KETUJUH : FENOMENA KEKERASAN DALAM DAKWAH

Di antara persoalan yang sekarang dilakukan oleh sebagian aktivis dakwah yaitu dakwah kepada para pelaku maksiat dan dosa dengan cara yang keras, kasar, dan kejam. Metode ini adalah metode yang salah dan akan membuahkan hasil yang salah pula dan akan mengakibatkan manusia lari daripadanya serta akan bertambahnya kemaksiatan di masyarakat.

Telah diyakini bahwa dakwah di jalan Allah di antara kewajiban yang agung di setiap waktu dan tempat sejak pertama kali diutusnya Adam ‘alaihis salam sampai Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan semua orang yang beriman kepada-Nya, mereka dibebani untuk melaksanakan tugas dakwah ini. Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar serta beriman kepada Allah”. Firman-Nya lagi yang artinya, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru pada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf serta men-cegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Ali Imran: 103 dan 113).

Tanggung jawab umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam tugas dakwah merupakan tanggung jawab yang besar. Hal itu terjadi karena Allah Ta’ala telah memberikannya agama dan kitab yang agung serta Rasul yang agung yang telah Allah anugerahkan kepadanya kemampuan untuk menjelaskan dan memelihara hidayah-Nya. (Ket : Kitab Dakwah Hal 7, Fatwa- fatwa Syeikh Shalih al-Fauzan, Juz VIII Hal. 130-131.) Bagi para da’i di jalan Allah, hendaklah menggunakan uslub (bahasa) yang bermanfaat dan berfaedah dalam mendakwahi manusia, dan hendaklah menjaga keadaan manusia baik dari sisi waktu dan tempat.

Di antara uslub (kata-kata) yang wajib digunakan dan dijaga oleh para da’i di jalan Allah ialah ucapan dan kata-kata lemah lembut jauh dari kekerasan dan kekejaman, karena perbuatan kasar dan kejam itu akan mengakibatkan larinya seseorang (mad’u) dari da’i. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَا عَائِشَةَ! إِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ, وَيُعْطِيْ عَلىَ الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِيْ عَليَ سِوَاهُ

“Ya Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Lembut, Ia mencintai pada orang-orang lembut dan akan memberikan pada orang-orang yang lembut apa-apa yang diberikan pada yang lainnya”. (HR Muslim). Allah telah menganugerahkan nikmat pada nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dengan menjadikan beliau sebagai orang yang lemah lembut kepada umatnya, seperti tertera dalam firman-Nya, “Maka disebabkan Rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu”. (Ali Imran: 159).

Coba bandingkan antara orang lain dengan diri anda sendiri, jika orang lain mengajak anda pada suatu persoalan dengan cara kasar, maka anda akan mendapatkan dalam diri anda sesuatu yang menyerukan anda agar memberikan balasan yang sesuai dengan yang diperbuat oleh orang tersebut (membalasnya dengan kekasaran) dan setan pun akan membisikkan pada hati anda bahwasanya orang ini tidak bermaksud menasihati anda, akan tetapi dia hanya menginginkan pertengkaran! Manusia jika merasa bahwa orang yang mengajaknya pada suatu perkara, menginginkan pertengkaran, dia tidak akan mendengarkan pengarahannya apalagi dakwahnya. Akan tetapi jika seorang da’i datang kepada seseorang dan berbicara dengannya dengan lemah lembut, dan berkata kepadanya, “Sesungguhnya perkara ini tidak bagus! …” (Ket : Ash-Shahwah al-Islamiyah Dhawabit wat Taujihat, Ibnu Utsaimin hal. 63.)

Sesungguhnya orang yang mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ia akan mendapatkan beliau bersikap lemah lembut kepada semua manusia yang beliau dakwahi. Maka aku ajak saudaraku agar menggunakan metode ini dalam berdakwah kepada Allah dan mengingkari kemungkaran, maka hasil yang anda dapatkan dengan metode lemah lembut tidak akan bisa dicapai dengan metode yang kasar.

