(1) – 1: Shahih

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

 

اِنْطَلَقَ ثَلَاثَةُ نَفَرٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، حَتَّى آوَاهُمُ الْمَبِيْتُ إِلَى غَارٍ، فَدَخَلُوْهُ فَانْحَدَرَتْ صَخْرَةٌ مِنَ الْجَبَلِ فَسَدَّتْ عَلَيْهِمُ الْغَارَ، فَقَالُوْا: إِنَّهُ لَا يُنْجِيْكُمْ مِنْ هٰذِهِ الصَّخْرَةِ إِلَّا أَنْ تَدْعُوا اللّٰهَ بِصَالِحِ أَعْمَالِكُمْ.

فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ: اَللّٰهُمَّ كَانَ لِيْ أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيْرَانِ، وَكُنْتُ لَا أَغْبُقُ قَبْلَهُمَا أَهْلًا وَلَا مَالًا، فَنَأَى بِيْ طَلَبُ شَجَرٍ يَوْمًا فَلَمْ أُرِحْ عَلَيْهِمَا حَتَّى نَامَا، فَحَلَبْتُ لَهُمَا غَبُوْقَهُمَا، فَوَجَدْتُهُمَا نَائِمَيْنِ، وَكَرِهْتُ أَنْ أَغْبُقَ قَبْلَهُمَا أَهْلًا أَوْ مَالًا فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحُ عَلَى يَدَيَّ، أَنْتَظِرُ اسْتِيْقَاظَهُمَا، حَتَّى بَرَقَ الْفَجْرُ (زَادَ بَعْضُ الرُّوَاةِ: وَالصَّبِيَّةُ يَتَضَاغَوْنَ عِنْدَ قَدَمَيَّ)، فَاسْتَيْقَظَا فَشَرِبَا غَبُوْقَهُمَا، اَللّٰهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذٰلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيْهِ مِنْ هٰذِهِ الصَّخْرَةِ، فَانْفَرَجَتْ شَيْئًا لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ الْخُرُوْجَ -قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -:

قَالَ الْآخَرُ: اَللّٰهُمَّ كَانَتْ لِي ابْنَةُ عَمٍّ كَانَتْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيَّ، فَأَرَدْتُهَا عَنْ نَفْسِهَا، فَامْتَنَعَتْ مِنِّيْ، حَتَّى أَلَمَّتْ بِهَا سَنَةٌ مِنَ السِّنِيْنَ فَجَائَتْنِيْ، فَأَعْطَيْتُهَا عِشْرِيْنَ وَمِائَةَ دِيْنَارٍ عَلَى أَنْ تُخَلِّيَ بَيْنِيْ وَبَيْنَ نَفْسِهَا، فَفَعَلَتْ حَتَّى إِذَا قَدَرْتُ عَلَيْهَا قَالَتْ: لَا أُحِلُّ لَكَ أَنْ تَفُضَّ الْخَاتَمَ إِلَّا بِحَقِّهِ، فَتَحَرَّجْتُ مِنَ الْوُقُوْعِ عَلَيْهَا فَانْصَرَفْتُ عَنْهَا وَهِيَ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَيَّ، وَتَرَكْتُ الذَّهَبَ الَّذِي أَعْطَيْتُهَا، اَللّٰهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذٰلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيْهِ، فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ غَيْرَ أَنَّهُمْ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ الْخُرُوْجَ مِنْهَا، -قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – :

