Bersedekah termasuk amal shalih yang paling agung, bahkan termasuk amal terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Bersedekah juga merupakan salah satu sebab dilindunginya seseorang dari adzab kubur dan mendapat naungan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- pada hari Kiamat. Apalagi jika orang yang mengeluarkan sedekah itu memperhatikan adab-adabnya.
Di antara adab-adab tersebut adalah sebagai berikut:

1-Ikhlas dalam Bersedekah

Seseorang wajib mengikhlaskan niat karena Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- semata di dalam bersedekah dan mencari keridhaan-Nya serta kedekatan di sisi-Nya, baik sedekah wajib maupun sedekah mustahab (sunnah). Jika keikhlasan tidak ada, maka sedekah akan batal dan dapat menggugurkan pahalanya. Sebagian orang bersedekah dengan tujuan riya’ dan sum’ah serta berbangga-bangga untuk menyombongkan diri agar ia dikenal dengan sedekahnya. Bahkan, ia berusaha menonjolkan hal itu. Orang-orang seperti ini akan disiksa pada hari Kiamat dengan siksa yang sangat berat.

Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

أَوَّلُ مَنْ تُسَعَّرُ بِهِمُ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَلَاثَةٌ

“Orang yang pertama kami dipanaskan dengan (tubuh) mereka api Neraka pada hari Kiamat ada tiga golongan.”

Kemudian, beliau berkata,

وَيُؤْتَى بِالْمُتَصَدِّقِ

“Dan dihadirkan orang yang bersedekah.”

Sampai dengan sabda Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-:

فَيَقُوْلُ اللهُ : كَذَبْتَ ، إِنَّمَا تَصَدَّقْتَ لِيُقَالَ : جَوَادٌ ، فَقَدْ قِيْلَ

Allah berkata: Engkau berdusta. Sesungguhnya engkau bersedekah agar dikatakan dermawan. Begitulah (kenyataan) yang telah dikatakan’.” (HR. Muslim, no. 1095).

2-Mempelajari Kewajiban-kewajiban dalam Bersedekah

Seorang Muslim wajib mempelajari tentang sedekah-sedekah yang diwajibkan atas dirinya, mempelajari ukuran-ukurannya dan kepada siapa sedekah itu harus diberikan, serta hal-hal lain yang akan meluruskan ibadahnya tersebut. Hal itu dilakukan sebelum ia melakukan sedekah, walaupun ia harus bertanya kepada ahli ilmu. Sebab, ia tidak akan terhitung melaksanakan kewajiban di dalam ibadah hingga ia melakukannya sesuai dengan yang disyariatkan Allah -سُبْحَانَهُ وتَعَالَى-. Selain itu, agar tidak mengeluarkan sesuatu dari jenis harta yang tidak wajib dikeluarkan zakatnya atau ia tidak memberikannya kepada orang yang tidak berhak menerimanya dan hal-hal semacam itu.

3-Tidak Menunda-nunda Sedekah yang Wajib hingga Keluar Waktunya

Jika telah wajib atas seorang Muslim mengeluarkan zakat atas hartanya, tanamannya, perniagaannya, atau yang lainnya dari harta sedekah yang wajib, maka ia wajib mengeluarkannya pada waktunya. Tidak boleh ia menundanya tanpa adanya udzur. Hal itu tidak boleh sama sekali. Siapa yang menunda hingga keluar dari waktunya tanpa udzur, niscaya ia akan menghadapi kemurkaan Allah -سُبْحَانَهُ وتَعَالَى -.

4-Mendahulukan Sedekah yang Wajib daripada yang Mustahab (Sunnah)

Wajib atas seorang Muslim, apabila ia harus mengeluarkan zakat yang wajib dan telah tiba waktunya, agar mendahulukannya daripada sedekah yang mustahab. Itulah hukum asalnya. Sebab, menunaikan sedekah yang wajib termasuk rukun Islam. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- tidak akan menerima amalan-amalan sunnah hingga ia mengamalkan amalan wajib. Amal yang disukai Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- untuk mendekatkan diri kepada-Nya adalah dengan menunaikan kewajiban, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits qudsi:

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ

Dan tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai daripada apa-apa yang telah Aku wajibkan atasnya.” (HR. al-Bukhari, no. 6502).

Barang siapa yang mendahulukan sedekah yang mustahab atas sedekah yang wajib maka ia berada dalam kesalahan yang besar. Ia melakukan hal itu disebabkan kejahilan terhadap syariat dan karena kekurangan ilmunya tentang hal-hal yang disukai Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-.

