NASH HADITS

 عن أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: خَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُطْبَةً مَا سَمِعْتُ مِثْلَهَا قَطُّ، قَالَ: لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا. قَالَ: فَغَطَّى أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وُجُوهَهُمْ لَهُمْ خَنِينٌ

 Dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam suatu ketika pernah berkhutbah dengan sebuah khutbah yang tidak pernah aku jumpai sepertinya, beliau berkata, ‘Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis’.” Anas melanjutkan, “Maka para sahabat Nabi mulai menutup muka-muka mereka, diiringi dengan isak tangis.” (HR. al-Bukhari no. 4621).

 

SYARAH RINGKAS

Maksud dari perkataan Anas radhiyallahu ‘anhu, “Beliau berkhutbah dengan suatu khutbah yang tidak pernah aku jumpai sepertinya” yakni khutbah yang lain daripada biasanya, khutbah yang benar-benar menggetarkan hati, dan membuat takut orang yang mendengarnya.

Dan sabda beliau “Seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui” yakni apa yang beliau ketahui dari pemandangan neraka, sebagaimana yang ditunjukkan dalam riwayat an-Nadhar bin Syumail(1), maka benar-benar kita akan banyak menangis dan sedikit tertawa. Sebagaimana malaikat Mikail tidak pernah tertawa sejak Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan neraka.(2)

Perkataan perawi (خَنِينٌ) khanin bermakna keluarnya suara dari rongga hidung disertai dengan tangis. Dalam riwayat lain disebutkan dengan lafazh (خَنِينٌ) hanin yakni suara rintihan tangis yang keluar dari dada.(3)

 

TANGISAN AL-KHASYAH CIRI SHALIHIN

Para salaf benar-benar perhatian dalam masalah tangisan karena al-khasyah, hal tersebut dibuktikan dari riwayat-riwayat yang sampai kepada kita di dalam kitab-kitab tarikh. Bahkan sejatinya tangisan al-khasyyah itu adalah warisan para nabi.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أُولَئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ مِنْ ذُرِّيَّةِ آدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِنْ ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا

“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu dari (golongan) para Nabi dari keturunan Adam, dan dari orang yang Kami bawa (dalam bahtera) bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Isra’il (Ya’kub), dan dari orang yang telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pengasih kepada mereka, maka mereka tunduk sujud dan menangis.” (QS. Maryam: 58).

Diceritakan bahwa Nabi Adam ‘alaihissalam menangis menyesali perbuatannya.(4) Nabi Nuh ‘alaihissalam juga menangis setelah ditegur oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.(5) Sebagaimana Nabi Dawud ‘alaihissalam juga menangis dalam sujud, setelah mendapat teguran.(6) Dikisahkan bahwa Nabi Yahya ‘alaihissalam juga banyak menangis karena rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.(7) Dan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tak kuasa menahan tangis saat membayangkan kedahsyatan kondisi pada hari Kiamat.(8)

Tangisan al-Khasyyah adalah warisan para nabi, dan ciri orang shalih. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu tak kuasa menahan tangis acapkali membaca Al-Qur’an(9), Umar radhiyallahu ‘anhu pun demikian halnya.(10) Dan adalah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, selalu menangis setiap kali berdiri di sisi kubur.(11) Para salaf memang biasa menangis karena merasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga butuh belasan jilid besar untuk merangkumkan kisah-kisah yang memuat tentang tangisan mereka.

 

KEUTAMAAN MENANGIS KARENA AL-KHASYYAH

Tangisan para shalihin bukanlah tangisan yang dibuat-buat, namun tangisan tersebut merupakan interpretasi dari gemuruh di dalam dada yang tak kuasa tertahankan, karena al-khasyyah (rasa takut) mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tangisan mereka bukanlah tangisan karena riya ataupun sum’ah, namun tangisan yang berasal dari ketulusan hati.