Syeikh Ibnu Baaz berkata (Ket : Majalah al-Buhuts al-Islamiyah, edisi 40, Fatwa- fatwa Syaikh Ibnu Baz.), “Wajib atas para da’i agar berhati-hati dari perilaku kasar, ganas, dan melampaui batas. Firman Allah Ta’ala, “Wahai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu” (an-Nisa: 171);

“Maka dikarenakan Rahmat Allah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu” (Ali Imran: 159). Dan firman-Nya lagi yang ditujukan pada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS ketika keduanya diutus pada Fir’aun, “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” (Thaha: 44)

Dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Celakalah al-Mutanathi’un”, beliau me-ngatakannya tiga kali” (HR Muslim), dan sabdanya juga,

إِيَّكُمْ وَالْغُلُوْ فِي الدِّيْنِ, فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوْ فِي الدِّيْنِ

“Hati-hatilah kalian dengan sikap berlebih-lebihan dalam agama, karena celakanya orang-orang sebelum kalian sebab berlebih-lebihan dalam agama” (HR Ahmad dan sebagian ahlussunnah dengan sanad Hasan).

Dengan demikian, saya wasiatkan pada semua da’i di jalan Allah agar jangan berlebih-lebihan dan melampaui batas, akan tetapi wajib atas semua da’i bersikap moderat, yaitu berjalan menelusuri ketentuan Allah dalam kitab suci dan sunnah Nabi-Nya.”

Kemudian beliau berkata lagi (Lihat kitab Majmu fatawa oleh syaikh bin Baaz hal. 239.), “Wajib atas para da’i di jalan Allah menasihati dan menunjukkan jalan kebajikan tanpa meng-gunakan kekerasan dan kekuatan, karena cara ini akan membukakan pintu keburukan bagi orang-orang muslim itu sendiri dan akan mempersempit ruang lingkup dakwah bahkan akan menghambat laju perjalanan dakwah yang terkadang dapat menimbulkan petaka atau bencana bagi para du’at itu sendiri. Akan tetapi hendaklah berdak-wah di jalan Allah dengan hikmah, dengan perkatan lemah lembut dan nasihat yang baik, serta dengan cara atau retorika yang baik. Nasihatilah Ulil Amri, para pejabat dan rakyat, arahkanlah mereka pada kebaikan dengan cara yang baik pula.”

Sikap ini merupakan realisasi dari firman Allah, “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik” (an-Nahl: 125),

“Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik kecuali dengan orang-orang dzolim diantara mereka” (al-Ankabuut: 46).

Mereka adalah orang-orang yahudi dan nashrani, Allah melarang berdebat dengan mereka dengan cara yang tidak baik, kecuali orang-orang zalim di antara mereka, maka ini adalah perkara lain, perkaranya diajukan ke Ulil Amri dan hakim berusaha sepenuh tenaga sesuai kemampuan untuk melawan kezaliman mereka dengan cara yang diperbolehkan syari’at.”

Al-‘Allamah al-Albani berkata (Ket : Dikutip dari kaset nomor 620 Al Bany yang ditranskip ke dalam buku Fatwa- fatwa Syeikh Al Bany oleh Ukasyah Abdul Manan hal. 133-134.),

Mengenai uslub dakwah, Rabb kita tidak meninggalkan celah untuk kalangan siapa pun, firman-Nya, “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (an-Nahl: 125)

Firman Allah tadi mengisyaratkan bahwa yang pertama kali dituntut dari seseorang adalah ia harus menjadi seorang yang penyayang, belas kasihan, dan tidak bersikap keras terhadap orang yang menyalahi dan menentang seruannya, terlebih lagi bagi mereka yang berkeyakinan sam dengan dirinya terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah, namun disisi lain mereka memiliki keyakinan yang menyimpang dari padanya. Meskipun demikian, sikap lemah lembut tetap tunjukkan kepada mereka, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

يَاعَائِشَةَ, مَا كَانَ الرِّفْقُ فِيْ شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ, وَمَا كَانَ الْعُنْفُ فِيْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

“Wahai Aisyah, tidaklah lemah lembut dalam segala sesuatu, kecuali lemah lembut tadi akan menghiasinya, dan tidaklah bersikap keras dalam segala sesuatu kecuali dia akan merusaknya”. (HR Muslim).

