Di antara hukum-hukum yang menjadi kekhususan bagi laki-laki adalah, bahwa merekalah penanggung jawab rumah, dengan memberikan perlindungan dan perhatian, menjaga keutamaan-keutamaannya, mencegah kehinaan-kehinaannya, dan melindungi rumah tangga dari segala ancaman bahaya. Dan, mereka juga sebagai penanggung jawab, dengan menghidupi dan memberi nafkah bagi keluarganya beserta semua yang berada di dalam rumahnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara (mereka)”. (QS. An-Nisa: 34)

Coba perhatikan pengaruh qiyam (memikul tanggung jawab) ini dalam lafadz تحت pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

Artinya: “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah tanggung jawab dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami”. (QS. At-Tahrim: 10).

Maka lafazh تحت dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, ini menunjukkan, bahwa tidak ada kekuasaan bagi keduanya (istri Nuh dan istri Luth) atas kedua suami mereka. Akan tetapi, kekuasaan itu justru hak Nabi Nuh dan Nabi Luth atas mereka berdua. Wanita bagaimanapun juga tidak bisa menyamai laki-laki, dan selamanya tidak mungkin mengunggulinya.

Di antara kekhususan laki-laki yang lain adalah bahwasanya kenabian dan kerasulan itu hanya diberikan kepada mereka, tidak kepada kaum perempuan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Artinya: “Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri”. (QS. Yusuf: 109)

Kalangan ahli tafsir berpedapat, “Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengutus seorang nabi dari kaum wanita, malaikat, jin dan badui”.

Sesungguhnya perwalian umum beserta perangkat atau perwakilannya, semisal: urusan kehakiman, administrasi dan sebagainya, juga seluruh perwalian yang ada, semisal: perwalian dalam pernikahan; kesemuanya itu hanya dilimpahkan kepada kaum laki-laki, bukan kaum perempuan.

Dalam kaitannya dengan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kaum laki-laki juga memiliki banyak kekhususan yang tidak diperuntukkan bagi kaum perempuan, semisal menunaikan kewajiban jihad, shalat jum’at, shalat berjama’ah, azan, iqamat dan lain sebagainya. Begitu pula, otoritas penjatuhan talak juga tergantung pada keputusan suami bukan istri, da bahkan anak pun dinisbatkan kepada ayahnya bukan kepada ibunya.

Selain itu, kaum laki-laki juga dilipatgandakan atas perempuan dalam masalah warisan, diyat (sanksi), persaksian, pembebasan budak dan akikah. Semuanya ini beserta hukum-hukum yang berkenaan dengan kekhususan kaum laki-laki lainnya, merupakan arti dari apa yang telah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhir ayat talak; yaitu ayat ke-228 dari surat al-Baqarah.

Artinya: “Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Sedangkan hukum-hukum yang dikhususkan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi kaum perempuan sebenarnya juga banyak. Di antaranya mencakup masalah yang berhubungan dengan ibadah, muamalah, pernikahan dan pembahasan-pembahasan yang berkenaan denganya, serta masalah pengambilan keputusan atau kehakiman dan lain sebagainya. Semuanya bisa diketahui dalam al-Qur’an, sunnah maupun buku-buku fikih atau yurispudensi Islam. Bahkan dari dulu hingga sekarang ini, hal itu telah ditulis secara terpisah dalam buku tersendiri. Kemudian, di antara hukum-hukum lain yang khusus diperuntukkan bagi kaum wanita, adalah masalah yang berkaitan dengan perintah memakai hijab dan menjaga keutamaan dirinya

Semua hukum yang hanya dikhususkan baik terhadap laki-laki maupun perempuan ini, pada dasarnya memiliki beberapa faedah dan kegunaan, di antaranya ketiga hal berikut ini:
Pertama, meyakini dan menerima berbagai perbedaan antara laki-laki dan perempuan, baik yang bersifat inderawi, maknawi maupun syar’i. Semestinya, semua pihak menerima dengan lapang ada apa yang secara qadrati maupun syar’i telah digariskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya semua perbedaan yang ada ini, adalah keadilan yang membawa ketertiban dan keteraturan bagi kehidupan masyarakat manusia.
Kedua, bagi seorang muslim dan muslimah tidak boleh mengharapkan apa yang telah dikhususkan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi yang lainnya, mengingat hal itu bisa dikategorikan sebagai tindakan protes terhadap takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala, di samping sebagai penolakan atas hukum dan syari’at-Nya. Seorang hamba, justru harus memohon kemurahan dari Tuhannya. Inilah tata krama syar’I yang dapat menghilangkan kedengkian, dan membenahi serta melatih nafsu muthmainnah, untuk senantiasa menerima dengan lapang dada apa yang telah ditakdirkan dan diputuskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang yang demikian itu dan berfirman:
Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa: 32).

Sebab turunnya ayat ini, adalah seperti yang diriwayatkan Imam Mujahid rahimahullah, beliau berkata, “Ummu Salamah Radhiallahu ‘anha pernah bertanya, “Wahai Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, apakah kaum laki-laki saja yang diperkenankan mengikuti perang, sedangkan kami tidak, padahal kami berhak mendapatkan separuh bagian dari warisan?” Maka, turunlah ayat ini.” (HR. Imam Thabari, Ahmad, Hakim dan yang lainnya).

Abu Ja’far ath-Thabari Rahimahullah pernah berkata, “Maksud dari ayat itu adalah, “Janganlah kalian mengharapkan kelebihan yang telah Allah berikan kepada sebagian kalian atas sebagian yang lainnya”. Dikatakan pula, bahwa ayat ini diturunkan kepada para wanita yang menginginkan kedudukan yang diperuntukkan khusus bagi kaum laki-laki, dan berharap agar mereka memiliki apa yang dimiliki oleh kaum laki-laki. Allah Subhanahu wa Ta’ala mencegah para hamba-Nya dari angan-angan yang bathil, dan sebaliknya memerintahkan mereka agar memohon kemurahan dari-Nya. Hal itu, karena angan-angan semacam itu bisa menimbulkan kedengkian dan kejahatan”.

Ketiga, jika bersikap iri hati saja dilarang, sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat Al-Qur’an tersebut, lalu bagaimana dengan orang-orang yang mengingkari perbedaan-perbedaan syar’I antara laki-laki dan perempuan, bahkan sebaliknya menyerukan penghapusannnya dan menuntut apa yang mereka sebut “kesetaraan gender”? Tanpa diragukan lagi, bahwa hal ini adalah ideologi atheis. Karena, di dalamnya terdapat perlawanan terhadap kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bersifat kauniyah qadariyah, berupa perbedaan-perbedaan bentuk ciptaan dan sifat maknawi yang ada di antara laki-laki dan perempuan. Juga, merupakan penolakan terhadap Islam dan nash-nash syar’I, yang secara tegas telah membedakan antara laki-laki dan perempuan di banyak hukum, sebagaimana yang telah disinggung pada pembahasan terdahulu.