Iman adalah mempercayai apa yang shahih yang memang wajib dipercayai. Pada umumnya iman terfokus kepada perkara-perkara ghaib karena iman mengandung sisi ujian, sebab jika iman hanya terfokus kepada perkara-perkara riil maka sisi ujiannya nihil. Semua orang pasti beriman dan percaya terhadap apa yang dilihatnya atau apa yang menurutnya masuk di akalnya. Dalam kondisi ini tidak ada lagi mukmin atau kafir. Batal nilai ujian yang karenanya manusia berhak untuk lulus atau tidak lulus. Salah satu ujian iman adalah apa yang Rasulullah saw beritakan secara shahih tentang wafat nabiyullah Musa.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah berkata, “Malaikat maut diutus kepada Musa, ketika dia datang Musa menamparnya, lalu malaikat maut kembali kepada Tuhannya, dia berkata, ‘Engkau telah mengutusku kepada seorang hamba yang menolak mati.” Lalu Allah mengembalikan matanya (yang rusak karena tamparan Musa). Allah berfirman kepadanya, “Kembalilah kepada Musa, katakan kepadanya agar dia meletakkan tangannya di punggung sapi jantan, maka bulu sapi yang tertutup oleh tangannya itulah sisa umurnya, satu bulu satu tahun.” Musa berkata, “Ya Rabbi setelah itu apa?” Malaikat menjawab, “Maut.” Musa berkata, “Sekarang aku pasrah.” Maka Musa memohon kepada Allah agar didekatkan kepada tanah suci sejauh lemparan batu. Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda “Seandainya aku di sana niscaya aku tunjukkan kuburnya kepada kalian yang berada di sisi jalan di dataran berpasir merah yang bergelombang.”

Dalam riwayat Muslim, “Malaikat maut mendatangi Musa, dia berkata, ‘Jawablah panggilan Tuhanmu.” Rasulullah SAW bersabda, “Musa menempeleng mata malaikat maut yang membuatnya rusak. Lalu malaikat maut kembali kepada Allah dan berkata, ‘Engkau telah mengutusku kepada seorang hamba-Mu yang tidak mau mati, dia telah merusak mataku.” Rasulullah SAW bersabda, “Maka Allah mengembalikan matanya dan berfirman kepadanya, “Kembalilah kamu kepada hamba-Ku, katakan kepadanya, ‘Apakah kamu ingin hidup?’ Jika kamu ingin hidup maka letakkanlah tanganmu di punggung sapi jantan, rambut yang tertutup oleh tanganmu itulah umurmu yang tersisa, satu rambut satu tahun.” Musa bertanya, “Seterusnya apa?” Malaikat menjawab, “Kemudian kamu mati.” Musa berkata, “Sekarang ya Rabbi dari dekat.” Musa berkata, “Matikanlah aku dekat tanah suci sejauh lemparan batu.” Rasulullah SAW bersabda, “Demi Allah seandainya aku di sana niscaya aku tunjukkan kuburnya kepada kalian di samping jalan di pasir merah.”

Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari di Kitab Ahadisil Anbiya Bab Wafat Musa nomor 3407. Hadis juga ini diriwayatkan oleh Muslim di Kitab al-Fadha`il Bab Fadha`il Musa 4/1842.

Penjelasan Hadits

Rasulullah saw memberitakan kepada kita bahwa di antara kemuliaan para nabi di sisi Allah adalah bahwa mereka diberi pilihan menjelang kematian antara hidup di dunia atau berpindah ke Rafiqil A’la. Dalam beberapa hadis yang shahih dari Aisyah bahwa Nabi saw juga diberi pilihan maka beliau memilih Rafiqil A’la.

Allah mengutus malaikat maut yang menjelma dalam wujud seorang laki-laki kepada Musa. Malaikat meminta agar Musa menjawab panggilan Tuhannya, ini berarti bahwa ajalnya telah tiba dan saatnya telah dekat. Musa memiliki temperamental yang cukup tinggi, maka dia menempeleng malaikat maut dan merusak matanya yakni mata manusia di mana dia mewujudkan diri dengannya. Karena seandainya dia dalam wujud aslinya yakni malaikat niscaya Musa tidak akan mampu menempelengnya, tidak akan bisa.

