Bulan yang diwajibkan atas kita, Kaum Muslimin, untuk berpuasa adalah bulan Ramadhan. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kalian ada di bulan itu, maka berpuasalah.”  (al-Baqarah: 185).

Firman-Nya, “فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ (Karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah).” Yakni, siapa di antara kalian yang menyaksikan bulan tersebut dalam keadaan tinggal (tidak safar) lagi sehat, maka hendaknya dia berpuasa di siang harinya. (At-Tafsir al-Muyassar, 1/199).

Firman-Nya, “فَلْيَصُمْهُ (maka berpuasalah)” ini adalah perintah. Dan, pada asalnya perintah itu menunjukkan wajib. Dalam hadis ditegaskan kewajiban ini.    

Abu Hurairah -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- mengatakan, “Kala tiba bulan Ramadhan, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,’

قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ

“Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah wajibkan atas kalian berpuasa di bulan tersebut.” (HR. Ahmad, no. 9497).

Seorang a’robi (arab pedalaman) pernah mengatakan kepada Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

أَخْبِرْنِي بِمَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ الصِّيَامِ

Kabarkan kepadaku tentang puasa yang Allah wajibkan atas diriku!

Beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- pun mengatakan kepada si a’robi tersebut,

شَهْرَ رَمَضَانَ

“(Puasa yang Allah wajibkan atas dirimu adalah puasa) di bulan Ramadhan…” (Lihat, Shahih al-Bukhari, no. 6956).

 

Ijma’

Ijma’ telah menetapkan akan wajibnya puasa di bulan Ramadhan.

Di dalam al-Bada’i disebutkan, “Dan adapun ijma’, maka ummat (telah sepakat) akan wajibnya puasa di bulan Ramadhan, tidaklah ada orang yang mengingkarinya melainkan ia kafir.” (Badai’ ash-Shana-i’, al-Kasani, 2/975).

Di dalam Mawahib al-Jalil disebutkan, “Umat telah sepakat akan wajibnya puasa bulan Ramadhan. Maka,  barang siapa mengingkari kewajibannya maka ia murtad. Dan barang siapa menolak  melakukannya sementara ia menetapkan akan wajibnya maka ia dibunuh sebagai hukumannya, menurut pendapat yang masyhur di kalangan madzhab Malik.” (Mawahib al-Jalil, al-Hathab, 2/378).

Di dalam Nihayah al-Muhtaj disebutkan, “Wajib berpuasa Ramadhan berdasarkan ijma’. (Nihayah al-Muhtaj, ar-Ramli, 3/149).

Dan, di dalam al-Mughni disebutkan, “Dan kaum Muslimin telah sepakat akan wajibnya puasa bulan Ramadhan (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 4/324) (Lihat, al-Fiqhu al-Muyassar, ath-Thayyar,  3/14).

 

Kewajiban Nan Istimewa

Kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan ini merupakan kewajiban nan istimewa. Meskipun nampaknya berat dilakukan, karena seseorang harus menahan diri dari makan sehingga ia lapar, menahan diri dari minum sehingga ia kehausan, dan lain-lain di mana hal tersebut dilakukannya sejak terbitnya fajar shadiq hingga tenggelamnya matahari selama satu bulan penuh lamanya, bisa jadi 29 hari, bisa jadi pula 30 hari. Namun, dalam aktivitas tersebut  terkandung banyak keutamaan, di mana keutamaan-keutamaan tersebut akan berpulang kepada orang yang melaksanakan kewajiban ini dengan baik.

Di antara keutamaan-keutamaan tersebut, yaitu,

(1) Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- telah mewajibkan seluruh ummat untuk melakukan ibadah puasa dan dengannya seorang hamba merealisasikan takwa.

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, Dzat yang mewajibkan puasa Ramadhan atas kita ummat Muhammad –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- berfirman di dalam kitab-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (al-Baqarah: 183).

