عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ  ؟ قَالَ : كُلُّ مَخْمُوْمِ الْقَلْبِ صَدُوْقُ اللِّسَانِ. قَالُوْا : صَدُوْقُ اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ . فَمَا مَخْمُوْمِ الْقَلْبِ ؟ قَالَ : هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ . لَا إِثْمَ فِيْهِ وَلَا بَغْيَ وَلَا غِلَّ وَلَا حَسَدَ

“Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Manusia macam apakah yang paling utama ?’ beliau pun menjawab : setiap Makhmuumi al-Qalbi, Shaduq al-Lisan (jujur lisannya). Mereka (para sahabat) berujar, ‘Orang yang jujur lisannya, kami telah mengetahui (maknanya)’. Lalu, apa makna Makhmuumi al-Qalbi ? beliau menjawab : ia adalah yang bertakwa, yang bersih, tidak ada dosa di dalamnya, tidak pula ada kezhaliman, tidak pula ada rasa dendam, dan tidak pula ada kedengkian.” (HR. Ibnu Majah, no.4216)

  • Siapakah Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu?

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, siapakah dia ? Dia adalah Abdullah bin Amr bin al-Ash bin Wa-il bin Hasyim bin Sa’id bin Sahm bin ‘Amr bin Hashish bin Ka’b bin Lu-ai al-Qurosyi as-Sahmiy. Berkunyah ‘Abu Muhammad’, ada yang mengatakan,’Abu ‘Abdurrahman’. Ibunya bernama Rithah binti Munabbih bin al-Hajjaj as-Sahmiy. Beliau radhiyallahu ‘anhu  lebih muda usianya 12 tahun dari bapaknya.

Beliau radhiyallahu ‘anhu masuk Islam sebelum ayahnya. Beliau radhiyallahu ‘anhu adalah sosok yang utama dan ‘Alim. Beliau radhiyallahu ‘anhu hafal al-Qur’an dan beberapa kitab sebelumnya. Beliau radhiyallahu ‘anhu pernah meminta izin kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menulis (ucapan) beliau, seraya mengatakan, ‘Wahai Rasulullah !, aku akan menulis apa yang aku dengar (dari Anda) baik kala Anda ridha maupun marah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengatakan (kepadanya),

 نَعَمْ فَإِنِّي لَا أَقُوْلُ إِلَّا حَقًّا

‘Iya’ (silakan kamu lakukan hal itu), sesungguhnya aku tidak mengucapkan kecuali kebenaran.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Tak ada seorang pun yang lebih hafal hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dariku, kecuali Abdullah bin Amr bin al-Ash, karena ia biasa menulis (hadis beliau shallallahu ‘alaihi wasallam) sementara aku tidak menulis(nya).

Dan, Abdullah sediri mengatakan, ‘Aku hafal 1000 lebih (hadis) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. (Usud al-Ghabah, 1/657)

Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia tahun 63 H, ada yang mengatakan, tahun 65 H, di Mesir. Ada yang mengatakan beliau radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia tahun 67 H di Makkah. Ada yang mengatakan, beliau meninggal dunia tahun 55 H di Thaif, ada yang mengatakan tahun 68 H, ada yang mengatakan, tahun 73 H.  Beliau radhiyallahu ‘anhu berusia 72 tahun. Ada yang mengatakan,  92 tahun. Ibnu Bukair ragu antara 70 dan 90. (Usud al-Ghabah, 1/658)

  • Siapakah yang Bertanya ?

Perkatan Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash, “Ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak disebutkan di sini siapakah gerangan orang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut. Tidak disebutkannya nama si penanya dalam kasus ini, tidaklah mempengaruhi terhadap hukum. Meski demikian, kemungkinan besar orang yang bertanya tersebut adalah termasuk sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

  • Isyarat dan Petunjuk Dibalik Pertanyaan

Adapun pertanyaan orang tersebut adalah أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ  “Manusia macam apakah yang paling utama ?”. Pertanyaan ini mengisyaratkan apa ?

Pertanyaan ini mengisyaratkan beberapa hal berikut :

Pertama, Kesemangatan dan kesungguhan penanya terhadap sesuatu yang lebih baik. Seakan-akan ia sangat menginginkan untuk menjadi manusia yang terbaik di antara manusia-manusia yang baik.

Kedua, Bahwa –secara umum- manusia bertingkat-tingkat kebaikannya dan begitu pula tingkat atau derajat kemuliaannya.

