Kelompok ini meyakini adanya rentetan imamah (kepemimipinan) yang dimulai dengan Ali bin Abu Thalib dan seterusnya turun temurun kepada anak-anak keturunannya yang semuanya berjumlah dua belas, imam berikut ditunjuk langsung oleh imam pendahulunya dan begitu seterusnya, dan penunjukan Ali sendiri sebagai imam menurut mereka dilakukan oleh Rasulullah saw, selanjutnya Ali menunjuk penggantinya yaitu al-Hasan bin Ali dan begitu seterusnya seperti yang telah dijelaskan di awal makalah ini.

Penulis telah menjelaskan bahwa Nabi saw tidak pernah menunjuk Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah setelahnya, apa yang mereka klaim bahwa beliau menunjuknya sebagai penggantinya hanyalah bualan dan omong kosong mereka, dalam tulisan ini penulis akan menjelaskan bahwa Ali bin Abu Thalib juga tidak pernah menunjuk al-Hasan sebagai khalifah setelahnya dan al-Hasan bin Ali juga tidak pernah melakukan itu. Pembaca akan mengetahui sejauh mana mereka membual sampai-sampai mereka berani menyelisihi imam mereka sendiri yang mereka klaim sebagai orang-orang yang ma’shum alias terjaga dari dosa dan salah.

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya 1/30 no. 1078 dari Waki’ dari al-A’masy dari Salim bin Abu al-Ja’ad dari Abdullah bin Sabu’ berkata, aku mendengar Ali berkata –dan dia menyebutkan bahwa dia akan dibunuh-, mereka berkata, “Angkatlah pengganti bagi kami.” Ali menjawab, “Tidak, akan tetapi aku membiarkan kalian kepada apa yang mana Rasulullah saw membiarkan kalian kepadanya.” Mereka berkata, “Lalu apa yang engkau katakan kepada Tuhanmu jika engkau menghadap kepadaNya?” Ali berkata, “Aku berkata, ‘Ya Allah, Engkau membiarkanku pada mereka selama Engkau menghendaki, kemudian Engkau mengambilku kepadaMu dan Engkau ada pada mereka. Jika Engkau berkehendak maka Engkau memperbaiki mereka, jika Engkau berkehendak maka Engkau membuat mereka rusak.”

Imam Ahmad 1/156 no. 1339 meriwayatkan hadits sepertinya dari Aswad bin Amir dari al-A’masy dari Salamah bin Kuhail dari Abdullah bin Sabu’. Sanad masing-masing dari kedua hadits ini adalah shahih.

Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah 5/250-251 menukil dari Imam al-Baihaqi dari hadits Hushain bin Abdur Rahman dari Imam asy-Sya’bi dari Abu Wail Syaqiq bin Salamah al-Asadi salah seorang tabiin terkemuka bahwa telah dikatakan kepada Ali, “Apa tidak sebaiknya engkau mengangkat pengganti bagi kami?” Ali menjawab, “Rasulullah saw tidak menunjuk pengganti sehingga aku harus menunjuk penganti, akan tetapi jika Allah menginginkan kebaikan bagi manusia, maka Dia akan mengumpulkan mereka sesudahku di atas orang terbaik mereka sebagimana Allah mengumpulkan setelah nabi mereka di atas orang terbaik mereka.” Hadits ini sanadnya jayid.

Ibnu Katsir juga menukil 7/323 dari Imam al-Baihaqi hadits Habib bin Abu Tsabit al-Kahili al-Kufi dari Tsa’laba bin Yazid al-Himmani, salah seorang Syi’ah Kufah, ditsiqohkan oleh An-Nasa`i bahwa dikatakan kepada Ali, “Mengapa Anda tidak mengangkat pengganti?” Dia menjawab, “Tidak, akan tetapi aku meninggalkan kalian sebagaimana Rasulullah saw meninggalkan kalian.” Lihat as-Sunan al-Kubro 8/149.

Lihatlah pembaca, Ali bin Abu Thalib imam mereka yang pertama yang mereka yakini ma’shum menolak mengangkat pengganti setelahnya, lalu dari tong sampah manakah mereka memulung bualan bahwa Ali menunjuk pengganti? Kalau mereka meyakini Ali bin Abu Thalib ma’shum, mengapa mereka menolak hal ini ataukah prinsip ishmah yang mereka klaim juga berasal dari tong sampah bualan juga? Benar begitulah adanya.