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz –رَحِمَهُ اللهُ- berkata, “Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menjelaskan bahwasanya Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mewajibkan atas kita berpuasa agar kita bertakwa kepada-Nya. Maka, hal itu menunjukkan bahwa puasa itu merupakan wasilah untuk bertakwa. Takwa yaitu mentaati Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan Rasul-Nya –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- dengan mengerjakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang  yang dilakukan semata-mata hanya karena Allah -عَزَّ وَجَلَّ-, penuh rasa cinta, harapan, dan rasa takut. Dengan hal itu seorang hamba bakal terlindungi dirinya dari siksa Allah -عَزَّ وَجَلَّ- dan kemurkaan-Nya. Maka, puasa merupakan cabang yang sangat besar dari cabang-cabang ketakwaan, merupakan qurbah, pendekatan diri kepada Allah    -عَزَّ وَجَلَّ- dan merupakan sarana yang kuat yang akan mengantarkan kepada sikap takwa dalam urusan agama dan dunia yang lainnya yang masih tersisa.” (Al-Mufid Fi Majalis Syahri Ramadhan Min Kalami al-Imam Ibn Baz, 1/19).

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin –رَحِمَهُ اللهُ- berkata, “Sekiranya puasa bukanlah ibadah yang agung, tentulah seorang hamba tidak akan membutuhkannya dalam rangka beribadah hanya kepada Allah -عَزَّ وَجَلَّ- yang di dalamnya terdapat pahala yang memang telah Allah wajibkan kepada seluruh umat. Seorang hamba pasti membutuhkannya untuk beribadah kepada Allah -عَزَّ وَجَلَّ- dan membutuhkan dampak positifnya berupa pahala. (Majalis Syahri Ramadhan, hal.14).

(2) Pahalanya tidak terkait dengan bilangan tertentu, orang yang berpuasa akan diberikan pahala yang tidak terbatas. Dan, puasa Ramadhan juga merupakan madrasah pembinaan akhlak dan penaklukan syahwat.

Dari Abu Hurairah -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, ia berkata, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,  

قَالَ اللَّهُ كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ

Allah –عَزَّوَجَلَّ berfirman, ‘Setiap amal anak Adam baginya kecuali puasa. Sesunguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya.’ Dan, puasa itu merupakan perisai. Pada hari salah seorang di antara kalian berpuasa, janganlah ia rafats (berbicara seronok) dan jangan pula berteriak-teriak. Jika ada seseorang mencelanya atau mengajaknya bertengkar, maka hendaklah ia mengatakan ‘sesungguhnya aku seorang yang tengah berpuasa.’ Dan, demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada bau harum misik. Orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan; kala berbuka, ia bergembira dan ketika berjumpa dengan Rabbnya, ia bergembira dengan puasanya.” (HR. al-Bukhari, no.1904)

Dalam riwayat Muslim, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

”Setiap amal anak Adam dilipatgandakan (pahalanya). Satu kebaikan dilipatgandakan (pahalanya) sepuluh kali lipat, sampai tujuh ratus kali lipat. Allah  عَزَّ وَجَلَّ berfirman, ‘kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya. (Orang yang berpuasa itu) ia meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku.’ Orang yang berpuasa itu mempunyai dua kegembiraan, satu gembiraan ketika berbuka, dan satu kegembiraan lagi ketika perjumpaannya dengan Rabbnya. Dan, sungguh, bau mulutnya lebih harum di sisi Allah daripada bau harum misik.” (Shahih Muslim, no. 2763).

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin –رَحِمَهُ اللهُ- berkata, “Faidah dari kekhususan puasa ini akan tampak di hari Kiamat, sebagaimana perkataan Sufyan bin Uyainah –رَحِمَهُ اللهُ- : Pada hari Kiamat, Allah – عَزَّ وَجَلَّ -memperhitungkan amalan hamba-Nya dan menunaikan berbagai  kezhaliman yang dilakukannya dari seluruh amalannya tersebut. Jika tidak ada lagi yang tersisa kecuali hanya puasa, Allah – عَزَّ وَجَلَّ – menanggung kezhaliman-kezhalimannya yang masih tersisa dengan (melipatgandakan pahala) puasanya tadi, kemudian Allah – عَزَّ وَجَلَّ – memasukkan pelakunya ke dalam Surga.” (Majalis Syahri Ramadhan, hal.14).

