Tanya :

Apa hukumnya berihram sebelum tiba di miqat yang telah ditentukan?

Jawab :

Berihram sebelum tiba di miqat yang telah ditentukan itu makruh hukumnya, karena Nabi Shalallaahu alaihi wasalam telah menetapkannya sebagai tempat memulai berihram. Seseorang yang melakukan ihram sebelum sampai di tempat miqat yang telah ditentukan merupakan sikap mendahului ketentuan Allah Subhannahu wa Ta’ala, maka dari itulah Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam ketika berbicara tentang puasa bersabda,

لاَ تُقَدِّمُوْا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ.

“Jangan kalian mendahului bulan suci Ramadan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali kalau seseorang yang menekuni puasa tertentu, maka tidaklah mengapa”( Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no. 1914) dalam kitab Ash-Shaum, Muslim (no. 21) dalam kitab Ash-Shiyam.).

Hadits ini mengisyaratkan bahwasanya kita seharusnya selalu mematuhi ketetapan miqat yang telah ditentukan oleh agama, baik miqat waktu maupun miqat tempat, namun apabila seseorang terlanjur berihram sebelum sampai ke miqatnya, maka ihramnya tetap sah.

Di sini ada satu masalah yang ingin saya ketengahkan, yaitu bahwasanya Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tatkala menetapkan miqat-miqat di atas, beliau bersabda,

هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِنَّ مِمَّنْ يُرِيْدُ الْحَجَّ أَوِ الْعُمْرَةَ.

“Miqat-miqat itu adalah untuk penduduk negeri (yang telah ditentukan), dan untuk penduduk negeri lain yang melewatinya, yaitu dari orang yang hendak melakukan ibadah haji atau umrah”( Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no. 1524) dalam kitab Al-Hajj, Muslim (no. 11) dalam kitab Al-Hajj.).

Maka penduduk negeri Najed yang lewat kota Madinah, maka harus berihram dari Dzulhulaifah (miqatnya orang-orang Madinah). Demikian pula penduduk negeri Syam yang lewat kota Madinah, harus berihram dari Dzulhulaifah, mereka tidak boleh menunggu sampai mereka tiba di miqat asli orang-orang negeri Syam, sebagaimana pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat ulama.

( Fatwa Syaikh Muhammad bin shalih Al-‘Utsaimin )