وَقَالَ الثَّالِثُ: اَللّٰهُمَّ إِنِّي اسْتَأْجَرْتُ أُجَرَاءَ فَأَعْطَيْتُهُمْ أَجْرَهُمْ غَيْرَ رَجُلٍ وَاحِدٍ، تَرَكَ الَّذِيْ لَهُ وَذَهَبَ، فَثَمَّرْتُ أَجْرَهُ، حَتَّى كَثُرَتْ مِنْهُ الْأَمْوَالُ، فَجَاءَ نِيْ بَعْدَ حِيْنٍ، فَقَالَ: يَا عَبْدَ اللّٰهِ أَدِّ إِلَيَّ أَجْرِيْ، فَقُلْتُ لَهُ: كُلُّ مَا تَرَى مِنْ أَجْرِكَ؛ مِنَ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالرَّقِيْقِ، فَقَالَ: يَا عَبْدَ اللّٰهِ لَا تَسْتَهْزِئْ بِيْ، فَقُلْتُ: إِنِّيْ لَا أَسْتَهْزِئُ بِكَ، فَأَخَذَهُ كُلَّهُ، فَاسْتَاقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْهُ شَيْئًا، اَللّٰهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذٰلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيْهِ، فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ فَخَرَجُوْا يَمْشُوْنَ

 

“Ada tiga orang dari umat sebelum kalian yang sedang bepergian, sehingga mereka harus bermalam di sebuah gua, lalu mereka pun masuk ke dalamnya. Lalu sebuah batu besar menggelinding dari gunung dan menutup pintu gua. Mereka berkata, ‘Sesungguhnya tidak ada yang bisa menyelamatkan kalian dari batu besar ini kecuali kalian berdoa kepada Allah (sambil bertawassul) dengan amal shalih kalian.’

Salah seorang dari mereka berkata, ‘Ya Allah, aku mempunyai bapak ibu yang sudah tua. Aku tidak pernah mendahulukan siapa pun atas mereka dalam minum susu di petang hari, tidak keluarga maupun harta(ku). Suatu hari aku pergi ke tempat yang jauh untuk mencari padang rumput. Aku tidak dapat kembali (menggiring(1) unta-untaku pulang ke kandangnya) hingga keduanya telah tidur. Maka aku memerah susu untuk mereka minum di malam hari, tapi aku mendapatkan keduanya sedang tidur, maka aku tidak ingin mendahulukan orang lain dari mereka berdua dalam minum susu tersebut, tidak keluarga atau hartaku. Aku terdiam sementara bejana susu ada di tanganku sambil menunggu keduanya bangun, sehingga fajar pun menyingsing -sebagian rawi menambahkan, sementara anak-anakku menangis di kakiku- lalu keduanya bangun dan minum susunya. Ya Allah, jika aku melakukan itu demi mencari wajahMu, maka bukalah kesulitan kami akibat batu besar ini.’ Maka batu besar itu bergeser sedikit tapi mereka belum bisa keluar.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan, “Yang lain berkata, Ya Allah, aku mempunyai sepupu perempuan. Dia adalah orang yang paling aku cintai. Aku berhasrat melakukan (apa yang dilakukan oleh suami kepada istrinya) kepadanya, tetapi dia menolakku. Sampai ketika dia tertimpa paceklik, dia datang kepadaku. Aku memberinya seratus dua puluh dinar emas dengan syarat dia mau berduaan denganku, maka (dia menyetujuinya dan) melakukan (syarat yang kuajukan tersebut). Hingga ketika aku telah menguasainya, dia berkata, ‘Aku tidak mengizinkanmu membuka cincin kecuali dengan cara yang haq.’ Maka aku merasa berdosa melakukan itu padanya. Aku meninggalkannya padahal dia adalah orang yang paling aku cintai. Aku membiarkan dinar emas yang telah aku berikan kepadanya. Ya Allah, jika memang aku melakukan itu demi mencari wajahMu, maka bukalah kesulitan yang menimpa kami ini.’ Maka batu besar itu bergeser, hanya saja mereka belum bisa keluar.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan, “Yang ketiga berkata, ‘Ya Allah, aku menyewa beberapa pekerja, dan aku telah membayar gaji mereka. Hanya seorang yang belum, dia meninggalkan haknya dan pergi begitu saja. Lalu aku mengembangkan haknya itu sampai ia menjadi harta yang melimpah. Beberapa waktu kemudian dia datang kepadaku dan berkata, ‘Wahai hamba Allah, berikan hakku.’ Aku menjawab, ‘Semua yang kamu lihat ini adalah gajimu: unta, sapi, domba dan hamba sahaya.’ Dia berkata, ‘Wahai hamba Allah, jangan mengejekku.’ Aku berkata, ‘Aku tidak mengejekmu.’ Lalu dia mengambil semuanya. Dan dia menggiringnya tanpa menyisakan apa pun. Ya Allah, jika aku melakukan itu demi mencari wajahMu, maka bukalah kesulitan yang menimpa kami ini.’ Lalu batu besar itu bergeser dan mereka pun keluar dan (meneruskan) berjalan.”