(3) Puasa Ramadhan merupakan sebab terampuninya dosa dan dihapuskannya kesalahan.

Rasulullah –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. al-Bukhari, no. 38, Muslim, no. 1817, Ahmad, no. 7280,  Abu Dawud, no. 1374).

Maksudnya, jika ia berpuasa dengan keimanan kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan ridha dengan kewajiban puasa, mengharap pahala dan ganjarannya, tidak membenci kewajiban puasa, dan tidak ragu dengan pahalanya, maka Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- benar-benar akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (Majalis Syahri Ramadhan, hal.14).

(4) Puasa Ramadhan termasuk amal yang paling dicintai Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى yang Dia –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىwajibkan atas hamba-hamba-Nya.

Dalam hadis qudsi, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda, “Sesungguhnya Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ

“Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada melakukan perkara yang telah Aku wajibkan kepadanya.” (HR. al-Bukhari, no. 6502).

(5) Puasa Ramadhan termasuk amal para Shiddiqin dan para Syuhada.

‘Amru bin Murrah al-Juhani –رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- berkata, “Seorang lelaki datang kepada Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- lalu ia mengatakan,

يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ شَهِدْتُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنَّكَ رَسُوْلَ اللهِ وَ صَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ وَ صُمْتُ الشَّهْرَ وَ قُمْتُ رَمَضَانَ وَ آتَيْتُ الزَّكَاةَ

‘Wahai Rasulullah! Apa pendapat Anda jika aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah dan bahwa anda adalah utusan Allah, aku shalat lima waktu, aku berpusa bulan ini dan aku qiyamullail di bulan Ramadhan serta aku menunaikan zakat?’

Maka, Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

مَنْ مَاتَ عَلَى هَذَا كَانَ مِنَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَ الشُّهَدَاءِ

‘Barang siapa mati di atas hal ini, niscaya ia termasuk golongan para siddiqin (orang-orang yang pembenarannya kepada apa yang dibawa oleh rasul sempurna) dan para syuhada (orang-orang yang gugur syahid di jalan Allah)’.” (HR. Ibnu Khuzaemah, no. 2212).

(6) Puasa Ramadhan termasuk amalan iman kepada Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى

Ketika datang kepada Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- rombongan utusan Abdul Qais, Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- memerintahkan mereka dengan empat hal dan melarang dari empat hal, beliau memerintahkan mereka untuk beriman kepada Allah satu-satunya, beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bertanya,

هَلْ تَدْرُونَ مَا الْإِيمَانُ بِاللَّهِ وَحْدَهُ

Tahukah kalian apa arti beriman kepada Allah satu-satunya?”

Mereka pun menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.”

Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menjelaskan,

شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامُ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ وَتُعْطُوا الْخُمُسَ مِنْ الْمَغْنَمِ

“(Beriman kepada Allah satu-satunya itu adalah) Persaksian tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan kalian mengeluarkan seperlima dari harta rampasan perang.(Lihat, Shahih al-Bukhari, no. 87).

(7) Puasa Ramadhan termasuk amal calon penghuni Surga dan orang-orang yang dibebaskan dari Nereka.

Dari Abu Hurairah -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, ia berkata, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,

مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَصَامَ رَمَضَانَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ جَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ جَلَسَ فِي أَرْضِهِ الَّتِي وُلِدَ فِيهَا الحديث 

“Barang siapa beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mendirikan shalat dan berpuasa Ramadhan maka Allah berkewajiban memasukkannya ke dalam Surga, baik ia berjihad di jalan Allah atau duduk di tempat tinggalnya di tempat ia dilahirkan….” (HR. al-Bukhari, no. 2790).