5-Mengeluarkan Zakat dari Jenis-jenis Harta yang Telah Ditentukan Syariat apabila Telah Wajib Atasnya.

Apabila sudah jatuh kewajiban atas seorang Muslim untuk mengeluarkan sedekah (zakat) atas barang tertentu secara syar’i, dan syariat telah menjelaskan cara mengeluarkan jenis tertentu dari hartanya, seperti zakat fithri, yang telah diwajibkan oleh Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ – yaitu satu sha’ (2,75 kg) (burr) atau satu sha’ kurma atau satu sha sya’ir (jewawut) atau sejenisnya, maka seharusnya seorang Mukmin mengeluarkan zakat harta-harta yang telah disebutkan oleh Raulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ- di dalam nash tersebut. Janganlah ia mengeluarkan pengganti selainnya atas dasar ijtihad sendiri, dengan anggapan bahwa jenis-jenis harta yang lain dapat menggantikan kedudukannya atau lebih bermanfaat dari jenis-jenis tersebut. Sebab, kalaulah demikian halnya, tentu syariat telah menyebutkannya dan tentu Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ- telah mengisyaratkannya, atau telah memilihnya, atau memberikan pilihan kepadanya. Maka bagaimana mungkin seorang Mukimin berprasangka bahwasanya perhatian Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ- telah luput dari perkara ini? Apakah syariat tidak memperhitungkannya?

Mengeluarkan jenis-jenis harta yang telah disebutkan di dalam syariat akan menjauhkan seorang Muslim dari perselisihan-perselisihan pendapat fikih tentang barang yang digunakan sebagai penggantinya, apakah boleh atau tidak. Sebab, tidak ada orang yang mengatakan bahwasanya jenis-jenis harta yang dikeluarkan menurut ketetapan syariat tidak sah. Namun yang menjadi khilaf (perbedaan pendapat) adalah harta jenis lain, apakah sah ataukah tidak.

6-Hendaklah Sedekah Itu dari Hasil yang Baik

Bersedekah dari harta yang halal karena itu merupakan sebab diterimanya sedekah tersebut dan yang akan menghasilkan pahala, sebagaimana sabda Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

مَا تَصَدَّقَ أَحَدٌ بِصَدَقَةٍ مِنْ طَيِّبٍ – وَلَا يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا الطَّيِّبَ – إِلَّا أَخَذَهَا الرَّحْمَنُ بِيَمِينِهِ وَإِنْ كَانَتْ تَمْرَةً فَتَرْبُو فِى كَفِّ الرَّحْمَنِ حَتَّى تَكُونَ أَعْظَمَ مِنَ الْجَبَلِ كَمَا يُرَبِّى أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ أَوْ فَصِيْلَهُ

Tidaklah seseorang bersedekah dengan harta yang baik, -dan Allah tidak akan menerima kecuali yang baik-baik-, melainkan Allah akan mengambil dengan tangan kanan-Nya. Jika itu berupa sebutir kurma, niscaya ia akan tumbuh di telapak tangan Allah hingga menjadi lebih besar daripada gunung. Sebagaimana seseorang di antara kamu menyemai benihnya atau memelihara anak untanya. (HR. Muslim, no. 2389).

Al-fashil adalah unta kecil. Wajib atas orang yang bersedekah untuk mengusahakan agar sedekahnya berasal dari harta yang baik. Kalau tidak demikian, niscaya sedekahnya tidak akan diterima. Sungguh mengherankan, sering kali kami mendengar para penari atau penyanyi yang mendermakan hasil usahanya yang buruk itu untuk amal-amal kebaikan. Demikian pula pedagang obat terlarang, penjual khamr, penerima suap, atau yang lainnya. Mereka menyedekahkan harta yang buruk dari harta dan hasil usaha mereka. Kalaulah mereka benar-benar jujur, niscaya mereka akan meninggalkan apa-apa yang mereka kerjakan itu karena ketaatan kepada Allah dan memenuhi perintah-Nya. Namun, kebanyakan dari mereka bertujuan untuk berbangga-bangga, menyombongkan diri, agar orang-orang mengatakan bahwa ia adalah orang yang dermawan.

