Nama dan nasabnya 

Amru bin ‘Ash bin Wail bin Hisyam bin Sa’id bin Sahmi al-Quraisy, dia dipanggil Abu abdillah.

Kelahiran beliau radhiyallahu ‘anhu

Beliau radhiyallahu ‘anhu lahir 47 tahun sebelum hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dia tumbuh di dalam naungan bapaknya (‘Ash bin Wail) yang memusuhi Islam dan kaum muslimin.

Kondisinya sebelum masuk Islam (pada masa jahiliahnya)

Ketika masa jahiliahnya beliau termasuk diantara orang-orang yang memusuhi Islam, dan di antara tindakan beliau yang menunjukan permusuhannya terhadap Islam dan kaum Muslimin adalah ketika terjadinya hijrah pertama yang di lakukan oleh sebagian kaum muslimin ke Habasyah. Ketika kafir Qurasy mengetahui tentang hijrah kaum Muslimin, merekapun dengan segera mengirim Amru bin ‘Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah untuk membawa kembali para sahabat yang berhijarah ke Habasah tersebut untuk disiksa dan dipaksa menganut kembali agama nenek moyang mereka. Berangkatlah mereka berdua dengan membawa hadiah yang akan di berikan kepada raja Habasyah, dengan tujuan supaya raja habasyah tersebut mau memberikan orang-orang yang berhijrah kepada mereka berdua, untuk dibawa pulang ke Makkah. Raja Najasyi menghargai hadiah-hadiah pemberian mereka. Kemudian Amru berkata kepada Raja Najasyi:“Wahai baginda raja, telah tiba di negeri Anda beberapa orang pengacau dari kaum kami. Mereka telah keluar dari agama kami dan tidak pula menganut agama Anda. Mereka mengikuti agama baru yang kami tidak mengenalnya begitu pula Anda. Kami berdua diutus oleh pemimpin kaum kami untuk meminta agar Tuanku mengembalikan mereka kepada kaumnya. Karena kaumnyalah yang lebih tahu tentang keburukan yang mereka timbulkan, dan mereka telah memperingatkannya tentang hal itu.

Namun Raja Najasyi adalah raja yang adil dia menolak permintaan Amru bin Ash ketika itu, karena ia ingin mendengar secara langsung dari kaum muslimin tentang apa yang dikatakan tentang perkara mereka, agar dia bisa mengambil sikap yang benar. Kemudian dia mengutus kepada para shahabat yang berhijrah tersebut seorang utusan, agar mereka menghadap kepadanya. Ketika para shahabat menghadap kepada Raja Najasyi, maka dia berkata: “Agama apakah yang dengannya kalian tinggalkan agama kaum kalian dan kalian tidak mau memeluk agamku, dan tidak juga memeluk salah satu agama dari umat-umat yang ada.” Maka shahabat Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya: “ Wahai baginda raja, dahulu kami adalah kaum yang jahil(bodoh), kami menyembah patung, memakan bangkai, berzina, memutuskan hubungan kekeluargaan, melupakan tetangga, orang yang kuat pada kami memakan yang orang-orang lemah, dan kami terus menerus seperti itu sampai Allah mengutus kepada kami seorang Rasul dari bangsa kami, yang mana kami mengetahui tentang nasabnya, kebenarannya, amanahnya, dan kesuciannya, dia menyeru kami kepada Allah Ta’ala dan mengajak kami untuk mengesakanNya dan beribadah kepadanya, dan meninggalkan apa-apa yang kami dan bapak-bapak kami sembah dahulu selain Allah berupa berhala dan batu, dan memerintahkan kepada kami agar senantiasa jujur dalam berbicara, menunaikan amanah, menyambung persaudaraan, berbuat baik kepada tetangga, menjauhi yang haram, dan menumpahkan darah. Beliau melarang kami berzina, bersaksi palsu, memakan harta anak yatim, dan dari menuduh wanita yang suci dengan tuduhan zina. Dia memerintahkan agar menyembah Allah saja dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu, dan memerintahkan kami mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa. Maka kamipun membenarkannya dan beriman kepadanya serta mengikuti risalah yang dia bawa. Kamipun menyembah Allah saja dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu, kami menghalalkan apa yang dihalkan Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan Allah atas kami, maka kaum kami memusuhi kami dan menyiksa kami, dan memfitnah kami atas agama kami agar mereka bisa mengembalikan kami dari penyembahan kepada Allah kepada penyembahan terhadap berhala, dan menghalalkan keburukan atas kami. Ketika mereka memaksa, mendholimi dan menyiksa, serta menghalangi kami dari mengamalkan agama kami, maka kamipun pergi ke negrimu dan memilihmu dari selainmu, kami senang berada di sisimu(negrimu), dan kami berharap anda tidak mendholimi kami.”

Najasyi bertanya kepada Ja’far bin Abi Thalib: “Apakah ada bersamamu sesuatu yang dibawa oleh Nabi itu dari Tuhannya?” Beliau menjawab: “Ya, ada.” Najasyi berkata: “Tolong bacakan untuk kami.”
Lalu Ja’far membacakan surat Maryam: “ كهيعص….. ….,

Tampaklah Najasyi menangis terharu mendengarnya sampai air matanya membasahi jenggotnya, demikian pula uskup-uskup yang hadir di sekitarnya sehingga kitab-kitab mereka basah oleh tetesan air mata.