Dalam riwayat lain, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda,

بَيْنَمَا ثَلَاثَةُ نَفَرٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ يَمْشُوْنَ، فَأَصَابَهُمْ مَطَرٌ، فَأَوَوْا إِلَى غَارٍ، فَانْطَبَقَ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: إِنَّهُ وَاللّٰهِ يَا هٰؤُلَاءِ لَا يُنْجِيْكُمْ إِلَّا الصِّدْقُ، فَلْيَدْعُ كُلُّ رَجُلٍ مِنْكُمْ بِمَا يَعْلَمُ أَنَّهُ قَدْ صَدَقَ فِيْهِ، فَقَالَ أَحَدُهُمْ: اَللّٰهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّهُ كَانَ لِيْ أَجِيْرٌ، عَمِلَ لِيْ عَلَى فَرَقٍ مِنْ أَرُزٍّ، فَذَهَبَ وَتَرَكَهُ، وَأَنِّيْ عَمَدْتُ إِلَى ذٰلِكَ الْفَرَقِ فَزَرَعْتُهُ، فَصَارَ مِنْ أَمْرِهِ إِلَى أَنِ اشْتَرَيْتُ مِنْهُ بَقَرًا، وَأَنَّهُ أَتَانِيْ يَطْلُبُ أَجْرَهُ، فَقُلْتُ لَهُ: اِعْمِدْ إِلَى تِلْكَ الْبَقَرِ، فَإِنَّهَا مِنْ ذٰلِكَ الْفَرَقِ، فَسَاقَهَا، فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّيْ فَعَلتُ ذٰلِكَ مِنْ خَشْيَتِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا، فَانْسَاحَتْ عَنْهُمُ الصَّخْرَةُ

“Ketika tiga orang dari orang-orang sebelum kalian tengah berjalan, mereka ditimpa hujan, sehingga mereka berteduh ke dalam sebuah gua dan mereka terkurung di dalamnya. Sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, ‘Demi Allah, wahai teman-teman, tidak ada yang menyelamatkan kalian kecuali kejujuran. Maka hendaknya masing-masing dari kalian berdoa dengan apa yang dia ketahui bahwa dirinya telah berlaku jujur padanya.’ Maka salah seorang dari mereka berkata, ‘Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa aku mempunyai seorang pekerja sewaan, dia bekerja untukku dengan bayaran satu faraq padi. Dia pergi meninggalkannya, lalu aku mengambil padi itu dan menanamnya. Dari hasilnya sampai aku bisa membeli sapi. Kemudian dia datang kepadaku meminta bayarannya. Maka aku berkata kepadanya, ‘Pergilah ke sapi itu karena ia adalah hasil dari padimu yang satu faraq.’ Lalu dia menggiringnya. Jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukan itu karena takut kepadaMu, maka berilah jalan keluar dari kesulitan kami.’ Maka batu itu pun bergeser dari mereka.” Lalu menyebutkan hadits tidak jauh berbeda dengan yang pertama.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, dan an-Nasa`i).

 

(2) – 2 : Shahih

Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara ringkas. Dan lafazhnya akan datang pada bab ‘Bir al-Walidain’, insya Allah.

Sabdanya,

 

وَكُنْتُ لَا أَغْبُقُ قَبْلَهُمَا أَهْلًا وَلَا مَالًا

 

“Aku tidak pernah mendahulukan siapa pun atas mereka dalam minum susu di petang hari, (baik) keluarga maupun harta(ku).”