Dari Abu Darda -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, ia berkata, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-bersabda,

خَمْسٌ مَنْ جَاءَ بِهِنَّ مَعَ إِيمَانٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مَنْ حَافَظَ عَلَى الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ عَلَى وُضُوئِهِنَّ وَرُكُوعِهِنَّ وَسُجُودِهِنَّ وَمَوَاقِيتِهِنَّ وَصَامَ رَمَضَانَ وَحَجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَأَعْطَى الزَّكَاةَ طَيِّبَةً بِهَا نَفْسُهُ وَأَدَّى الأَمَانَةَ

“Lima hal, barang siapa mengerjakannya disertai keimanan, niscaya ia masuk Surga; barang siapa menjaga shalat lima waktu; (menjaga)  wudhunya, rukuknya, sujudnya dan waktu-waktunya, berpuasa Ramadhan, haji ke baitullah jika mampu mengadakan perjalanan ke sana, memberikan zakat dengan penuh kerelaan hatinya dan menunaikan amanah.” (HR. Abu Dawud, no. 429).

Dari Abu Hurairah -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

 الصِّيَامُ جُنَّةٌ وَحِصْنٌ حَصِينٌ مِنْ النَّارِ

“Puasa adalah perisai dan benteng yang kokoh dari Neraka.” (HR. Ahmad, no. 9225).

Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- juga bersabda,

وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ . وَذَلِكَ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ

“Allah mempunyai banyak orang yang dibebaskan dari Neraka. Dan hal itu pada setiap malam.” (HR. Ibnu Majah, no. 1642).

Yakni, di setiap malam dari malam-malam bulan Ramadhan (Misykatu al-Mashabih Ma’a Syarhihi Mir’atu al-Mafatih, 6/820).

Dan orang-orang yang berpuasa Ramadhan di siang harinya termasuk golongan orang-orang yang dibebaskan dari Neraka tersebut.

(8) Puasa Ramadhan disertai dengan puasa tiga hari setiap bulannya dapat menyebabkan hilangnya penyakit-penyakit hati dalam diri seorang hamba.

Yazid bin Abdillah bin asy-Syikhkhir meriwayatkan dari seorang a’robi, ia berkata, ‘Aku pernah mendengar Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-  bersabda,  

صَوْمُ شَهْرِ الصَّبْرِ وَثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ يُذْهِبْنَ وَحَرَ الصَّدْرِ

Puasa bulan kesabaran dan puasa tiga hari di setiap bulan menghilangkan wahar dada.” (HR. Ahmad, no. 23070). Dalam riwayat lain,

صَوْمُ شَهْرِ الصَّبْرِ وَثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ يُذْهِبْنَ وَحَرَ الصُّدُوْرِ

Puasa bulan kesabaran dan puasa tiga hari di setiap bulan menghilangkan wahar dada-dada.” (HR. Ibnu Hibban, no. 6557).

“Puasa bulan kesabaran”, yakni, bulan Ramadhan, karena di dalamnya terdapat bentuk kesabaran untuk menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa.  “Dan puasa tiga hari di setiap bulan menghilangkan wahar dada”, wahar yakni gejolak yang datang silih berganti, atau kedengkiannya, atau kegusarannya atau amarahnya, atau sifat kemunafikannya, sehingga tidak tersisa di dalam dada itu karat atau permusuhan atau kemarahan yang paling keras. (Faidhu al-Qadir, 4/211).

(9) Puasa Ramadhan merupakan kesempatan yang sangat berharga bagi seorang hamba untuk banyak memanjatkan doa kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-

Di dalam rangkaian ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang bulan Ramadhan, kewajiban berpuasa di dalamnya dan beberapa ketentuan hukum yang terkait dengannya, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – menyebutkan ayat tentang doa, seraya berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.”  (al-Baqarah: 186).

Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin -رَحِمَهُ اللهُ- berkata, “Di antara faidah ayat ini adalah bahwa puasa itu merupakan peluang besar untuk diijabahinya doa; karena Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– menyebutkan ayat ini di sela-sela ayat-ayat puasa; apalagi Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– menyebutkan ayat ini di akhir pembicaran tentang ayat-ayat puasa.

