Umat Islam di negara Swiss membutuhkan bantuan dari negeri Muslim lainnya untuk memperkuat syiar dan dakwah Islam.

Berada di urutan kedua setelah agama Kristen, ternyata tidak lantas menjadikan Islam bisa diterima oleh mayoritas masyarakat Swiss. Berbagai isu seputar kampanye anti-Islam di negara Eropa Tengah tersebut akhir-akhir ini memang kerap menghiasi pemberitaan di sejumlah media-media internasional, terutama yang berasal dari negara Muslim. Bahkan, yang terbaru, umat Islam di Swiss mengalami kesulitan saat harus membangun masjid, karena menaranya dianggap bertentangan dengan simbol demokrasi ala Barat.

Di negara yang berbatasan langsung dengan Jerman, Prancis, Italia, Liechtenstein, dan Austria ini, berdasarkan data sensus terakhir, terdapat sekitar 340 ribu warga Muslim di Swiss dari 7,4 juta jumlah populasi negeri itu. Sekitar 43 persen warga Muslim Swiss berasal dari keturunan Turki. Jumlah tersebut mengalami peningkatan jika dibandingkan angka statistik resmi yang dirilis pemerintah tahun 2001 silam sebanyak 310.807 jiwa.

Keberadaan Islam di wilayah Swiss sudah terlacak sekitar abad 9-10 Masehi. Ajaran Islam dibawa oleh Saracen, yakni sekelompok penjelajah Muslim pada masa itu. Asal-usul dan tujuan awal dari kelompok ini masih menjadi misteri, namun mereka bergerak dari basis di Provence, sebelah selatan Prancis yang menuju utara Italia. Di sebelah timur mereka menjelajah hingga Chur dan hampir mencapai Saint Gallen sebelum kemudian kembali ke wilayah Barat.

Seperti halnya di sejumlah negara Eropa lainnya, Islam berkembang luas di Swiss melalui peran serta para kaum imigran. Muslim pertama tiba sebagai pekerja pada 1960-an, sebagian besar berasal dari Turki, bekas wilayah Yugoslavia dan Albania. Pada 1970-an, para imigran Muslim ini kemudian membawa serta keluarga mereka.

Gelombang berikutnya imigran Muslim ini datang dari para pencari suaka, beberapa di antaranya mendapatkan kewarganegaraan. Menurut data tahun 2000, lebih dari 88,3 persen Muslim di Swiss bukan warga asli. Hanya 11,7 persen (36.481 orang) yang memiliki kewarganegaraan Swiss. Sedangkan 7,7 persen adalah warga naturalisasi dan 3,9 persen menjadi warga negara Swiss sejak lahir.

Konsentrasi terbesar kaum Muslim berada di kantong-kantong wilayah yang penduduknya berbahasa Jerman. Kantong-kantong yang memiliki populasi Muslim lebih dari lima persen adalah Basel-Stadt (6,72 persen), Glarus (6,50 persen), St. Gallen (6,13 persen), Thurgau (5,94 persen), Schaffhausen (5,80 persen), Aargau (5,49 persen), Solothum (5,39 persen), dan Zurich (5,33 persen).

Jenewa adalah satu-satunya wilayah nonbahasa Jerman yang memiliki populasi Muslim dengan jumlah sedikit di atas rata-rata sebanyak 4,35 persen. Karenanya bisa dikatakan distribusi kaum Muslim di Swiss cukup merata. Tidak ada unit administratif yang memiliki lebih dari 8,55 persen populasi Muslim, dan tidak ada kota atau desa yang memiliki lebih dari 16,8 persen penduduk Muslim. Persentase Muslim terendah dalam sebuah kantong Muslim adalah 1,82 persen, di Ticino, wilayah berbahasa Italia.

Menara masjid
Di negara yang terkenal dengan sebutan Euro-Islam ini terdapat beberapa masjid, termasuk satu di Jenewa dan satu di Zurich. Bangunan masjid yang berada di Jenewa dan Zurich ini kedua-keduanya dilengkapi dengan menara. Selain itu, juga ada sekitar 120 tempat shalat resmi di seluruh negeri dan sekitar 100 tempat shalat tak resmi.

Namun, keberadaan menara masjid saat ini menjadi isu hangat yang tengah diperbincangkan di kalangan Muslim dunia. Penyebabnya tak lain adalah hasil referendum untuk menentukan apakah perlu pelarangan pembangunan menara masjid atau tidak. Referendum ini merupakan usulan dari Partai Rakyat Swiss (SVP), partai terbesar di negara tersebut. Partai sayap kanan ini menilai menara merupakan simbol Islam militan.