Kemudian di sini aku ingin mengutarakan sesuatu yang sering dilupakan orang, khususnya oleh sebagian da’i. Walaupun sikap lemah lembut menjadi unsur utama dalam dakwah, namun tidak berarti para da’i tidak boleh menggunakan cara keras, sebab boleh menggunakan cara tersebut selama sesuai dengan objek dan tempatnya. Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diajak bicara dengan firman Allah Ta’ala, “Maka disebabkan Rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut kepada mereka, sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali Imran: 159)

Seiring dengan hal itu, kita juga menemukan bahwa pada kesempatan tertentu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertindak keras kepada orang-orang yang menentangnya, kalau penentangan itu sengaja mereka lakukan untuk menimbulkan kekeliruan, terutama yang berkaitan dengan masalah prinsipil, seperti tentang iman, khususnya iman kepada Allah.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab musnadnya dengan sanad yang shahih dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhu, “Pada suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceramahi para shahabatnya, kemudian salah seorang di antara mereka berdiri dan berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Maasya Allah wa Syi’ta Yaa Rasulallah,’ Rasulullah bersabda kepadanya, ‘Apakah kamu menjadikanku sebagai tandingan bagi Allah?, katakanlah oleh mu, Masya Allahu wahdah.” (HR Ahmad, Juz I No. 214. Menurut Ahmad Syakir dalam Tahqiq al Musnad, 1839, hadits tersebut bersanad shahih, seperti halnya al-Albani, ia berpendapat bahwa hadits tersebut shahih)

Demikian sikap keras yang apabila ditempatkan pada tempatnya maka ia menjadi bagian dari hikmah, oleh karena itu, tidak sepantasnya kita selamanya berkata, “Sikap lemah lembut harus selamanya menjadi ciri dan sifat yang harus melekat dalam diri orang muslim.” Tidak, tidak demikian. Ia adalah sifat yang biasa yang terkadang suatu saat harus bersikap keras manakala sesuai pada tempatnya.”

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata (Ket : Ash-Shahwah al-Islamiyah Dhawabit wat Taujihat Hal. 90-91.), “Dakwah di jalan Allah sekarang ini senantiasa ada diantara dua atau kelompok dan penengah. Adapun kelompok yang pertama yaitu al-Ifrath, kelompok ini berpendapat bahwa para da’i harus bersikap keras dalam agama Allah. Yang dimaksud adalah dalam beribadah kepada Allah hendaklah menjalankan tuntutan agama semata, sedikitpun tidak ada toleransi dalam agama. Sehingga apabila seseorang melihat ada yang menganggap mudah dan sepele dalam urusan-urusan sunnah, kemudian ia menyeru atau menasihati mereka dengan cara yang keras, seolah-olah mereka telah meninggalkan sesuatu yang wajib.”

Setelah kita ketahui akan pentingnya dakwah dan uslub yang sepantasnya digunakan dalam berdakwah, yaitu dengan uslub yang lemah lembut dan mendakwahi seseorang sesuai dengan tingkat pemahaman dan intelektual mereka.

Selanjutnya kita beralih kepada persoalan orang meninggalkan yang uslub tersebut dan mengambil serta menggunakan uslub lain yang terkesan kasar, keras, dan kejam. Mereka menggunakan uslub ini karena mereka menilai orang yang selain mereka telah fasik, pelaku maksiat serta pelaku dosa-dosa besar, bahkan orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar itu dianggap kafir, hal ini sejalan dengan manhaj Khawarij. Karena itu, dalam dakwah menghadapi orang-orang semacam ini menggunakan uslub kasar, keras, bahkan sikap kejam. Menurut pendapatku, cara demikian telah menyalahi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Para da’i di jalan Allah yang menggunakan metode dakwah seperti ini -kasar dan kejam yang bukan pada tempatnya-, mereka tidak akan sukses, bahkan sebaliknya, manusia akan lari dari dirinya dan masyarakat akan membenci dirinya. Orang yang bermaksiat dan jauh dari agama, mereka membutuhkan sikap yang lemah lembut dan kecintaan untuk beribadah.

