Tanya :

Assalamu’alaikumWr.Wb
Setalah membaca sebuah buku yang berjudul 60 penyakit hati dan menganalisa diri saya. Akhirnya saya berkesimpulan bahwa saya terkena penyakit keras hati dan penakut meskipun ada langkah-langkah penyembuhan tapi hal itu telalu sedikit dan tidak terlalu saya pahami, bagaimana agar penyakit itu hilang?. Terima kasih sebelumnya.

Jawab :

Wa’alaikum Salâm Warahmatullâhi Wa barokâtuh
Alhamdulillah anda menyadari hal itu, dan pengakuan jujur anda itu sebaiknya dijadikan permulaan dari mulai lunaknya kekerasan hati anda sebagaimana yang anda rasakan.
Kekerasan hati dalam satu sisi adalah positif bila hal itu digunakan dalam mempertahankan prinsip yang benar dan tegar dalam memegangnya berdasarkan kepada dalil-dalil yang benar. Tetapi, ia menjadi negatif bila digunakan untuk mempertahankan pendapat/prinsip dan bersikukuh padanya padahal dalil yang dipakainya lebih/sangat lemah dibanding dengan lawan bicaranya. Maka dalam menyikapi hal ini diperlukan sifat “tawadhu’ “ (rendah diri). Dalam sebuah hadits, dikatakan :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ . رواه مسلم .

Artinya : Dari Abu Hurairah radhiallâhu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda :”Tidaklah sedekah mengurangi harta sedikitpun, dan tidaklah Allah tambahkan seorang hamba dengan ampunanNya kecuali Dia akan menambah kemuliaan baginya serta tidaklah seseorang bertawadhu’ (merendahkan diri) karena Allah kecuali Allah akan mengangkat (derajat) nya”. (H.R.Muslim).

Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam adalah merupakan contoh dan teladan yang baik dalam sifat tawadhu’ ini. Beliau, meskipun kedudukannya yang tinggi disisi Allah dan para shahabatnya namun hal itu tidaklah membuat beliau menjadi angkuh dan keras hati dan memandang remeh orang lain. Diantara budi pekerti yang ditunjukkannya dalam kehidupannya adalah saat perjanjian “Hudaibiyah” dimana ketika itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam memakai stempel yang bertuliskan “dari Muhammad Rasulullah” maka hal ini ditolak mentah-mentah oleh orang-orang Kafir Quraisy dan meminta Nabi menanggalkan kata “Rasulullah” tersebut dan menggantinya menjadi “Muhammad bin ‘Abdullah “.

Bagaimana sikap Nabi dalam menanggapi sikap keras hati Kaum Kafir Quraisy ini, apakah beliau marah dan langsung memerangi mereka padahal beliau memiliki kekuatan yang cukup untuk itu?.. Sebagian para shahabat tidak menerima penghinaan/perendahan terhadap Nabi mereka, akan tetapi Rasulullah menyikapi hal itu dengan penuh tawadhu’ dan menerima semua persyaratan yang diajukan oleh orang-orang Kafir Quraisy meskipun hal itu menurut logika tidak proporsional dan sangat memberatkan. Apa yang terjadi setelah itu ternyata sebagaimana yang beliau sabdakan dalam hadits diatas bahwa Allah semakin meninggikan martabat beliau dan kaum Muslimin dengan kemenangan dan penaklukan kota Mekkah. Dan sungguh banyak sekali contoh-contoh ketawadhu’an Rasulullah, para shahabatnya dan dalam riwayat hidup generasi Tabi’in dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik hingga hari Kiamat… Bila kita membaca riwayat hidup mereka maka akan kita dapati banyak sekali suri teladan dalam sifat yang satu ini. Allah mengabadikan sifat-sifat para shahabat dalam bersikap dalam Al-Quran, diantaranya ;

firmanNya : “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang Kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus diatas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh diantara mereka ampunan dan pahala yang besar”. (Q.S. al-Fath : 29).