Hasil referendum yang diselenggarakan Ahad (29/11) lalu menunjukkan lebih dari 57,5 persen pemilih dari 2,67 juta warga yang memberikan suara mendukung pelarangan itu. Sedangkan 42,5 persen lainnya menentang (atau menganggap biasa saja keberadaan menara masjid). Sementara sebanyak 22 dari 26 provinsi di Swiss memilih pelarangan pembangunan menara masjid.

Padahal, sebelumnya pelarangan menara ini ditolak oleh pemerintah, parlemen, dan semua partai politik besar di negara Eropa. Bahkan, Uskup Katolik Roma dan rabi Yahudi juga mendesak para pemilih untuk menolak larangan menara. Sedangkan Amnesti Internasional mengatakan pada hari Rabu (25/11) bahwa larangan seperti itu akan menjadi pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan pelanggaran hak-hak kesetaraan.

Penolakan terhadap simbol-simbol komunitas Muslim juga pernah terjadi pada 2007 silam. Saat itu dewan Kota Bern menolak rencana untuk membangun salah satu Islamic Center terbesar di Eropa. Bahkan, SVP dan the Federal Democratic Union mengumpulkan tanda tangan guna mendukung pelarangan pembangunan pusat kebudayaan Islam ini.

Dan komunitas Muslim di berbagai negara di dunia, termasuk dari Indonesia, mengecam pelarangan tersebut. Sebab, sebagai sebuah negara yang mengedepankan prinsip kebebasan dan demokratisasi, pelarangan tersebut menunjukkan sikap itu sebagai antikebebasan dan demokratisasi.

Kian dibatasi
Tak hanya persoalan menara masjid, beberapa kebijakan lain dari Pemerintah Swiss juga dirasakan mengekang kebebasan umat Islam di sana dalam menjalankan ajaran Islam. Salah satu contoh nyata adalah aturan mengenai penyembelihan hewan.

Berdasarkan aturan hukum di Swiss, penyembelihan hewan tanpa pemberitahuan merupakan tindakan terlarang. Karena ada aturan seperti ini, umat Islam Swiss terpaksa merayakan Idul Adha tanpa adanya hewan kurban. Sebagai gantinya, mereka memilih menyumbangkan uang atau mengimpor hewan kurban yang telah disembelih dari negara tetangga mereka, Prancis.

Bahkan, sebagai partai terbesar di parlemen, SVP berencana menerapkan lagi larangan-larangan terhadap minoritas Muslim Swiss. ”Pemilih memberi sinyal kuat untuk menghentikan tuntutan kekuasaan politik Islam di Swiss dengan mengorbankan hukum dan nilai-nilai kita,” ujar Adrian Amstutz, anggota parlemen SVP kepada Swissinfo awal Desember ini.

Amstutz mengatakan, SVP juga akan berusaha untuk melarang burqa (pakaian longgar yang menutupi seluruh tubuh dan wajah–red), bangunan makam Muslim, dan pembebasan siswa Muslim untuk ikut belajar berenang yang campur dengan laki-laki dan perempuan. ”Perkawinan paksa, khitan perempuan, dispensasi khusus dari pelajaran berenang, dan burqa berada di daftar puncak,” tegasnya.

Pemimpin SVP, Toni Brunner, juga mengatakan, pihaknya akan berupaya untuk melarang jilbab, yang dalam Islam merupakan pakaian wajib untuk perempuan, di tempat kerja. Pemerintah Swiss pada Oktober lalu telah mengumumkan rencana memperketat hukum untuk menindak perkawinan paksa. Sementara Partai Demokratik Kristen telah mendorong untuk sebuah larangan burqa.

Sulitnya melaksanakan Islam secara sempurna juga dialami Tariq Said Ramadhan, salah seorang tokoh Muslim Swiss. Ia mengatakan, betapa pahit dan sulitnya perjuangan umat Islam di negara tersebut.

”Saya merasakan langsung betapa berat tantangan yang dihadapi umat Islam di lingkungan Barat, termasuk saat ayah saya pindah ke Swiss. Alhamdulillah, tiga tahun setelah bermukim di Swiss berdirilah Islamic Center dibantu Pemerintah Arab Saudi,” ujarnya seperti dikutip swaramuslim.net.Kini, umat Islam di negara Swiss membutuhkan bantuan dari negeri Muslim lainnya untuk memperkuat syiar dan dakwah Islam.
Sumber: http://republika.co.id