Syaikh Shalih Sadlan berkata (Ket : Tinjauan Piqih Politik dan Pemikiran Realistik, disusun oleh Abdullah Al Rifa’i Hal. 93-94.), “Apakah balasan bagi yang bermaksiat, kita harus memukul dan menghinanya, atau kita harus menyayangi dan menasihatinya?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang yang penyayang, beliau sangat belas kasihan kepada umatnya. Lalu berkata, ketika seorang pemuda datang kepada beliau dan meminta izin untuk berzina, bagaimana tanggapan Rasul kepadanya dan apa akibatnya? (Ket : dari Abi Umamah al Bakhili ia berkata, “Seorang pemuda datang kepada Nabi, kemudian berkata, “Wahai Rasulullah izinkanlah aku untuk berzina.” Tiba- tiba orang-orang di sekitar Rasul menolaknya dan berkata, “Jauhkanlah dia, jauhkan.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Biarkanlah ia mendekatiku.” Kemudian Rasul menyuruhnya, “Duduklah eng-kau.” Ia pun duduk. Rasul bertanya, “Apakah engkau suka bila zina itu terjadi pada ibumu?” Ia menjawab, “Tidak.” Al Hadits. Dikeluarkan oleh Imam Ahmad Juz V hal. 256- 257, At-Thabrani Juz VIII hal. 190, 215. Al-Albani menshhahihkannya dalam kitab Silsilah ash-Shahihah no. 370.) Lalu bagaimana hasilnya?

Orang yang bermaksiat tidak sepantasnya dipaksa agar menuruti kehendak hati kita, karena cara itu adalah cara yang salah.

Persoalan lain, ada sebagian pemuda yang tidak pandai yang mana mereka menyamakan pemerintah dengan du’at dan orang-orang salih disebabkan kekejaman yang mereka lakukan dalam dakwah, khususnya apabila menyertakan kekerasan sesuatu dari penghancuran seperti peledakan bom dan pembunuhan.

Pemikiran semacam ini merupakan pemikiran yang sesat dan menyimpang yang menjadi sebab utama terjadinya permusuhan pada orang-orang salih dan para da’i serta jama’ah Islam yang mana mereka tidak memiliki hubungan langsung dengan peristiwa kekejaman tersebut. Karena itu, terbengkalailah dakwah di jalan Allah di berbagai negeri, bahkan aktivitas dakwah menjadi sangat lemah hing-ga tidak ditemukan orang yang berdakwah kecuali hanya sedikit sekali.

Telah menimpa pada aktivitas dakwah diberbagai negeri Muslim dengan diusirnya para du’at, hal ini dikarenakan prilaku orang-orang bodoh yang memusuhi para pejabat atau para militer atau yang lainnya, sehingga mereka menjadi masyarakat baru yang disifati dengan julukan terorisme, dan menggugah musuh-musuh penentang mereka sehingga mereka berserikat untuk membuat tipu daya yang bertujuan untuk menguasai kebaikan yang ada pada mereka.” (Ket : Syaikh Shalih al Sadlan, Tinjauan Fiqih Politik dan Pemikiran Realistik, disusun oleh Abdullah al Rifa’i, hal. 93-94.)

Jika pemerintah menguasai para da’i dan orang-orang salih dikarenakan perilaku orang-orang bodoh yang menghukumi atas dasar kebodohan dan perasaan, maka hal itu akan membawa pada lemahnya dakwah dan terbengkalainya dakwah di jalan Allah, membawa dampak tersebarnya kemaksiatan baik yang kecil atau yang besar, meluasnya kejelekan-kejelekan, serta akan semakin banyak terjadi perbuatan kriminal. Allah-lah tempat kita memohon pertolongan.

Adapun dakwah pada orang-orang kafir, apakah kita menggunakan cara yang keras untuk menyeru mereka kepada Islam? Mengenai hal ini, Syaikh Shalih Sadlan berkata (Ket : Syaikh Shalih Sadlan, Tinjauan Fiqih Politik dan Pemikiran Realistik, disusun oleh Abdullah al Rifa’i, hal. 94.), “Memusuhi orang-orang kafir yang dilindungi (Dzimmi) tidak perbolehlan, karena mereka masuk ke dalam penjagaan. Meskipun mereka orang-orang kafir, kalau mereka melakukan sesuatu yang menyalahi syari’at, maka kita harus meminta mereka untuk meringankan sesuatu yang menyalahi syari’at ini. Adapun kalau kita memusuhi mereka maka hal ini dianggap sebagai sikap yang goblok dan bodoh serta tidak tahu terhadap syari’at Islam.