Allah azza wajalla mengisyaratkan hal itu di dalam firman-Nya,

انْظُرْ كَيْفَ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَلَلْآخِرَةُ أَكْبَرُ دَرَجَاتٍ وَأَكْبَرُ تَفْضِيْلًا

“Perhatikanlah bagaimana Kami melebihkan sebagian mereka atas sebagian (yang lain). Dan kehidupan akhirat lebih tinggi derajatnya dan lebih besar keutamaannya.” (Qs. al-Isra : 21).

Sebagaimana mereka memikili perbedaan dalam hal mendapatkan jatah rizkinya. Allah azza wajalla berfirman,

وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ

“Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam hal rizki.” (Qs. an-Nahl : 71)

Namun, mengenai perbedaan tingkat dan derajat di antara manusia dalam hal kebaikan dan kemuliaan tergantung pada tingkat perbedaan mereka dalam ketakwaannya kepada Allah azza wajalla yang hanya Dialah yang mengetahui hakikatnya. Sebagaimana hal ini sangat jelas dinyatakan dalam firman-Nya,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Sungguh, yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (Qs. al-Hujurat : 13). Dan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى

“Wahai sekalian manusia ! Ketahuilah bahwa Rabb (Tuhan) kalian Esa, dan sesungguhnya bapak-bapak kalian (asalnya) satu (yaitu, Adam j). Ketahuilah bahwa tidak ada keutamaan untuk orang Arab atas orang non Arab, tidak pula orang non Arab atas orang Arab, tidak pula ada keutamaan orang-orang berkulit merah atas orang-orang berkulit hitam, tidak pula orang-orang berkulit hitam atas orang-orang berkulit merah, melainkan dengantakwa’.”(HR. Ahmad di dalam al-Musnad, no. 23489)

Ketiga, Bahwa para sahabat adalah orang-orang yang berjiwa besar, mereka tidak menyukai kerendahan. Maka, hendaknya kita, Ummat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam meneladani mereka, para sahabat Nabi -radhiyallahu ‘anhum- yang dinyatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  sebagai generasi terbaik umat ini.

Keempat, Dianjurkannya bertanya kepada ahli ilmu tentang sesuatu yang lebih utama dan memilihnya, serta berusaha untuk meraihnya. Karena, tidaklah para sahabat bertanya tentang sesuatu yang lebih utama melainkan agar mereka dapat menempuh jalan untuk meraihnya. Bukan sekedar bertanya atau basa-basi.

  • Apa jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atas pertanyaan ini ?

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan kepada si penanya,

كُلُّ مَخْمُوْمِ الْقَلْبِ صَدُوْقُ اللِّسَانِ

“Setiap orang yang  مَخْمُوْمِ الْقَلْبِ makhmuumul al-Qalbi, jujur lisannya.

Imam as-Suyuthiy mengatakan (مَخْمُوْمِ الْقَلْبِ) dengan huruf khaal-Mu’jamah. Berkata di dalam an-Nihayah, ‘kata tersebut berasal dari ungkapan,   خَمَمْتَ الْبَيْتَ إِذَا كَنَسْتَهُ وَنَظَّفْتَهُ Anda membersihkan rumah itu apabila Anda menyapunya dan membersihkannya. (Hasyiyah as-Sindiy ‘Ala Ibni Majah, 8/69). Yakni, maknanya adalah  selamatnya atau bersihnya hati, berdasarkan firman-Nya,

إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ

“Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (Qs. asy-Syu’ara : 89), berasal dari ungkapan, خَمَمْتَ الْبَيْتَ إِذَا كَنَسْتَهُ Anda membersihkan rumah apabila Anda menyapunya, berdasarkan keterangan yang terdapat di dalam kamus dan yang lainnya. Maknanya, hendaknya hatinya disapu dari debu-debu yang mengotorinya dan dibersihkan dari akhlak-akhlak yang kotor lagi hina.

صَدُوْقُ اللِّسَانِ (shaduuq al-Lisan) dengan mengkasrah (huruf lam), yakni, setiap orang yang sangat jujur pada (ucapan) lisannya. Dengan itu, terwujudlah keselarasan dan kecocokan antara kebagusan lisannya dan hatinya, dengan demikian ia keluar dari kondisi orang munafiq (yang ucapan lisannya bagus, namun hatinya busuk-pen) atau (ia keluar dari) kondisi orang yang ingin dilihat (amal baiknya) oleh orang lain, atau (ia keluar dari kondisi) orang yang (lisannya) menyelisihi (isi hatinya). (Murqaat al-Mafatih Syarh Misykatu al-Mashabiih, 15/119)

Itulah dua kunci pembuka gerbang kemuliaan dan keutamaan. Dengan kedua kunci tersebut seseorang dapat menjadi manusia yang sangat utama. Kunci pertama adalah shaduuq al-Lisan dan kunci yang kedua adalah makhmuumul al-Qalbi.