اَلْغَبُوْقُ                  :    Dengan ghain dibaca fathah, yaitu susu yang diminum di petang hari. Dan maksudnya adalah: Saya tidak mendahulukan atas keduanya untuk minum susu, tidak keluarga saya dan tidak pula yang lainnya.

يَتَضَاغَوْنَ              :    Dengan dhad dan ghain(2), maksudnya berteriak karena lapar.

اَلسَّنَةُ                     :    Tahun paceklik di mana bumi tidak menumbuhkan apa-apa, baik hujan turun ataupun tidak.

تَفُضُّ الْخَاتَمَ           :    Dengan dhad ditasydidkan: Jangan membuka cincin. Ini adalah kinayah dari persetubuhan.

اَلْفَرَقُ                    :    Dengan fa’ dan ra’ dibaca fathah, takaran yang terkenal, yaitu 3 sha’/3 ritl.

فَانْسَاحَتْ               :    Dengan sin dan ha’ tanpa titik(3), yakni batu itu bergeser dan menjauh dari mulut gua.

 

(3) – 3 : Shahih

Dari Abu Firas –seorang laki-laki dari Aslam– dia berkata,

 

نَادَى رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ! مَا الْإِيْمَانُ؟ قَالَ: اَلْإِخْلَاصُ

 

Seorang laki-laki berseru sambil bertanya, ‘Ya Rasulullah, apa itu iman?’ Nabi menjawab, ‘Ikhlas’.”

Dalam lafazh lain dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

 

سَلُوْنِيْ عَمَّا شِئْتُمْ، فَنَادَى رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ! مَا الْإِسْلَامُ؟ قَالَ: إِقَامُ الصَّلَاةِ، وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ. قَالَ: فَمَا الْإِيْمَانُ؟ قَالَ: اَلْإِخْلَاصُ. قَالَ: فَمَا الْيَقِيْنُ؟ قَالَ: اَلتَّصْدِيْقُ

 

“Bertanyalah kepadaku apa yang kalian mau.” Lalu seorang laki-laki berseru, “Ya Rasulullah, apa itu Islam?” Nabi menjawab, “Mendirikan shalat dan membayar zakat.” Dia bertanya, “Apa itu iman?” Nabi menjawab, “Ikhlas.” Dia bertanya, “Apa itu yakin?” Nabi menjawab, “Membenarkan.” (Diriwayatkan oleh Baihaqi dan hadits ini mursal).(4)

 

(4) – 4 : Shahih Lighairihi      

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda pada Haji Wada’,

نَضَّرَ اللّٰهُ امْرَءًا سَمِعَ مَقَالَتِيْ فَوَعَاهَا، فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ، ثَلَاثٌ لَا يُغَلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ امْرِئ مُؤْمِنٍ: إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلّٰهِ، وَالْمُنَاصَحَةُ لِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ، وَلُزُوْمُ جَمَاعَتِهِمْ، فَإِنَّ دُعَاءَ هُمْ يُحِيْطُ مِنْ وَرَائِهِمْ

“Semoga Allah membaguskan (wajah)(5) seseorang yang mendengar ucapanku, lalu dia memahaminya. Berapa banyak pembawa fikih yang tidak fakih (tidak mengerti fikih). Tiga perkara yang (karenanya) hati seorang Mukmin tidak akan ditimpa dengki(6): Mengikhlaskan amal karena Allah, memberi nasihat kepada para pemimpin kaum Muslimin, dan tetap berpegang kepada jamaah mereka, karena doa mereka mengelilingi mereka dari belakang mereka.”

(Diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan sanad hasan).

 

(5) – 5 : Shahih

Hadits di atasnya juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya dari hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, dan akan datang pada bab ‘Mendengar Hadits,’ insya Allah.