Sebagian ahli ilmu mengatakan, ‘Diambil faidah dari ayat ini faidah yang lainnya yaitu, bahwa hendaknya doa itu dipanjatkan di penghujung waktu berpuasa, yakni, ketika seseorang berbuka (atau menjelang berbuka)’.” (Tafsir al-Qur’an al-Karim, Surat al-Baqarah, 2/344).

Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ دَعْوَةُ الصَّائِمِ وَ دَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَ دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ

“Tiga doa mustajab; (1) doa orang yang tengah berpuasa, (2) doa orang yang tengah bepergian, dan (3) doa orang yang terzhalimi.” (HR. al-Baihaqiy, no. 3594).

Dalam riwayat lain, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

 ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ اَلصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ

“Tiga golongan orang yang doa mereka tidak tertolak;  orang yang berpuasa hingga ia berbuka.” (HR. Ibnu Hibban, no. 3428; Ibnu Khuzaimah, no. 1901; dan at-Tirmidzi, no. 3598. Abu Isa berkata: Ini hadis hasan).

Dalam riwayat lain,

ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حَيْنَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ

“Tiga golongan orang yang doa mereka tida tertolak;  pemimpin yang adil, orang yang berpuasa saat berbuka, dan doa orang yang terzhalimi.” (HR. Ibnu Hibban, no. 7387. Syu’aib al-Arnauth berkata: hadis shahih karena penguat-penguatnya).

(10) Puasa Ramadhan menjadikan pelakunya akan merasakan kegembiraan di dunia dan di akhirat.

Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ حِينَ يُفْطِرُ وَفَرْحَةٌ حِينَ يَلْقَى رَبَّهُ

“Orang yang berpuasa itu mempunyai dua kegembiraan; kegembiraan kala berbuka dan kegembiraan kala menemui Rabbnya.” (HR. al-Bukhari, no.7492).

Adapun kegembiraannya pada saat berbuka, maka ia bergembira dengan nikmat yang telah Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى – berikan (kepadanya), yaitu puasa, di mana puasa termasuk amal shalih yang paling utama. Sementara betapa banyak orang yang terhalang dari puasa. Ia juga bergembira dengan apa yang diperbolehkan oleh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– untuknya, berupa makanan, minuman, dan persetubuhan (dengan pasangan hidupnya), mengingat hal-hal tersebut sebelumnya diharamkan baginya pada saat ia sedang berpuasa.

Adapun kegembiraannya ketika berjumpa dengan Rabbnya, maka ia bergembira dengan puasanya tatkala ia mendapatkan balasan yang utuh dan sempurna di isi Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى –, pada waktu ia benar-benar dalam kondisi yang sangat membutuhkannya. Saat di mana terdengar seruan “Mana orang-orang yang berpuasa, hendaklah mereka memasuki Surga dari pintu ar-Rayyan, tidak ada yang boleh memasuki pintu tersebut selain mereka.” (Majalis Syahri Ramadhan, hal.17).

(11) Puasa Ramadhan, persiapan seorang hamba untuk mengerjakannya berupa santap sahur yang dilakukannya di akhir-akhir malam menjelang terbitnya fajar mendatangkan keberkahan dari Allah –سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى –.

Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً

“Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam makan sahur itu terdapat berkah.” (HR. al-Bukhari, 1923 dan Muslim, no. 2603).

Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- juga bersabda,

السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلَا تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ

“Sahur, menyantapnya merupakan berkah. Karena itu, janganlah kalian meninggalkannya. (Lakukanlah sahur) walau seseorang di antara kalian hanya minum seteguk air (saja). Karena sesungguhnya Allah –عَزَّ وَجَلَّ– dan para Malaikat-Nya bershalawat untuk orang-orang yang santap sahur.” (HR. Ahmad, no. 11414, Syu’aib al-Arnauth berkata: Hadis Shahih).

