Nasehat (12): Belajar Hukum-hukum Syari’at tentang Rumah

Di antaranya:

Shalat di Rumah:

(1) Tentang shalat laki-laki, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَفْضَلُ الصَّلَاةِ؛ صَلَاةُ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ، إِلَّا الْمَكْتُوبَةَ

“Sebaik-baik shalat laki-laki adalah di rumahnya, kecuali shalat wajib.” (HR. Al-Bukhari).

Adapun shalat-shalat wajib tersebut maka wajib dilakukan di masjid, kecuali ada udzur.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

تَطَوُّعُ الرَّجُلِ فِي بَيْتِهِ يَزِيدُ عَلَى تَطَوُّعِهِ عِنْدَ النَّاسِ كَفَضْلِ صَلَاةِ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ عَلَى صَلَاتِهِ وَحْدَهُ

“Shalat tathawwu’ (sunnah) laki-laki di rumahnya melebihi (pahala) amalan tathawwu’ di hadapan manusia, sebagaimana keutamaan shalat seorang laki-laki secara berjama’ah dengan shalatnya sendirian.” (HR. Ibnu Abi Syaibah. Al-Albani menshahihkannya di dalam Shahihul Jami’, no. 2953).

(2) Adapun bagi wanita, semakin ke dalam tempat shalatnya dari bagian rumahnya maka semakin utama. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

خَيْرُ صَلَاةِ النِّسَاءِ فِي قَعْرِ بُيُوتِهِنَّ

“Sebaik-baik shalat kaum wanita yaitu di bagian paling dalam dari rumahnya. (HR. Ath-Thabrani. Al-Albani menshahihkannya di dalam Shahihul Jami’, no. 3311).

(3) Agar orang lain tidak menjadi imam di rumahnya, dan tidak boleh duduk seseorang di tempat yang biasa diduduki oleh pemilik rumah kecuali dengan izinnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يُؤَمُّ الرَّجُلُ فِي سُلْطَانِهِ وَلَا يُجْلَسُ عَلَى تَكْرِمَتِهِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ

“Tidak boleh seorang laki-laki diimami di wilayah kekuasaannya, dan tidak diduduki atas kemuliannya (tempat duduknya) di rumahnya kecuali dengan izinnya.” (HR. At-Tirmidzi. Al-Albani menshahihkannya di dalam Shahihul Jami’, no. 7581).

Maksudnya, tidak boleh maju untuk menjadi imam atas tuan rumah, meski sebetulnya orang lain lebih baik bacaannya daripadanya, atau orang yang memiliki kekuasaan seperti tuan rumah atau imam tetap masjid. Demikian pula seseorang tidak boleh duduk di tempat khusus tuan rumah baik itu kursi atau kasur kecuali dengan izinnya.

 

Meminta Izin:

Allah Ta’ala berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (27) فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ (28)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: “Kembali (sajalah)”, maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (An-Nur: 27-28).

وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا

“Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya. (Al-Baqarah: 189).

(1) Boleh masuk ke dalam rumah kosong (yang tidak berpenghuni) dengan tanpa izin manakala orang yang masuk tersebut memiliki barang di dalamnya, misalnya rumah yang diperuntukkan bagi tamu.

Allah Ta’ala berfirman,

 لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ مَسْكُونَةٍ فِيهَا مَتَاعٌ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا تَكْتُمُونَ (29)

“Tiada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan.” (An-Nur: 29).

(2) Tidak mengapa makan di rumah kerabat dan rumah teman-teman serta di rumah orang lain yang kita memiliki kuncinya, jika mereka tidak membenci hal tersebut.

 لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالَاتِكُمْ أَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَفَاتِحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (61)

“Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, di rumah saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara ibumu yang laki-laki, di rumah yang kamu miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. (An-Nur: 61).

(3) Melarang anak-anak dan pembantu masuk ke dalam kamar tidur ibu bapak, tanpa izin, pada waktu-waktu istirahat (tidur). Yaitu sebelum shalat subuh, waktu tidur siang, setelah shalat Isya’, karena ditakutkan pandangan mereka akan tertumbuk pada pemandangan yang tidak sesuai, jika melihat sesuatu tanpa sengaja pada selain waktu-waktu tersebut maka hal itu bisa ditolerir (dimaafkan). Sebab mereka adalah orang-orang yang bercampur di satu rumah dan melayani sehingga sulit untuk menghindari hal tersebut.

Allah Ta’ala berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (58)

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu: sebelum shalat shubuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah shalat lsya’. (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nur 58).