Al-Hafizh Abdul Azhim berkata, “Hadits ini juga diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, an-Nu’man bin Basyir, Jubair bin Muth’im, Abu ad-Darda`, Abu Qirshafah, Jandarah bin Khaisyanah dan sahabat-sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum dan sebagian sanad mereka adalah shahih.”(7)

 

(6) – 6 : Shahih

Dari Mush’ab bin Sa’id, dari bapaknya radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia mengira memiliki kelebihan dari orang yang di bawahnya(8) dari sahabat Rasulullah radhiyallahu ‘anhum, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

 

إِنَّمَا يَنْصُرُ اللّٰهُ هٰذِهِ الْأُمَّةَ بِضَعِيْفِهَا؛ بِدَعْوَتِهِمْ وَصَلَاتِهِمْ وَإِخْلَاصِهِمْ

 

“Sesungguhnya Allah menolong umat ini hanya karena orang-orang lemah mereka; karena doa, shalat, dan keikhlasan mereka.”

Diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan lainnya. Ia juga terdapat dalam riwayat al-Bukhari tanpa menyebut keikhlasan.

 

(7) – 7 : Shahih

Dari adh-Dhahhak bin Qais radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللّٰهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُوْلُ: أَنَا خَيْرُ شَرِيْكٍ، فَمَنْ أَشْرَكَ مَعِيْ شَرِيْكًا فَهُوَ لِشَرِيْكِيْ، يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَخْلِصُوْا أَعْمَالَكُمْ، فَإِنَّ اللّٰهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَا يَقْبَلُ مِنَ الْأَعْمَالِ إِلَّا مَا خَلُصَ لَهُ، وَلَا تَقُوْلُوْا: هٰذِهِ لِلّٰهِ وَلِلرَّحِمِ، فَإِنَّهَا لِلرَّحِمِ، وَلَيْسَ لِلّٰهِ مِنْهَا شَيْءٌ، وَلَا تَقُوْلُوْا: هٰذِهِ لِلّٰهِ وَلِوُجُوْهِكُمْ، فَإِنَّهَا لِوُجُوْهِكُمْ، وَلَيْسَ لِلّٰهِ مِنْهَا شَيْءٌ

“Sesungguhnya Allah Yang Mahasuci lagi Mahatinggi berfirman, ‘Aku adalah sebaik-baik sekutu. Barangsiapa menyekutukanKu dengan seorang sekutu, maka ia untuk sekutuKu.’ Wahai manusia, ikhlaskanlah amal-amal kalian, karena Allah Yang Mahasuci lagi Mahatinggi tidak menerima amal kecuali apa yang diikhlaskan untukNya. Janganlah kalian berkata, ‘Ini untuk Allah dan kerabat, karena ia adalah untuk kerabat dan tak ada sesuatu pun dari padanya untuk Allah.’ Jangan pula berkata, ‘Ini untuk Allah dan wajah-wajah kalian,’ karena ia adalah karena wajah-wajah kalian, dan tak sesuatu pun darinya untuk Allah.” (Diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan sanad tidak mengapa dan al-Baihaqi).(9)

Al-Hafizh berkata, “Akan tetapi apakah adh-Dhahhak itu sahabat atau bukan, masih diperselisihkan.”

 

Catatan Kaki:

 