Kita lihat apakah al-Hasan bin Ali juga menunjuk pengganti sesudahnya seperti yang mereka klaim?
Sejarah berkata tidak. Simaklah apa yang ditetapkan oleh Imam Qadhi Abu Bakar Ibnu al-Arabi dalam salah satu bukunya yang agung al-Awashim min al-Qawashim, beliau berkata, “Adapun ucapan Rafidhah bahwa Ali mewasiatkan khilafah kepada al-Hasan maka ia batil. Ali tidak mewasiatkan kepada siapa pun, akan tetapi baiat untuk al-Hasan terlaksana, al-Hasan lebih berhak daripada Muawiyah dan daripada banyak orang selainnya. Keluarnya al-Hasan bertujuan yang sama dengan keluarnya bapaknya yaitu mengajak kelompok pembangkang untuk tunduk kepada kebenaran dan masuk ke dalam ketaatan, lalu mediasi berakhir dengan pengunduran dirinya dari perkara ini demi melindungi darah umat agar tidak tertumpah dan bukti kebenaran janji nabi malhamah di mana beliau bersabda di atas mimbar, “Anakku ini adalah sayid, mudah-mudahan Allah mendamaikan dengannya dua kelompok besar dari kaum muslimin.” Maka janji terlaksana, dan baiat untuk Muawiyah sah dan hal itu demi mewujudkan harapan Nabi saw.”

Kita melihat dan tidak memungkiri bahwa al-Hasan bin Ali dibaiat sebagai khalifah setelah bapaknya, al-Hasan sebagai khalifah terlaksana melalui baiat bukan penunjukan dari Ali bin Abu Thalib, setelah al-Hasan dibaiat dia menyerahkan perkara khilafah kepada Muawiyah bin Abu Sufyan, dia memilih mundur demi melindungi darah umat dari pertumpahan, dan hal itu merupakan salah satu keutamaan al-Hasan dan bukti kebenaran dari sabda kakeknya Rasulullah saw. Jika terbukti bahwa al-Hasan telah menyerahkannya kepada Muawiyah lalu dimana penunjukan darinya terhadap pengganti sesudahnya yang mereka klaim itu?

Hadits diatas diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam shahihnya dalam kitab Fadhail ash-Shahabah tentang manaqib al-Hasan dan al-Husain dari al-Hasan al-Bashri bahwa dia mendengarnya dari Abu Bakrah dan bahwa Abu Bakrah melihat Nabi saw di atas mimbar mengatakan hal itu sementara al-Hasan bin Ali berada di samping beliau.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Minhaj as-Sunnah 2/242 berkata, “Hadits ini menjelaskan bahwa perdamaian di antara dua kelompok merupakan perkara terpuji yang dicintai Allah dan rasulNya. Adapun apa yang dilakukan oleh al-Hasan dari itu maka ia termasuk keutamaan dan jasa besarnya yang dipuji oleh Nabi saw. Seandainya berperang hukumnya wajib atau dianjurkan niscaya Rasulullah saw tidak memuji ditinggalkannya wajib atau mustahab.”

Melengkapi keterangan ini penulis turunkan kisah perdamaian diantara al-Hasan dengan Muawiyah yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahihnya di Kitab ash-Shulh dari Imam al-Hasan al-Bashri.

Al-Hasan al-Bashri berkata, demi Allah al-Hasan bin Ali menghadapi Muawiyah dengan pasukan seperti gunung besar. Amru bin al-Ash berkata, “Sungguh aku benar-benar melihat pasukan yang tidak mundur sebelum membunuh kawannya.” Muawiyah berkata kepadanya –demi Allah dia yang terbaik dari dua orang, “Wahai Amru, jika mereka membunuh mereka dan mereka membunuh mereka lalu siapa yang membantuku mengurusi perkara manusia, siapa yang membantuku mengurusi istri-istri mereka dan siapa yang membantuku mengurusi harta mereka?” Lalu Muawiyah mengutus dua orang laki-laki dari Quraisy dari Bani Abd Syams, Abdur Rahman bin Samurah dan Abdullah bin Amir bin kuraiz. Muawiyah berkata kepada keduanya, “Pergilah kalian berdua kepada orang ini (yakni al-Hasan bin Ali), tawarkan kepadanya (yakni apa yang dia inginkan), katakan kepadanya (apa yang membuatnya rela) dan mintalah kepadanya (yakni apa yang menurut kalian berdua maslahat, terserah kalian berdua). Lalu dua orang ini datang kepada al-Hasan, keduanya masuk kepadanya, berbicara, berkata dan menawarkan. Al-Hasan berkata kepada keduanya, “Kami Bani Abdul Mutthalib telah mendapatkan dari harta ini, dan sesungguhnya darah umat ini telah banyak tertumpah (sehingga membutuhkan harta besar untuk membuat umat ini rela terhadap darahnya).” Keduanya berkata, “Dia menawarkan kepadamu begini begini, bertanya dan meminta kepadamu.” Al-Hasan berkata, “Lalu siapa yang menjamin ini untukku?” Keduanya berkata, “Kami penjaminnya untukmu.” Al-Hasan tidak meminta sesuatu kepada keduanya kecuali keduanya berkata, “Kami penjaminnya untukmu.” Maka al-Hasan berdamai dengan Muawiyah.