Malaikat maut kembali kepada Allah mengadukan apa yang diperolehnya dari Musa. Lalu Allah menyembuhkan matanya dan menyuruhnya agar kembali kepadanya dan mengatakan kepada Musa agar meletakkan tangannya di atas punggung sapi, kemudian bulu-bulu yang tertutup oleh tangannya itu dihitung, satu helai satu tahun, maka ajal Musa sama dengan jumlah bulu itu. Dengan itu Musa mendapatkan kehidupan yang panjang. Jika Musa melakukan itu niscaya – tidak menutup kemungkinan – dia tetap hidup sampai hari ini.

Akan tetapi manakala Musa bertanya kepada malaikat maut tentang apa yang ada di balik kehidupan panjang tersebut, malaikat menjawab, “Maut.” Maka Musa memilih yang dekat. Apa yang ada di sisi Allah bagi para rasul dan nabi-Nya serta hamba-hamba-Nya yang shalih adalah lebih baik dan lebih kekal.

Jika roh para syuhada berada di perut burung yang hijau yang beterbangan di kebun-kebun Surga, ia makan dari buah-buahnya dan minum dari sungainya dan berlindung di lampu-lampu yang bergantungan di atap Arasy Allah, maka kehidupan para nabi dan rasul di atas semua itu. Apa yang didapat oleh Musa seandainya dia hidup sampai hari ini, dia pasti memikul kesulitan-kesulitan dunia dan ujian-ujiannya, dia akan menyaksikan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi sepanjang sejarah yang membuat pikiran sibuk, hati bersedih. Bukankah lebih baik dia berada di Rafiqil A’la dengan para rasul dan para nabi menikmati kenikmatan Surga daripada hidup di rumah kesengsaraan dan ujian.

Musa memohon kepada Allah pada waktu rohnya dicabut agar didekatkan kepada tanah yang suci sejauh lemparan batu. Permintaan Musa ini adalah wujud kecintaannya kepada tanah suci yang bercokol di dalam jiwanya, sehingga dia meminta dikubur di perbatasannya, dekat dengannya tetapi Musa tidak meminta kepada Allah agar mematikannya di tanah suci karena dia mengetahui bahwa Allah mengharamkannya atas generasi di mana Musa berasal darinya sebagai hukuman atas mereka karena ketidaktaatan mereka kepada Tuhan mereka ketika Dia memerintahkan mereka agar masuk tanah suci yang telah Allah tulis untuk mereka, mereka berkata, “Pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” (Al-Maidah: 24). Lalu Allah menulis atas mereka kesesatan selama empat puluh tahun di gurun Sinai.

Allah menjawab doa Musa. Rasulullah SAW telah menyampaikan kepada kita bahwa kuburan Musa ada di sana di pinggiran tanah suci di dataran pasir merah. Seandainya beliau di sana niscaya beliau menunjukkan itu kepada sahabat-sahabatnya.

Faidah-Faidah

1. Hadis ini menunjukkan bahwa sebelum nyawa para nabi dicabut, mereka diberi pilihan antara terus hidup atau berpindah kepada rahmatullah sebagaimana Musa diberi pilihan. Aisyah telah mendengar Rasulullah SAW bersabda pada waktu beliau sakit menjelang wafatnya, “Ya Allah, Rafiqul A’la.” Aisyah mengerti bahwa beliau diberi pilihan maka beliau memilih.
2. Kemampuan malaikat menjelma dalam wujud manusia sebagaimana malaikat maut mendatangi Musa dalam wujud manusia.
3. Kematian adalah haq dan pasti, jika ada yang lolos dari maut tentulah mereka adalah para nabi dan rasul.
4. Kedudukan Musa di sisi Allah di mana dia menampar malaikat maut lalu rusak matanya, kalau bukan karena kemuliaan Musa di hadapan Allah mungkin saja malaikat akan membalas dengan keras.
5. Tidak ada alasan yang logis untuk menolak kejadian yang shahih ini. Rusaknya mata malaikat karena tamparan Musa terjadi karena malaikat datang dalam wujud seorang manusia. Disinilah letak ujian bagi orang-orang beriman, apakah mereka mempercayainya atau tidak?
6. Keberadaan kubur Musa di tepi perbatasan tanah suci dan Rasulullah mengetahui tempat kuburnya, beliau menunjukkan sebagian alamat kuburnya yaitu di tepi jalan di tanah pasir merah.
7. Keinginan Musa agar kuburnya dekat dengan tanah suci dan boleh-boleh saja bagi siapa yang ingin mati di tanah suci.
8. Tanah suci yang diberkahi memiliki batasan. Musa meminta kepada Allah agar mendekatkan kuburnya darinya sejauh batu dilempar, oleh karena itu Musa dikuburdi luar di pinggirannya.
(Izzudin Karimi)