  • Apa yang dimaksud “makhmuumul al-Qalbi” ?

Ketika mendengar jawaban beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut, para sahabat berujar, “Orang yang jujur lisannya, kami telah mengetahui (maknanya). Lalu, apa makna Makhmuumi al-Qalbi ? “ beliau pun menjawabnya dengan menjabarkannya, seraya bersabda, هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ , yaitu, hati yang bertakwa lagi bersih. “Hati yang bertakwa”, yakni, yang menjauhkan diri dari bahaya hal-hal yang buruk karena takut kepada Allah azza wajalla dan mengagungkan-Nya. Hal tersebut terjadi pada hati yang demikian itu karena mengharap keridhaan-Nya.

Yang bersih, yakni, yang bersih dari noda-noda dosa yang akan mengotori hatinya, hati tersebut terjaga (kebersihannya) dengan senantiasa dibersihkan dari dosa-dosa, di antaranya adalah dengan “banyak beristighfar dan bertaubat kepada-Nya” dan dengan “disibukkan dengan amal-amalan hati yang shaleh”, sehingga hati tersebut disifati dengan  “لَا إِثْمَ فِيْهِ “ (tidak ada dosa di dalamnya). Karena, dosa-dosa itulah yang akan menjadikan hati itu menjadi kotor. Sebagiamana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيْئَةً نُكِتَتْ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةً سَوْدَاءَ فَإِنْ هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ صَقَلَتْ قَلْبُهُ

“Sesungguhnya seorang hamba itu apabila ia melakukan satu kesalahan niscaya akan tertitik di dalam hatinya noktah hitam, lalu jika ia berhenti dan memohon ampun serta bertaubat (kepada Allah azza wajalla), niscaya hatinya akan mengkilap (kembali).” (HR. an-Nasai, no. 10251)

  • Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam :

وَلَا بَغْيَ وَلَا غِلَّ وَلَا حَسَدَ

Tidak pula ada Baghy, tidak pula ada Ghill, dan tidak pula ada Hasad

وَلَا بَغْيَ (Tidak pula ada Baghy) yakni, لَا ظُلْمَ لَهُ  (Tidak ada kezhaliman).

وَلَا غِلَّ  (Tidak pula ada ghill), yakni, لَا حِقْدَ  (Tidak menyimpan rasa dendam).

 وَلَا حَسَدَ (Dan tidak pula ada hasad/kedengkian), yakni, لَا تَمَنَّي زَوَالَ نِعْمَةِ الْغَيْرِ  (Tidak menginginkan hilangnya kenikmatan pada orang lain).

Kezhaliman, dendam, dan kedengkian, ini adalah di antara dosa yang semestinya dijauhi agar hati terjaga kebersihannya.

Dari penjelasan di atas, memberikan petunjuk kepada kita bahwa barang siapa menginginkan dirinya menjadi bagian dari orang-orang yang paling utama lagi mulia, maka hendaknya ia memperhatikan lisannya agar jujur dalam berkata-kata, dan memperhatikan pula hatinya agar senantiasa bertawa dan terjaga kebersihannya dari noda-noda dosa secara umum, terlebih dosa yang dilakukan oleh hatinya, semisal mendendam dan mendengki, apalagi melakukan kezhaliman kepada Allah azza wajalla berupa menginginkan sanjungan dan pujian manusia ketika anggota badannya melakukan amal shaleh apa pun bentuknya (baca : syirik khafiy/riya).

Akhirnya, kita berlindung kepada Allah dari menyekutukan-Nya sementara kita mengetahuinya, dan kita memohon ampun pula kepada-Nya (dari menyekutukan-Nya) sementara kita tidak menyadarinya. Amin

Wallahu A’lam (Redaksi)

Referensi :

  1. Hasyiyah as-Sindiy ‘Ala Ibni Majah, Muhammad bin Abdil Hadiy at-Tatuwiy, Abu al-Hasan Nuruddin as-Sindiy
  2. Murqaat al-Mafatih Syarh Misykatu al-Mashabiih, al-Mula Ali al-Qariy
  3. Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin Hanbal
  4. Sunan an-Nasai al-Kubra, Ahmad bin Syu’aib Abu Abdurrahman an-Nasaiy
  5. Sunan Ibnu Majah, Muhammad bin Yazid Abu Abdillah al-Qazwainiy
  6. Usud al-Ghabah, ‘Izzuddin Ibnu Atsir