Kemudian ia berkata lagi, “Akan tetapi kita boleh pergi kepada mereka dan mengajak mereka agar masuk Islam dan menjelaskan pada mereka kebaikan-kebaikan Islam. Inilah sikap yang sepantasnya kita lakukan. Yang terpenting, kita menyeru orang-orang kafir dimulai dengan membatalkan kekafirannya, namun harus dengan cara yang baik, kemudian menjelaskan apa yang ada pada Islam dari kebaikan dunia dan akhirat.” (Ket : Aah-Shahwah al-Islamiyah Dhawabit wa at-Taujihat, karya Ibnu al-Utsaimin, dari kumpulan dan susunan saya hal. 300)

Syaikh Ibnu Jibrin ditanya, “Apakah boleh mengategorikan kafir dari orang kristen, hindu, dan kita berinteraksi dengan mereka atau bergaul dengan mereka dalam mendakwahkan Islam?” (Ket : Kebutuhan Manusia terhadap Amar Ma’ruf Nahyi Munkar, karya Syaikh Abdullah bin Jibrin, hal. 100.)

Beliau menjawab, “Boleh bercampur dengan orang-orang kafir dan duduk-duduk bersama mereka dan berbasa-basi dalam dakwah di jalan Allah, menjelaskan kepada mereka, memotivasi mereka untuk memeluk Islam, dan menjelaskan dampaknya untuk para pemeluknya dan berat siksa bagi yang menolaknya.”

Maka jika diketahui mereka tetap dalam kesesatan, tidak menerima nasihat bahkan mereka bertambah jauh dari Islam, maka tinggalkanlah dan jauhilah mereka. Firman Allah Ta’ala, “dan janganlah kamu cenderung pada orang-orang dzalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka…” (Hud: 113)

Syaikh Bin Baaz berkata,” (Ket : Tinjauan Fiqih Politik dan Pemikiran Realistik, Abdullah ar-Rifa’I, hal 29.) Tidak boleh membunuh orang-orang kafir yang dilindungi yang masuk ke dalam lingkungan negara, dan tidak boleh membunuh orang-orang yang bermaksiat dan memusuhi mereka, tapi masalah ini hukumnya diserahkan kepada hukum syari’at.”

Kemudian beliau berkata lagi, “Apabila tidak ditemukan orang yang menghukumi, maka nasihati saja. Nasihat itu ditujukan kepada Ulil Amri, tunjukkan kebaikan pada mereka, serta tolong menolonglah bersama mereka, sehingga mereka dapat menghukumi dengan syari’at Allah. Jangan menasihati Ulil Amri dengan kekuatan tangan atau dengan upaya pembunuhan. Tetapi tolong menolonglah bersama Ulil Amri dengan cara yang baik sehingga mereka dapat menghukumi dengan syari’at Allah, jika tidak, nasihatilah dan tunjukkanlah pada kebajikan serta ingkarilah orang-orang mungkar dengan cara yang baik, Inilah kewajiban yang harus dilaksanakan. Firman Allah Ta’ala, “Bertakwalah kepada Allah sekemampuan mu”. (at-Taghabun: 16), karena menasihatinya dengan kekuatan tangan (kekerasan) atau upaya pembunuhan akan berdampak pada munculnya berbagai kejelekan dan kerusakan.”

Syaikh Bin Baz ditanya, “ (Ket : Kumpulan Fatwa- fatwa Syaikh Ibnu Baz.) Apa hukum memusuhi turis-turis asing di negeri Islam?”

Beliau menjawab, “Hal ini tidak boleh, tidak boleh memusuhi seorang pun, baik turis maupun tenaga kerja, karena mereka masuk dengan aman dan termasuk orang-orang yang dilindungi. Oleh karena itu tidak boleh memusuhi mereka. Tetapi nasihatilah negara (Ulil Amri) agar dapat melarang mereka dari sikap-sikap yang tidak layak dilakukan. Adapun setiap individu (warga pribumi) mereka tidak berhak menyakiti mereka, memukul apalagi membunuh mereka. Bahkan permasalah ini diserahkan ke para pemegang kekuasaan. Karena memusuhi mereka sama artinya dengan memusuhi orang-orang yang dilindungi oleh negara. Namun sekali lagi permasalahan mereka diserahkan kepada siapa saja yang mampu menahan masuknya mereka atau melarang perbuatan mereka yang mungkar. Adapun menasihati mereka dan mengajak mereka ke dalam Islam, atau agar meninggalkan kemungkaran, kalau mereka ini orang-orang Muslim, maka hal ini adalah suatu keharusan. Dan telah dinaungi oleh dalil-dalil syar’i.