupakan fardhu kifayah, seperti yang sedang trend sekarang membahas tentang fiqih realita atau menyibukan diri dalam dunia politik. Adapun yang menyibukkan mayoritas manusia sekarang, mereka menyibukkan diri dengan yang penting tapi meninggalkan yang lebih penting seperti yang kita perhatikan dalam organisasi-organisasi Islam atau partai- partai Islam. Kita saksikan bahwa sebagian di antara mereka mementingkan penggemblengan pemuda Muslim yang berkumpul dan duduk melingkar disekiling para da’I untuk memahami aqidah yang lurus, ibadah yang benar dan tingkah laku yang baik. Namun kenyataannya, akibat menyibukkan diri dalam urusan politik dan berusaha untuk duduk di parlemen yang menghukumi dengan hukum selain yang diturunkan Allah, mereka telah memalingkan para pemuda dari sisi prioritas dan menyibukkan mereka dengan sesuatu yang kurang jadi prioritas, bahkan pada kondisi sekarang ini bisa jadi tidak begitu penting.”
Dikutip dari kaset no 750 yang ditranskrip ke dalam buku Fatwa-fatwa al-Albani dan perbandingan fatwa- fatwa Ulama oleh Ukasyah Abdulmanan hal 539-555),) Khususnya jika yang terpenting ini gampang yaitu senjata (kekuatan) maknawi, adalah dengan memahami Islam dengan pemahaman yang benar, merealisasikannya dengan benar pula, kemudian barulah dengan senjata maadi, apabila itu dapat dilakukan.

Kalau begitu persoalannya tidak seperti ungkapan yang tergambar dari semangat revolusi para pemuda yang frontal, namun tidak ada atsar atau pengaruh yang berbekas.

Akhirnya, saya katakan: “Dan katakanlah: bekerjalah kamu maka Allah dan rasul-Nya serta orang orang mu,min akan melihat pekerjanmu itu.” (at-Taubah: 105)

Berulang-ulang saya katakan bahwa suatu amal tidak akan bermanfaat kecuali apabila disertai dengan ilmu yang bermanfaat pula. Ilmu yang bermanfaat adalah sesuatu yang telah difirmankan Allah dan disabdakan Rasul-Nya, seperti telah dikatakan oleh Ibnu Qayyim rahimahullah, “Ilmu adalah sesuatu yang telah difirmankan Allah dan disabdakan Rasul-Nya. Adapun yang dikatakan para shahabat bukan sesuatu yang pasti. Tidak akan bermanfaat ilmu orang bodoh yaitu menyalahi pendapat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan pendapat ahli fiqih. Semuanya itu tidak bertentangan dengan sikap Rabb dan tidak menolak adanya, mengingatkan agar jangan membiarkan dan menyerupakannya.

Musibah yang menimpa dunia Islam sekarang lebih berbahaya, sebagian orang mengingkari perkataan saya ini. Bahwa musibah yang menimpa dunia Islam sekarang adalah karena mereka telah sesat dari jalan yang benar. Mereka tidak mengetahui Islam yang dengannya dapat terwujud kebahagiaan dunia dan akhirat. Padahal jika mereka memahami dan merealisasikan Islam, meskipun diisolir, ditindas, bahkan sampai dibunuh, karena hidup dalam komunitas kafir dan musyrik, maka mereka mati dalam keadaan bahagia dunia dan akhirat.

Adapun orang yang hidup mulia, namun ia jauh dari pemahaman Islam, maka ia akan mati celaka walaupun secara zhahir ia hidup bahagia.

Semoga Allah memberkahi kita semua, solusinya yaitu, kembali pada Allah artinya pahamilah apa yang telah difirmankan Allah dan disabdakan Rasul-Nya dan beramal dengan apa-apa yang telah difirmankan Allah dan disabdakan Rasul-Nya pula.

Dengan demikian, tuntaslah jawaban dari saya. Dan terakhir saya akan menyampaikan sebuah hadits. Diriwayatkan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah. (Ket : Dikeluarkan Abu Na’im dalam al-Hilyah (2/389), at-tirmidzi dalam Misyakah al-Mashabih (3721), dan az-Zubaidi dalam al-Iltihaf (147), Baihaqi dalam al-I’tiqad (148), dan al-Haitsimi dalam Al-Majma’ (5/249)) Dari Abu Darda, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah yang Maha Agung berfirman, ‘Aku adalah Allah, tidak ada Illah selain Aku, raja yang merajai semua kerajaan, hati semua raja-raja ada dalam genggaman tangan-Ku, jika para hamba menaati-Ku, maka aku akan rubah hati para pemimpinnya menjadi lembut dan kasih sayang terhadap mereka. sebaliknya jika para hamba bermaksiat kepadaku maka aku akan merubah hati para pemimpinnya menjadi keras dan murka pada mereka, jangan kalian menyibukkan diri untuk berdo’a kejelekan pada pemim-pin kalian, namun sibukkanlah diri kalian dengan Dzikir dan konsentrasi kepada-Ku, niscaya Aku akan cukupkan untuk kalian para pemimpin kalian”