7-Memberikan Sedekah kepada Orang-orang yang Membutuhkan

Hendaklah orang-orang yang bersedekah berusaha memberikan sedekahnya kepada orang-orang yang berhak menerimanya dari kalangan orang-orang fakir, miskin, anak yatim, janda, orang yang terlilit hutang, dan orang-orang yang berhak menerima sedekah. Janganlah ia memberikannya kepada orang yang ia ketahui tidak membutuhkannya. Apabila itu sedekah yang wajib (zakat), maka tidak sah kecuali diberikan kepada orang yang berhak menerimanya. Seandainya yang dimaksud adalah sedekah yang sunnah, maka dianjurkan mendahulukan orang yang pantas menerimanya. Sebab, sedekah itu akan menjaga mereka dari perbuatan yang haram untuk mendapatkan sesuap nasi atau yang lainnya. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- telah menjelaskan jenis-jenis orang yang menerima zakat.

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajibkan dari Allah, dan Allah Maha mengetahui, Maha Bijaksana.” (At-Taubat: 60).

8-Mengeluarkan Harta yang Terbaik dalam Bersedekah

Janganlah seseorang sengaja mengeluarkan barang-barang atau makanan yang buruk untuk disedekahkan, atau memilih harta-harta yang buruk di dalam bersedekah. Namun hendaklah ia memilih yang bagus. Demikian, jika mampu hendaklah ia memberikan yang paling bagus karena pada hakikatnya ia menyerahkannya untuk dirinya di sisi Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

Hai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya, Maha Terpuji.” (Al-Baqarah: 267).

Demikianlah seorang yang bersedekah, hendaklah mengeluarkan yang terbaik yang dimilikinya untuk Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Sebab, ia akan mendapatkan barang yang disedekahkannya itu terpelihara di sisi Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- pada saat ia membutuhkannya di akhirat.

9-Bersedekah dengan Apa-apa yang Dicintai

Jika seorang hamba mampu bersedekah dengan sesuatu yang ia cintai dari harta, makanan atau yang sejenisnya, maka ia akan mendapatkan pahala yang lebih besar dari Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-.

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (Ali Imran: 92).

Oleh karena itu, Abdullah bin Umar -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, apabila datang kepada beliau seorang peminta-minta, maka ia akan memerintahkan keluarganya untuk memberinya gula karena ia menyukai gula. Demikianlah, hendaknya orang-orang yang suka berbuat baik segera berlomba-lomba melakukannya.

10-Tidak Menggugurkan Sedekah dengan Mengungkit-ungkit dan Menyakiti Orang yang Menerima Sedekah.

Tidak boleh seorang hamba mengungkit-ungkit sedekah kepada orang yang menerimanya atau merendahkannya dengan sedekah, atau menyebutkan kebaikan-kebaikan atas jasa-jasa yang telah ia berikan kepadanya. Sebab, hal itu dapat melukai perasaan orang yang menerimanya dan dapat menghapus (pahala) sedekah, sebagaimana firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى

“Hai orang-orang yang beriman!, Janganlah kamu merusak (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (al-Baqarah: 264).

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga menyifati orang-orang yang beriman di dalam firmanNya,

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنًّا وَلَا أَذًى لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, kemudian tidak mengiringi apa yang diinfakkan itu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (Al-Baqarah: 262).

11-Mengagumi Nikmat-nikmat Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan Mensyukurinya

Wajib bagi orang yang bersedekah agar merenungi nikmat Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- atas dirinya ketika bersedekah. Sebab, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- telah menjadikannya kaya dan tidak membuatnya terpaksa menerima sedekah. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menjadikan tangannya di atas. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menjadikannya orang yang memberi dan bukan menerima. Yang demikian termasuk nikmat Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- atas dirinya sehingga ia harus bersungguh-sungguh mensyukurinya dengan mentaati Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan memperbanyak sedekah, serta berkasih sayang dengan orang fakir, miskin, dan mereka yang membutuhkan.

12-Hendaklah Orang yang Bersedekah Tidak Memandang Dirinya Berjasa Atas Orang yang Menerima Sedekahnya

Wajib atas orang yang bersedekah untuk tidak memandang dirinya berjasa atas orang fakir dan orang yang membutuhkan. Namun, hendaklah ia memandang semua itu sebagai karunia Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- karena Dialah yang telah memberikan dan melimpahkan harta tersebut kepadanya. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-pun memberinya taufik kepada Islam dan melepaskan dirinya dari kebakhilan atau sifat kikir sehingga ia bersegera untuk bersedekah.

Bahkan seorang Mukmin yang bijak akan melihat bahwasanya orang fakir itulah yang telah mencurahkan karunia atasnya. Sebab, orang fakir menerima sedekahnya sehingga memberikan kesempatan baginya untuk menerima pahala dari Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Bahkan, orang-orang shalih dari kalangan Salaf berkata: “Demi Allah, aku memandang justru orang fakir adalah orang yang melimpahkan karunia atasku. Kalaulah Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- tidak menjadikan mereka meminta sedekahku, niscaya aku akan terhalang dari pahala dan balasan dari Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-.