Raja Najasyi berkata kepada utusan Quraisy tersebut: “Demi Allah sesungguhnya ini (ayat yang dibacakan) adalah sama dengan apa yang dibawa oleh Musa, yaitu berasal dari sumber yang sama. Pergi dan pulanglah kalian berdua, Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian selamanya.”

Ketika mereka keluar dari istana Amru berkata: “Demi Allah aku akan membongkar keburukan mereka, aku akan katakan bahwa mereka mengatakan bahwa Isa hanyalah seorang hamba.”

Sesuai yang direncanakan, esok harinya Amru bin Ash menghadap kepada Najasyi dan berkata: “Tuanku, Mereka mengatakan tentang Isa sesuatu perkara yang besar.

Maka Raja mengirim utusan kepada kaum muslimin untuk menanyai mereka tenteng hal tersebut.

Maka Ja’far berkata: “Kami mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi kami shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Isa adalah hamba dan utusan Allah. Dia merupakan Kalimatullah yang diletakkan pada diri Maryam, seorang perawan suci.”

Najasyi berkata: “Demi Allah, tidak ada pendapat kalian yang salah tentang Isa ‘alaihi salam seujung rambutpun. Terdengar bisikan-bisikan para uskup yang terkesan mengingkarinya. Najasyi memandang mereka dengan tajam lalu berkata tegas: “Aku tidak peduli dengan apa yang kalian bisikkan.” Beliau berkata kepada Ja’far dan kawan-kawannya: “Kalian boleh tinggal dengan aman di negeriku. Barangsiapa berani mengganggu kalian akan aku tindak dengan tegas. Aku tidak sudi disuap dengan segunung emas untuk mengganggu seorangpun di antara kalian.”
Beliau perintahkan kepada pengawalnya: “Kembalikan hadiah-hadiah dari Amru bin Ash dan kawannya itu. Aku tidak membutuhkannya. Allah tidak menerima suap dariku ketika aku dikembalikan ke negeriku, untuk apa aku menerima suap dari mereka ini?”

Kisah islamnya radhiyallahu ‘anhu

Beliau masuk islam pada tahun ke 8 H, yang mana ketika itu umur beliau lebih dari lima puluh tahun. Ketika ia masuk Islam maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikannya salah satu orang terdekatnya, ini tidak lain dikarenakan keilmuan dan keberaniannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikannya sebagai panglima pada peperangan Dzatussalasil, dan memperkuatnya dengan Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah bin Jarahradhiyallahu ‘anhum, kemudian beliau menjadikannya pemimpin di daerah ‘Uman, yang akhirnya beliau wafat di daerah tersebut. Beliau juga pemimpin pasukan dalam peperangan di Syam pada masa kekhalifahan Umar, di bawah pimpinan beliaulah ditaklukannya Qinasrin, dan mengadakan perjanjian dengan penduduk Halab dan Manbaj dan Antokyo, dan Umar menjadikannya sebagai gubernur di palestina.

Ketawadu’an Amru radhiyallahu ‘anhu

Berkata seorang kepada Amru bin Ash: “Bagaimana pendapatmu dengan seseorang yang ketika Rasulullah meninggal, sedang beliau menyenanginya, bukankah dia termasuk orang yang shalih?”, Maka Amru berkata:“Tentu, maka laki-laki itu mengatakan: “Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah meninggal, sedangkan beliau menyenangimu, dan beliau telah (menjadikanmu sebagai salah satu pemimpin -red)”. Maka Amru berkata: “Memang betul beliau menjadikanku sebagai salah satu pemimpin, akan tetapi demi Allah sunggguh aku tidak tahu apakah itu menunjukan kecintaannya kepadaku ataukah hanya sekedar membutuhkan bantuanku. Akan tetapi aku akan memberitahumu tentang dua orang yang ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencintai mereka berdua, mereka adalah Abdullah bin Mas’ud dan Amar bin Yasir.

Diantara Kisahnya bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

Diriwayatkan dari Musa bin Ali dari bapaknya berkata: “Aku mendengar Amru bin Ash berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Perkuatlah
senjata dan (Pakailah -red)bajumu, akupun melakukannya, kemudian aku menemui beliau, dan mendapati beliau sedang berwudhu, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat pandangannya ke atas lalu menurunkan kembali dan berkata: “Wahai Amru, sesungguhnya aku ingin mengutusmu berperang, yang dengannya Allah akan menaklukan (musuh) bagimu dan menganugerahkan harta rampasan perang untukmu, dan aku akan memberimu harta yang banyak, Amru berkata: “Ya Rasulullah, tidaklah aku masuk Islam dikarenakan harta, akan tetapi aku masuk Islam karena kecintaanku terhadap jihad, maka Rasulullah bersabda: “Ya Amru, sungguh sebuah kenikmatan jika harta yang banyak dimiliki oleh orang yang shaleh.”

Wafatnya beliau radhiyallahu ‘anhu

Beliau wafat pada hari ‘Iedul Fitri tahun ke 43 H, yang mana umur beliau mencapai sembilan puluh tahun. Beliau dishalatkan oleh anak beliau Abdullah dan dimakamkan di Maqthan.

[Sumber: Diterjemahkan dan diposting oleh Sufiyani dengan sedikit penambahan dan pengurangan dari kitab Siyar A’lam an-Nubala jilid 3, dan dari http://www.islamstory.com]