  1. Kata أُرِحْ dengan hamzah dibaca dhammah dan ra` dibaca kasrah. Dikatakan رَاحَتِ الْاِبِلُ وَأَرَحْتُهَا أَنَا, jika aku memulangkannya dan hal itu setelah terbenam matahari di mana unta-unta itu kembali ke kandangnya, tempat tidur malamnya.
  2. Dari (اَلضَّغَاءُ) dengan mad (panjang) yang berarti teriakan.
  3. An-Naji dalam al-Ujalat al-Imla berkata, “Kata ini diriwayatkan dengan kha`, diriwa-yatkan pula dengan (اِنْصَاخَتْ) dengan shad dan kha`. Akan tetapi al-Khaththabi meng-ingkari riwayat (اِنْسَاخَتْ) dengan kha`, karena makna (سَاخَ) adalah terbenam di bumi dan alifnya asalnya adalah wawu; dia membenarkan (اِنْسَاحَتْ) dengan ha’. Ini diikuti oleh Ibnul Atsir dan penulis (al-Mundziri) yang berarti bergerak dan meluas, termasuk dalam hal ini adalah (سَاحَةُ الدَّارِ) yang berarti, halaman rumah.”
  4. Begitulah dia berkata. Ini berarti Abu Firas al-Aslami bukanlah seorang sahabat. Ini tidak ada yang mengatakannya. Yang benar, dia termasuk sahabat tanpa ada perselisihan sejauh yang saya ketahui, perselisihannya hanya pada; apakah dia itu Rabi’ah bin Ka’ab al-Aslami atau lainnya? Pendapat kedua dikuatkan oleh Ibnu Abdil Bar dan Ibnu Hajar. Berdasarkan ini, maka hadits ini sanadnya bersambung, rawi-rawinya terpercaya (tsiqah). Sanadnya shahih. Dan termasuk kebodohan tiga orang pemberi komentar itu adalah pernyataan mereka yang men dhaifkan hadits ini secara terang-terangan. Mereka menyatakan illatnya dengan, “Padanya terdapat rawi yang tidak jelas.” Ini termasuk musibah mereka, sebab rawi tidak dikatakan “tidak jelas” kecuali jika dia tidak disebut nama atau kunyahnya.
  5. Dikatakan dalam an-Nihayah (نَضَرَهُ وَنَضَّـرَهُ وَأَنْضَرَهُ), yakni memberinya nikmat, diriwa-yatkan dengan dhad dibaca tasydid dan dhad dibaca biasa dari (النَّضَّارَةُ), yang pada dasarnya adalah wajah yang bagus dan berseri-seri, maksudnya di sini adalah kebaikan akhlak dan kedudukannya .
  6. Dari kata (اَلْإِغْلَالُ) yang berarti khianat dalam segala hal. Diriwayatkan (يَغِلُّ) dengan ya` dibaca fathah dari (الْغِلُّ) yaitu dengki dan benci. Maksudnya hatinya tidak dirasuki oleh kebencian yang mengeluarkannya dari kebenaran. Diriwayatkan dengan (يَغِلُ) tanpa tasydid. Dan (عَلَيْهِنَّ) berposisi sebagai hal, asumsinya: لَايُغَلُّ كَائِنًا عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُؤْمِنٍ “Hati seorang mukmin tidak akan ditimpa khianat dan dengki dengan adanya tiga hal tersebut dalam keadaan apapun.”
  7. Saya berkata, “Benar seperti yang dia katakan, mayoritas jalan periwayatannya telah disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan al-Ilmi, 1/238-242 dan akan datang dari sebagian sahabat di atas dalam kitab ilmu, bab anjuran untuk mendengar hadits.
  8. Yakni dalam harta rampasan perang.
  9. Saya berkata, “Akan tetapi al-Haitsami pada riwayat al-Bazzar berkata, ‘Dalam sanad-nya terdapat Ibrahim bin Mujasysyir, dia ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban dan lainnya dan padanya terdapat kelemahan’.” Aku berkata, “Akan tetapi ikut meriwayatkannya bersamanya Sa’id bin Sulaiman al-Wasithi, dan dia tsiqah. Aku mendapatkannya dari sebagian makhthuthat (manuskrip), maka aku segera mengeluarkannya dalam Silsilah ash-Shahihah no. 2764. Oleh karena itu aku memindahkannya dari Dha’if at-Targhib ke sini. Dan ini di antara nilai tambah cetakan ini. Alhamdulillah yang dengan nikmatNya, segala amal baik terlaksana.”

 

Referensi: 

SHAHIH AT-TARGHIB WA AT-TARHIB (1) Hadits-hadits Shahih tentang Anjuran & Janji Pahala, Ancaman & Dosa; Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani; Darul Haq, Jakarta, Cet. V, Dzulhijjah 1436 H. / Oktober 2015 M.