Dalam firmanNya yang lain:
”Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…”. (Q.S. Ali ‘Imran :259). FirmanNya yang lain :”Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang sikap keras terhadap orang-orang kafir…..”. (Q.S. al-Mâidah : 54).

Ayat-ayat Al-Quran diatas sebagai gambaran kecil dari sifat tawadhu’ sekaligus berkeras hati dalam bersikap sesuai dengan proporsinya…artinya kapan mereka menempatkan sifat tawadhu’ dan kapan pula mereka menampakkan sifat keras tersebut.

Sebenarnya banyak cara dan langkah yang dapat kita lakukan untuk menghilangkan sifat tersebut asalkan kita mempunyai keinginan untuk melakukan hal itu dan hal itu hanya bisa dilakukan bila kita memiliki keberanian dan keikhlasan dalam merendahkan diri (untuk suatu kebenaran) dan menerima pendapat dan nasehat orang lain selagi hal itu berdasarkan kepada dalil-dalil yang lebih kuat. Bahkan dalil yang lemah sekalipun dapat dijadikan sebagai pengukur rasa ketawadhu’an kita yaitu dengan ini kita memahami bahwa semua orang memiliki kelemahan dan kelebihan. Selama kita masih memiliki sifat angkuh yang dapat dirasakan dari orang yang keras hati dan menganggap bahwa kitalah yang paling benar dan sikap berbangga kepada diri sendiri yang sangat berlebihan maka tidak mungkin dapat mengobati sifat keras hati (yang anda katakan sebagai penyakit ) tersebut.

Adapun sifat penakut yang anda sebut tersebut, kami belum mengerti batasannya ; apakah penakut dalam arti sifat bawaan sebagai lawan dari berani.. atau penakut dalam arti maknawi artinya penakut dalam menghadapi kenyataan atau menerima kebenaran yang ada pada orang lain atau nasehat mereka? . Bila penakut dalam arti yang pertama, maka tergantung kepada anda untuk menghilangkannya dan harus secara fisik mempraktekkannya, sedangkan bila hal itu dalam arti yang kedua maka sifat tawadhu’ diatas adalah prasyarat yang mutlak dimiliki untuk dapat menghilangkannya. Secara teoritis, dapat kita ambil beberapa pelajaran berharga yang barangkali dapat kita gunakan untuk merenunginya :

a. Kita merujuk kepada asal penciptaan kita yang berasal dari “air yang hina” sehingga kita perlu bertanya : pantaskah kita berkeras hati (dalam arti berbangga pada diri sendiri) dan menganggap kitalah yang paling benar padahal kita berasal dari air yang hina tersebut ?

b. Kita ikhlas melaksanakan shalat dan bersujud kepada Allah Ta’ala karena menyadari bahwa disana ada yang lebih Agung dan Tinggi dari kita dan kita, ternyata, dalam menghadapNya dalam posisi yang sama serta tidak ada perbedaan antara si kaya dan miskin, si tua dan muda …semua sama-sama sujud dihadapanNya. Hanya Dia lah yang akan menilainya dengan standar “taqwa”.

c. Mengkaji lebih banyak lagi sirah/riwayat hidup Nabi, para shahabat dan generasi Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in yang dikatakan sebagai generasi-generasi terbaik, begitu juga sikap mereka dalam mengakui kelemahan yang ada pada dirinya dan menerima kritik dan nasihat dari orang lain alias mereka tidak takut dalam mengakui kesalahan itu selama dalil yang dipakai oleh lawan bicara mereka lebih kuat dan tidaklah mereka menganggap hal itu sebagai perendahan terhadap derajat mereka. Semoga apa yang kami tulis ini tidak terlalu jauh dari jangkauan anda dan dapat dimaklumi…mudah-mudahan Allah selalu membuka hati kita untuk menerima kebenaran dari mana pun asalnya penuh rasa ikhlas dan rasa rendah diri.
Wallahu a’lam. Wassalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu.