Perbedaan dan perselisihan dalam rumah tangga antara suami istri merupakan pemandangan yang lumrah dan biasa, aneh rasanya dan memang tidak ada, jika rumah tangga tanpa diselingi oleh perkara ini, selama perbedaan dan perselisihan dalam koridor wajar dan tidak mengancam keutuhan rumah tangga, maka tidak perlu dipusingkan dan dikhawatirkan, justru kalau dikhawatirkan malah memicu perselisihan baru, anggap saja sebagai bumbu penyedap, sebab biasanya ujung dari perbedaan dan perselisihan seperti ini adalah happy ending, suami istri justru semakin mesra.

Tidak luputnya rumah tangga dari perbedaaan ini juga terjadi pada rumah tangga Ali bin Abu Thalib dengan Fatimah putri Rasulullah saw. Kita mengetahui siapa Ali, sepupu Rasulullah saw, sahabat besar dengan segudang ilmu dan pengalaman hidup, besar dalam asuhan dan pendidikan Rasulullah saw, keutamaannya diakui oleh semua pihak. Kita pun mengetahui siapa Fatimah, putri terkasih Rasulullah saw, satu-satunya putri Rasulullah saw yang wafat setelah bapaknya, besar dan tumbuh dalam asuhan manusia terbaik Rasulullah saw. Kita yakin bertemunya dua orang ini dalam sebuah ikatan rumah tangga adalah salah satu pertemuan terbaik laki-laki dan wanita sepanjang sejarah pernikahan mansuia. Kita meyakini bahwa rumah tangga dua orang ini merupakan salah satu rumah tangga terbaik dan terbahagia di dunia. Kita meyakini bahwa hasil rumah tangga dua orang ini adalah salah satu hasil rumah tangga terbaik dalam blantika sejarah perkawinan manusia, al-Hasan dan al-Husain adalah bukti tidak terbantahkan.

Walaupun begitu rumah tangga dua orang ini tidak steril dari perselisihan dan kemarahan salah satu pihak kepada yang lain, tetapi itu manusiawi, sebaik-baiknya Ali dan semulia-mulianya Fatimah, keduanya tetaplah manusia biasa, apa yang terjadi pada kehidupan suami istri mungkin pula terjadi pada mereka berdua.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Sahal bin Saad bahwa Nabi saw datang ke rumah Fatimah putrinya, beliau tidak melihat Ali, beliau bertanya kepada Fatimah, “Di mana putra pamanmu?” Fatimah menjawab, “Antara diriku dengan dirinya terdapat sesuatu, dia marah lalu pergi.” Rasulullah saw bersabda kepada seseorang, “Pergilah, lihatlah di mana dia?” Laki-laki tersebut kembali dan berkata, “Ya Rasulullah, dia di masjid, sedang tidur.” Maka Rasulullah saw datang ke masjid, Ali masih tidur dan pakaiannya terjatuh dari sisinya, maka ia terkena tanah, maka Nabi saw membangunkannya, “Bangun wahai Abu Turab, bangun wahai Abu Turab.” Sahal berkata, “Nabi saw mencandainya dan ngadem-ngademi, dan Ali tidak mempunyai panggilan yang lebih dia sukai dari pada Abu Turab.”

Pelajaran

Sepenggal kisah rumah tangga Ali dan Fatimah di atas menorehkan beberapa faidah berharga bagi pasangan suami istri.

Dari sisi Rasulullah saw sebagai bapak, perhatian Rasulullah saw terhadap rumah tangga anaknya, akan tetapi perhatian ini tidak berarti mengetahui segala sesuatu tentang rumah tangga anak, tidak berarti mencampuri segala perkara dalam rumah tangga anak termasuk rincial persoalan yang terjadi, kita bisa melihat hal ini pada saat Fatimah mengatakan bahwa antara dirinya dengan suaminya terjadi sesuatu dan bahwa suaminya marah karenanya, kita melihat Rasulullah saw tidak mengorek dan bertanya lebih mendalam, biarlah hal itu menjadi rahasia dapur anak, karena memang tidak semua perkara rumah tangga layak dan patut diketahui oleh selain suami istri.

Dari sisi Rasulullah saw sebagai mertua, hikmah Rasulullah saw dalam bersikap kepada menantunya Ali, Rasulullah saw mengetahui bahwa menantunya sedang marah kepada istrinya yang tidak lain adalah putrinya, Rasulullah saw tidak menyikapi hal ini dengan kemarahan kepada Ali dengan alasan membela putrinya, karena jika hal ini dilakukan maka tanah basah semakin becek dan benang semakin kusut, sebaliknya Rasulullah saw berusaha mencairkan dan mendinginkan suasana, beliau mendatangi menantunya dan memanggilnya dengan panggilan yang kemudian menjadi panggilan yang disukai oleh menantunya.

Dari sisi Ali sebagai suami, sikap dan tindakan tepat yang dilakukan olehnya dengan tidak membiarkan jurang perselisihan melebar, dia meninggalkan istrinya karena bisa jadi keberadaannya di sisi istri malah justru memicu kemarahan baru, dan kita mengetahui ada persoalan tertentu yang bisa ditangani dengan hanya menyerahkannya kepada waktu, nanti juga baik sendiri, begitu kata orang, Ali menyadari hal ini, lalu dia pergi ke masjid, ini juga patut kita garis bawahi, ke masjid rumah Allah tempat terbaik, pada saat banyak suami bahkan istri yang jika terjadi perselisihan dengan pasangannya, mereka meninggalkan rumah dengan alasan meringankan beban persoalan lalu mereka dugem dan nongkrong di tempat-tempat yang tidak layak, atau keluyuran ngalor-ngidul mencari teman curhat yang justru tidak menguraikan masalah, atau melakukan tindakan-tindakan merusak, kepada mereka ini penulis katakan, tirulah Ali yang menenangkan diri di masjid.

Dari sisi Fatimah sebagai istri, dia membiarkan suaminya menenangkan diri dan dia sendiri tidak ikut-ikutan meninggalkan rumah dengan alasan mencari ketenangan, Fatimah menyadari bahwa rumah merupakan sumber ketenangan bagi dirinya.

Dari sisi Fatimah sebagai anak, dia tidak berusaha mencari dukungan dari bapaknya untuk menghadapi suaminya, dia tidak memanas-manasi bapaknya untuk memarahi Ali, dia juga tidak curhat secara mendetail tentang persoalan dirinya dengan suaminya, dia mengetahui di mana letak kebaikan bagi rumah tangganya. (Izzudin Karimi)