13-Tidak Mengurungkan Niat Bersedekah karena Keraguan Terhadap Orang yang Menerimanya
Apabila seorang yang bersedekah ragu terhadap orang yang menerima sedekahnya, tidak juga bisa memastikan apakah ia benar-benar fakir atau tidak, maka janganlah hal itu membuatnya tidak jadi bersedekah. Sebab, pada dasarnya ia mengharapkan pahala dari Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dari sedekahnya. Hal ini kerap kali terjadi. Selama ia bersunguh-sungguh memberikan sedekah kepada yang berhak, dan besar sangkaannya bahwa orang yang dimaksud berhak menerimanya, maka berikanlah sedekah itu. Bahkan, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- tidak pernah menolak orang yang memintanya, sebagaimana sabda Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

قَالَ رَجُلٌ لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدِ سَارِقٍ فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ تُصُدِّقَ عَلَى سَارِقٍ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدَيْ زَانِيَةٍ فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ تُصُدِّقَ اللَّيْلَةَ عَلَى زَانِيَةٍ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ عَلَى زَانِيَةٍ لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدَيْ غَنِيٍّ فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُونَ تُصُدِّقَ عَلَى غَنِيٍّ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ عَلَى سَارِقٍ وَعَلَى زَانِيَةٍ وَعَلَى غَنِيٍّ فَأُتِيَ فَقِيلَ لَهُ أَمَّا صَدَقَتُكَ عَلَى سَارِقٍ فَلَعَلَّهُ أَنْ يَسْتَعِفَّ عَنْ سَرِقَتِهِ وَأَمَّا الزَّانِيَةُ فَلَعَلَّهَا أَنْ تَسْتَعِفَّ عَنْ زِنَاهَا وَأَمَّا الْغَنِيُّ فَلَعَلَّهُ يَعْتَبِرُ فَيُنْفِقُ مِمَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ

Seorang laki-laki berkata,(Malam ini) Aku akan bersedekah.’ Kemudian ia keluar membawa barang yang akan disedekahkannya. Ternyata, ia memberikannya kepada seorang pencuri sehingga pada pagi harinya orang-orang berbicara, ‘(Tadi malam) Seorang pencuri menerima sedekah.’ Maka orang itu berkata, ‘Ya, Allah, segala puji bagi-Mu, (sedekah itu jatuh ke tangan pencuri).’ Setelah itu, orang itu berkata, ‘Aku akan bersedekah.’ Kemudiam, ia keluar membawa sedekahnya. Ternyata, sedekah itu jatuh ke tangan pelacur sehingga orang-orang berkata, ‘Tadi malam seorang pelacur menerima sedekah.’ Maka orang itu berkata, ‘Ya, Allah, segala puji bagi-Mu, sedekah itu jatuh ke tangan pelacur.’ Sesudah itu ia berkata, ‘Aku akan bersedekah.’ Kemudian ia membawa sedekahnya. Ternyata, sedekah itu jatuh ke tangan orang yang kaya. Hingga orang-orang pun berkata, ‘Orang kaya juga mendapatkan sedekah.’ Maka ia berkata, ‘Ya, Allah, segala puji bagi-Mu, sedekah itu jatuh ke tangan pencuri, pelacur, dan orang kaya.’ Dikatakan kepadanya, ‘Sungguh, sedekahmu telah diterima. Adapun pencuri itu, mudah-mudahan ia tidak lagi mencuri dan pelacur itu, mudah-mudahan ia meninggalkan perbuatan zina, sedangkan orang kaya itu, mudah-mudahan hal itu menjadi peringatan sehingga ia suka bersedekah dari kekayaan yang diberikan Allah kepadanya’.”

Laki-laki dalam hadits di atas mengira bahwa ketiga orang tersebut berhak menerima sedekah yang ia berikan, sedang ia ikhlas dalam memberikannya. Oleh karena itu, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menerima amalnya walaupun orang-orang yang menerima sebenarnya tidak berhak menerima sedekah. Itulah tujuan utama dari orang yang bersedekah, yaitu, mengharapkan pahala dan balasan dari Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Hal itu benar-benar terjadi. Adapun tujuan yang lain ialah memberi manfaat bagi orang fakir dan mencukupi hajat mereka, yang bisa diwujudkan jika yang menerimanya benar-benar berhak. Mungkin juga justru yang tercapai adalah tujuan yang lain, yaitu menjadi i’tibar (pelajaran) jika orang yang menerima sedekah bukanlah orang yang berhak. Namun, jika orang yang bersedekah itu yakin bahwa orang yang meminta tidak berhak, atau menjadikan minta-minta sebagai profesi, maka ia boleh menahan sedekahnya.