(4) Dilarang mengintip rumah orang lain, tanpa izin mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ اطَّلَعَ فِي بَيْتِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ، فَفَقَئُوا عَيْنَهُ، فَلَا دِيَةَ لَهُ وَلَا قِصَاصَ

“Barangsiapa mengintip rumah kaum (orang) lain tanpa izin mereka, kemudian mereka mencongkel matanya, maka baginya tidak ada diyat dan tidak pula qishash.” (HR. Ahmad. Al-Albani menshahihkannya di dalam Shahihul Jami’, no. 6046).

(5) Wanita yang ditalak raj’i (talak 1 dan 2) tidak boleh keluar atau dikeluarkan dari rumahnya selama waktu iddah (menunggu) dengan memberikan infak kepadanya.

Allah berfirman,

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا (1)

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru.” (Ath-Thalaq: 1).

(6) Boleh bagi laki-laki memisahkan (meninggalkan) isteri yang durhaka di dalam atau di luar rumah, sesuai dengan maslahat menurut agama.

Adapun memisahkan diri dari isteri di dalam rumah, dalilnya firman Allah,

وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ

“Dan pisahkanlah diri dari di tempat tidur mereka.” (An-Nisa’: 34).

Adapun dasar memisahkan diri dari isteri di luar rumah adalah seperti yang terjadi pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam, ketika beliau memisahkan diri dari isteri-isteri beliau di dalam kamar-kamar mereka, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam mengasingkan diri di luar rumah isteri-isteri beliau.

(7) Tidak menginap di rumah sendirian.

Dari Ibnu Umar radhiyallah ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam:

نَهَى عَنْ الْوَحْدَةِ؛ أَنْ يَبِيتَ الرَّجُلُ وَحْدَهُ، أَوْ يُسَافِرَ وَحْدَهُ

“Beliau melarang menyendiri, yakni seorang laki-laki menginap atau bepergian sendirian.” (HR. Ahmad. Al-Albani menshahihkannya di dalam ash-Shahihah, no. 60).

Larangan itu disebabkan karena dengan sendirian ditakutkan akan terjadi sesuatu. Misalnya serangan musuh, pencuri, atau sakit. Adanya teman yang mendampinginya akan menolak keinginan musuh atau pencuri menyerangnya, juga akan membantunya jika dia jatuh sakit.

(8) Tidak tidur di lantai atas yang tidak memiliki pagar, agar tidak jatuh.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ بَاتَ عَلَى ظَهْرِ بَيْتٍ لَيْسَ لَهُ حِجَارٌ، فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ الذِّمَّةُ

“Barangsiapa tidur di loteng rumah yang tidak memiliki penghalang (dinding/ pagar), maka sungguh telah lepas perlindungan dari dirinya.” (HR. Abu Daud. Al-Albani menshahihkannya di dalam Shahih Abi Daud, no. 5041).

Sebab orang yang tidur, terkadang – dengan tidak sadar – berguling-guling dalam tidurnya. Jika ia tidur di lantai atas/atap rumah yang tidak memiliki pagar atau pembatas yang menghalanginya, bisa jadi ia akan jatuh ke bawah yang menyebabkannya meninggal dunia. Jika hal itu terjadi, maka tak seorang pun yang berdosa karena kematiannya, semua lepas dari tanggung jawab atas kematian orang tersebut. Di samping hal itu juga menyebabkan pelecehannya terhadap penjagaan Allah padanya, sebab ia tidak mengambil langkah ikhtiar dan sebab.

(9) Kucing-kucing piaraan tidak menjadikan najis bejana, bila kucing tersebut minum atau makan daripadanya.

Dari Abdullah bin Abi Qatadah, dari ayahnya, bahwasanya diletakkan untuknya bejana yang berisi air untuk wudhu, tiba-tiba seekor kucing menjilat ke dalamnya, lalu dia (tetap) melakukan wudhu (dengan air tersebut). Mereka berkata, “Hai Abu Qatadah, bejana itu telah dijilati oleh kucing.” Ia menjawab, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

السِّنَّوْرُ مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ، وَإِنَّهُ مِنْ الطَّوَّافِينَ، أَوْ الطَّوَّافَاتِ عَلَيْكُمْ

Kucing termasuk di antara anggota keluarga, dan ia termasuk di antara yang mengitari kalian’.” (HR. Ahmad. Al-Albani menshahihkannya di dalam ash-Shahihah, no. 3694).

Dalam riwayat lain:

إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ، إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ

“Kucing itu tidak najis, sesungguhnya ia termasuk di antara yang mengitari kalian. (HR. Ahmad. Al-Albani menshahihkannya di dalam ash-Shahihah, no. 2437).

Referensi:

40 Nasehat Memperbaiki Rumah Tangga, Muhammad Shaleh Al-Munajjid, Yayasan Al-Sofwa, Jakarta, Cetakan 1, Jumadil Ula 1418 H – September 1997.