Yang menggelikan adalah gara-gara perdamaian ini al-Hasan difasikkan oleh mereka bahkan ada yang mengkafirkannya. Ya Allah kami berlindung dari kekufuran dan perkataan buruk. Qadhi Abu Bakar Ibnu al-Arabi berkata, “Kemudian Ali terbunuh. Rafidhah berkata, Ali mewasiatkan khilafah kepada al-Hasan, lalu al-Hasan menyerahkannya kepada Muawiyah, maka dikatakan kepada al-Hasan, ‘Orang yang menghitamkan wajah orang-orang mukmin.’ Dia pun difasikkan oleh jama’ah Rafidhah dan dikafirkan oleh satu kelompok karena itu.”

Penulis menutup pembicaraan dengan menukil ucapan berharga dari Syaikh Muhibbuddin al-Khathib dalam ta’liqnya atas al-Awashim min al-Qawashim, beliau berkata, “Di antara unsur iman Rafidhah, bahkan unsur iman mereka yang pertama adalah keyakinan bahwa al-Hasan, bapak dan anaknya adalah ma’shum plus sembilan orang dari keturunan saudaranya. Konsekuensi dari ishmah mereka –dan di garis depan mereka adalah al-Hasan setelah bapaknya- adalah bahwa mereka tidak salah, apa yang berasal dari mereka adalah benar dan kebenaran tidak saling bertentangan, dan perkara terpenting yang dilakukan oleh al-Hasan bin Ali adalah bahwa dia membaiat Amirul Mukminin Muawiyah. Jadi semestinya mereka masuk ke dalam baiat ini, meyakininya sebagai kebenaran karena ia adalah perbuatan orang ma’shum menurut mereka, akan tetapi yang bisa dilihat dari keadaan mereka adalah bahwa mereka kafir kepadanya, menyelisihi imam mereka yang ma’shum padanya. Hal ini tidak terlepas dari kedua kemungkinan: mereka berdusta dalam klaim ishmah bagi imam-imam mereka yang dua belas, maka agama mereka runtuh dari dasarnya karena dasarnya menurut mereka adalah akidah ishmah, tidak ada dasar selainnya atau mereka tetap meyakini al-Hasan ma’shum, dan bahwa baiat al-Hasan untuk Muawiyah adalah perbuatan orang yang ma’shum. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang pembangkang terhadap agama, penyelisih orang yang ma’shum dalam apa di mana dia cenderung kepadanya dan bertemu Allah dengannya. Pembangkangan terhadap agama ini merupakan wasiat sebagian dari mereka kepada yang lain, generasi demi generasi, tingkatan demi tingkatan agar keteguhan mereka dalam menyelisihi imam yang ma’shum berdasar kepada penentangan, kesombongan, kengototan dan kekufuran. Kami tidak tahu kemungkinan yang mana yang menjerumuskan mereka ke dalam kubangan kebinasaan dalam skala lebih besar daripada kemungkinan yang lain yang juga menjerumuskan, padahal tidak ada yang ketiga. Orang-orang yang berkata dari mereka bahwa al-Hasan adalah “Orang yang menghitamkan wajah orang-orang beriman.” Ucapan mereka hanya ditafsiri dengan “orang yang menghitamkan wajah orang-orang yang beriman kepada thaghut.” Adapun orang-orang yang beriman kepada kakek al-Hasan saw maka mereka meyakini bahwa perdamaiannya dengan Muawiyah dan baiatnya kepadanya termasuk tanda kebenaran nubuwah, karena ia mewujudkan apa yang diprediksikan oleh Rasulullah saw pada cucunya sayid pemuda pnduduk surga bahwa dia akan mendamaikan dua kelompok besar dari kaum muslimin sebagaimana penjelasannya akan hadir. Setiap orang yang berbahagia dengan prediksi ini dan dengan perdamaian ini menganggap al-Hasan adalah orang yang memutihkan wajah orang-orang beriman.”

Seburuk-buruk kaum adalah mereka yang menjadikan dusta sebagai agama. Naudzu billah.