Setiap tempat memiliki perkataan yang sesuai dan setiap perkataan memiliki tempat yang sesuai. Itulah ungkapan para ahli hikmah yang kerap kita dengar. Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa menyampaikan suatu kebenaran harus melihat situasi dan tempatnya. Banyak perkara-perkara yang haq, namun ditolak karena disampaikan pada waktu, situasi dan tempat yang tidak sesuai.

 

Kedudukan Kasih Sayang

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda:

 

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا

 

“Tidak termasuk golonganku orang yang tidak menyayangi anak kecil dan tidak menghormati orang yang lebih tua.” (HR. At-Tirmidzi, no. 1919).

Hadits ini menunjukkan bahwa menyayangi anak kecil adalah suatu kelaziman bagi orang yang lebih senior, baik ia orang tuanya sendiri, saudara-saudaranya, maupun orang lain yang lebih tua umurnya. Kasih sayang ini meliputi semua hal termasuk ketika menasihati seorang anak yang melakukan kesalahan maupun kelalaian.

 

Bagaimana Menasihati Anak?

Banyak orang tua yang menghendaki kebaikan dan kebenaran bagi anak-anaknya, namun harapan itu hanya menjadi debu-debu yang terhempaskan. Yang didapatkan justru sebaliknya, cibiran dan ditolaknya kebenaran maupun nasihat itu. Sehingga, keadaan seperti ini perlu dikoreksi, khususnya para orang tua, apakah nasihat yang ia sampaikan sudah sesuai dengan prinsip-prinsip yang benar.

Untuk membantu menyelesaikan masalah itu, para orang tua perlu mengenal lebih jauh prinsip-prinsip menasihati anak, di antaranya:

 

1. Bahasa harus santun dan lembut

Nasihat yang disampaikan dengan bahasa yang santun dan lembut akan mudah ditangkap dan menggugah hati. Para orang tua pun mengakui masalah ini. Terlebih anak-anak yang dunianya masih kental dengan kasih sayang dan kelembutan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

 

وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا

 

“Dan bertutur katalah yang baik kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah: 83).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلاَ اللَّعَّانِ وَلاَ الفَاحِشِ وَلاَ البَذِيءِ

 

“Bukan seorang mukmin (dengan keimanan yang sempurna); yaitu orang yang suka mencela, suka melaknat, dan suka berkata jorok maupun seronok.” (HR. At-Tirmidzi, no. 1977).

 

2. Kecupan, belaian dan pelukan kasih sayang

Ketika seorang anak berbuat salah, janganlah dihardik dan ditariknya dengan keras. Akan tetapi, dekati anak itu, pegang dengan lembut, kecup keningnya, belai kepalanya dan peluklah dengan pelukan kasih sayang. Ketika berada dalam posisi ini, anak pasti akan luluh, terlebih hatinya. Setelah itu baru bisikan dan sampaikan nasihat dengan kata-kata bijak dan santun.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengunjungi kaum Anshar lalu memberi salam kepada anak-anak mereka serta membelai kepala mereka.” (Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 4947).

Lihatlah betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menyayangi anak-anak, kasih sayang beliau telah membuat hati mereka benar-benar merasa senang dan mendapatkan sentuhan kelembutan.

 

3. Tidak menegur di depan orang banyak

Menegur kesalahan anak di hadapan teman-temannya atau di tempat umum adalah tindakan yang buruk. Perlakuan semacam ini jelas akan meruntuhkan hatinya, mentalnya menjadi lemah, bahkan terkadang menyisakan rasa dendam dan bisa jadi akan membuatnya berani untuk menolak nasihat/kebenaran demi membela harga dirinya.

Perasaan seperti ini tidak hanya dirasakan oleh mereka yang telah dewasa, anak-anak yang masih usia belia juga memiliki perasaan yang sama. Oleh karena itu, Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Apabila engkau menasihatiku dalam kesendirian, sungguh engkau benar-benar telah menasihatiku. Namun jika engkau menasihatiku di depan manusia (khalayak ramai), sungguh engkau benar-benar telah menelanjangiku (dengan aib-aib yang ada padaku).”

 

4. Memilih waktu yang tepat

Pilihlah waktu yang tepat, yaitu waktu ketika kondisi kejiwaannya dalam keadaan kondusif. Jangan memberi nasihat ketika marah atau ketika anak sedang marah. Jika hal ini tetap dilakukan, maka nasihatnya itu cenderung didorong oleh kemarahan, juga akan mendorongnya mengucapkan kata-kata yang kasar dan tidak baik. Hal ini menjadikan jiwa anak cenderung menolak kebenaran.

Demikian juga ketika anak sedang marah. Ini adalah kondisi jiwa yang secara umum tidak siap untuk menerima apa yang disampaikan kepadanya, terlebih sesuatu yang berisi nasihat.

 

5. Tidak memukul

Jangan jadikan memukul menjadi sarana pertama untuk menegur kesalahan anak yang belum beranjak baligh. Akan tetapi sampaikanlah nasihat itu secara lisan dengan bahasa yang baik dan santun. Menasihati anak dengan langsung memukul adalah tindakan yang akan membuatnya semakin berani untuk melawan dan menolak nasihat. Karena ia merasa direndahkan harga dirinya dan tidak dihormati.

Memukul adalah sarana terakhir ketika menasihati seorang anak yang berbuat salah. Sarana ini juga tidak boleh diterjemahkan mentah-mentah. Karena konsep memukul dalam syariat itu tidak boleh memukul wajah, pukulan yang melukai dan menimbulkan mudarat yang lebih besar. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ

 

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika usia tujuh tahun, dan pukullah mereka ketika usia sepuluh tahun.” (HR. Abu Dawud, 495).

Para ulama menjelaskan maksud memukul di atas ialah pukulan yang mendidik, tidak melukai dan menghindari dari memukul wajah. (Tuhfatul Ahwadzi, 2/370). Wallahu A’lam.

 (Saed As-Saedy, Lc.)

 

Referensi:

1. Tuhfatul Ahwadzi, Muhammad Al-Mubarakfury.

2. Adab An-Nashihah Fil Islam, DR. Badr Abdul Hamid Hamisah.

3. Mencetak Generasi Rabbani, Abu Ihsan Al-Atsary, dll.