14-Lebih Dulu Memberikan Sedekah kepada Karib Kerabat

Apabila karib kerabat mereka termasuk orang yang membutuhkan, maka hak mereka lebih besar daripada hak orang yang lain.

Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

الصَّدَقَةُ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ وَالصَّدَقَةُ عَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ

Sedekah kepada orang miskin (mendapat pahala satu), sedangkan sedekah kepada karib kerabat mendapat dua pahala; pahala sedekah dan pahala silaturrahim.” (HR. Ahmad, no.17884).

Barang siapa yang mendapatkan kelapangan untuk bersedekah, hendaklah ia mendahulukan karib kerabatnya jika mereka membutuhkan karena mereka lebih berhak menerimanya. Jika tidak demikian, ia boleh menyerahkannya kepada yang lain. Semakin dekat derajat kekerabatannya dengan orang yang menerima sedekah itu, maka semakin besar pula pahala sedekahnya. Allahu A’lam.

15-Merahasiakan Sedekah kecuali untuk Suatu Kepentingan

Dianjurkan kepada setiap Muslim jika ia bersedekah untuk merahasiakannya dari pengetahuan manusia sebisa mungkin. Sesungguhnya hal itu lebih dekat kepada keikhlasan serta lebih menjaga harga diri dan kehormatan orang yang menerimanya.

إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ

Jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu. (al-Baqarah: 271).

Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- telah menjelaskan bahwa orang yang merahasiakan sedekahnya termasuk orang-orang yang dinaungi pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-.

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ تَعَالَى فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ … وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ

Tujuh orang yang akan Allah naungi di dalam naunganNya pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya…dan seseorang yang bersedekah, ia menyembunyikan sedekahnya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. (HR. al-Bukhari, no. 1423).

Hadits ini berisi anjuran untuk merahasiakan sedekah. Meskipun demikian, apabila di sana ada kepentingan dan maslahat yang kuat untuk menampakkannya, maka yang lebih baik adalah menampakkannya. Contohnya, orang yang terhormat bersedekah kepada orang yang membutuhkan di hadapan khalayak agar mereka mengikutinya untuk bersedekah. Dengan begitu, ia telah mencontohkan kepada mereka perbuatan baik. Misalnya juga orang yang mengeluarkan zakat secara terang-terangan di hadapan orang banyak untuk mengingatkan mereka tentang waktu zakat, seperti juga orang yang khawatir tidak menemukan orang yang membutuhkannya jika ia tidak memberikannya saat itu juga di hadapan orang banyak. Masih banyak lagi permasalahan lainnya. Hal itu semua dilakukan dengan tetap menjaga diri dari riya’ dan tetap menjaga keikhlasan kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- di dalamnya.

16-Tidak Mengambil Kembali Sedekah

Jika seseorang memberikan suatu sedekah, maka ia tidak boleh mengambilnya kembali dari orang yang telah menerimanya.

Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – bersabda,

مَثَلُ الَّذِى يَرْجِعُ فِى صَدَقَتِهِ كَمَثَلِ الْكَلْبِ يَقِىءُ ثُمَّ يَعُودُ فِى قَيْئِهِ فَيَأْكُلُهُ

“Perumpamaan orang yang bersedekah kemudian ia mengambil kembali sedekahnya seperti anjing yang memuntahkan sesuatu kemudian ia menjilat muntahannya untuk memakannya lagi.” (HR. Muslim, no. 4255).

Hadits itu menerangkan perumpamaan yang sangat jelek bagi orang yang mengambil kembali sedekahnya. Tidak dibuat perumpamaan itu, melainkan karena buruknya perbuatan tersebut. Maka dari itu, wajib atas setiap Muslim ketika bersedekah agar mengeluarkan sedekahnya dengan kemurahan hati dan ia tidak mengambil kembali apa yang telah disedekahkan dengan alasan apa pun.

Demikianlah yang dimudahkan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- bagiku dari adab-adab sedekah, yang jumlahnya ada enam belas adab. Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin. Wallahu A’lam. (Redaksi)

Sumber:
Mausu’ah al-Aadab al-Islamiyyah, Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, E.I. hal. 67-76.