Al-Munawi -رَحِمَه اللهُ- berkata, “السَّحُورُ ‘Sahur’, (dibaca) seperti (membaca kata) رَسُوْلٌ ‘rasul’, ia adalah sesuatu yang disantap di waktu sahar (akhir malam mendekati subuh. Ada yang mengatakan, ‘sejak sepertiga malam terakhir hingga terbitnya fajar’). أَكْلُهُ ‘menyantapnya’ bagi orang yang hendak berpuasa. بَرَكَةٌ ‘merupakan berkah’, yakni, menambah kekuatan untuk berpuasa yang akan dilakukannya atau menambah pahalanya.  فَلَا تَدَعُوهُ ,  yakni, لَا تَتْرُكُوْهُ ‘janganlah kalian meninggalkannya’. وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ ‘walau seseorang di antara kalian hanya minum seteguk air’ dengan maksud sebagai sahur, dan jangan seseorang meninggalkannya dalam kondisi apa pun.

 فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ

“Karena sesungguhnya Allah –عَزَّ وَجَلَّ dan para Malaikat-Nya bershalawat untuk orang-orang yang santap sahur.”

Shalawat Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- untuk mereka, maknanya adalah (pemberian) rahmat-Nya kepada mereka. Adapun shalawat para Malaikat untuk mereka, maknanya adalah permohonan ampun para Malaikat kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- untuk mereka (orang-orang yang santap sahur untuk berpuasa).” (At-Taisir Bi Syarhi al-Jami’ ash-Shaghir, 2/135).

 

Pembaca yang budiman…

Demikianlah beberapa keutamaan dari puasa Ramadhan, puasa yang Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- wajibkan atas kita di bulan Ramadhan bulan yang mulia. Tidak menutup kemungkinan masih ada lagi keutamaan puasa Ramadhan yang lainnya yang tidak disebutkan dalam tulisan ini. Namun demikian, semoga apa yang telah disebutkan dalam tulisan ini bermanfaat dan dapat memotivasi kita untuk bersungguh-sungguh di dalam melaksanakan kewajiban nan istimewa ini. Amin.

Akhirnya, penulis berdoa, semoga Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- memberikan taufik kepada kita, membimbing kita sehingga kita dapat melaksanakan kewajiban kita yang satu ini dengan baik sehingga kita dapat memetik buah dari keutamaannya. Amin. Wallahu A’lam. (Redaksi).

 

Referensi:

  1. Al-Fiqhu al-Muyassar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar.
  2. Al-Mufid Fii Majalis Syahri Ramadhan Min Kalami al-Imam Ibn Baz, Bandar bin ‘Atiq al-Muthairi.
  3. At-Tafsir al-Muyassar, Hikmat Basyir et. al.
  4. At-Taisir Bi Syarhi al-Jami’ ash-Shaghir, Zainuddin Abdurrauf al-Munawi.
  5. Faidhu al-Qadir Syarh al-Jami’ ash-Shaghir, Abdurrauf al-Munawi.
  6. Majalis Syahri Ramadhan, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
  7. Misykatu al-Mashabih Ma’a Syarhihi Mir’atu al-Mafatih, Waliyuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abdilah At-Tibrizi.
  8. Musnad Imam Ahmad, Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani.
  9. Ramadhan Syahru ash-Shiyam, Wa Bayanu Fadhlihi, Shalah ‘Amir Qumshan.
  10. Shahih al-Bukhari, Muhammad bin Ismail al-Bukhari.
  11. Shahih Ibnu Hibban, Muhammad bin Hibban al-Busti.
  12. Shahih Ibnu Khuzaemah, Muhammad bin Ishaq Khuzaemah an-Naisaburi.
  13. Shahih Muslim, Muslim bin al-Hajjaj an-Naisaburi.
  14. Sunan Abu Dawud, Sulaiman bin al-Asy’ats As-Sijistani.
  15. Sunan Ibnu Majah, Muhammad bin Yazid al-Qazwaini.
  16. Syu’abul Iman, Abu Bakar Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi.
  17. Tafsir al-Qur’an al-Karim, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.