Menangis karena al-khasyyah memiliki keutamaan yang amat besar, diantaranya;

 

1. Dijauhkan dari api neraka

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَيْنَانِ لَا تَمَسُّهُمَا النَّارُ عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Dua pasang mata yang tidak akan tersentuh api Neraka; mata yang menangis karena rasa takut kepada Allah, dan mata yang berjaga di jalan Allah.”(12)

 

2. Mendapat naungan Allah Subhanahu wa Ta’ala

Salah satu diantara tujuh golongan yang mendapat naungan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari Kiamat ialah:

وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

“Dan seorang lelaki yang mengingat Allah di kala sendiri, hingga mengalirlah air matanya.” (13)

 

3. Sebab kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَيْسَ شَيْءٌ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ قَطْرَتَيْنِ وَأَثَرَيْنِ قَطْرَةٌ مِنْ دُمُوعٍ فِي خَشْيَةِ اللَّهِ وَقَطْرَةُ دَمٍ تُهَرَاقُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأَمَّا الْأَثَرَانِ فَأَثَرٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأَثَرٌ فِي فَرِيضَةٍ مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ

“Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai oleh Allah daripada dua tetesan dan dua bekas. Tetesan yang berupa air mata karena takut kepada Allah dan tetesan darah yang ditumpahkan di jalan Allah. Adapun dua bekas, yaitu bekas di jalan Allah dan bekas di dalam (melaksanakan) suatu kewajiban dari kewajiban-kewajibanNya.” (14)

 

4. Mendapatkan pohon Tuba di Surga

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

طُوبَى لِمَنْ مَلَكَ لِسَانَهُ ، وَوَسِعَهُ بَيْتُهُ ، وَبَكَى عَلَى خَطِيئَتِهِ

“Pohon Tuba bagi orang yang mampu mengekang lisannya, qana’ah dengan tempat tinggalnya, dan menangis atas dosa-dosanya.”(15)

 

5. Mematuhi wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kita untuk banyak menangisi dosa-dosa kita, barangsiapa melaksanakannya maka ia telah mematuhi wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

 

6. Melembutkan hati

Berkata Ibnu al-Qayyim rahimahullah, “Sesungguhnya hati memiliki sifat keras yang tidak dapat dilunakkan kecuali dengan mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga sudah seyogyanya bagi seorang hamba untuk mengobati kerasnya hati dengan dzikir (mengingat) Allah Subhanahu wa Ta’ala.”(16)

 

7. Meneladani para Nabi dan salaf

Tangisan al-khasyyah adalah warisan para Nabi dan salaf, barangsiapa mengamalkannya maka ia telah meneladani sebaik-baik manusia. Berkata Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, “Menangislah, jika kalian tidak bisa menangis maka pura-puralah menangis.”(17) Berpura-pura menangis sebagai sarana mendapatkan kelembutan hati dan al-khasyyah adalah diperbolehkan.(18)

 

8. Melahirkan sifat-sifat baik

Berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala terlebih jika disertai tangisan akan melahirkan sifat-sifat terpuji di antaranya; sifat muraqabah, inabah, menambah rasa tunduk kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, memperkuat jiwa dan iman, menghilangkan sifat wahsyah (gelisah karena maksiat), menyibukkan diri dengan aib sendiri, memperkuat bashirah dan firasat, mencerahkan wajah, dan sifat-sifat terpuji lainnya.(19)

 

9. Sebab kedekatan Allah Subhanahu wa Ta’ala

Menangis karena al-khasyyah adalah sebab dekatnya kita dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam sebuah hadits qudsi Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي

“Aku menurut persangkaan hamba-ku, dan Aku senantiasa bersamanya selagi ia mengingat-Ku.”(20) Wallahu A’lam. (Abu Ukasyah Sapto B. Arisandi).

 

Footnote:

  1. Lihat Fath al-Bari, 10/101.
  2. as-Silsilah ash-Shahihah, 2511.
  3. Shahih al-Bukhari. Tahqiq Musthafa al-Bugha, 4/1689.
  4. al-Buka wa ar-Riqqah, Ibnu Abid Dunya, 3/176. Dar Athlas al-Khadra.
  5. al-Buka wa ar-Riqqah, Ibnu Abid Dunya, 3/183. Teguran termaktub dalam QS. Hud: 46.
  6. al-Buka wa ar-Riqqah, Ibnu Abid Dunya, 3/184. Teguran termaktub dalam QS. Shad: 22-24.
  7. al-Buka wa ar-Riqqah, Ibnu Abid Dunya, 3/199.
  8. al-Bukhari, no. 4582.
  9. al-Bukhari, no. 476.
  10. al-Buka wa ar-Riqqah, Ibnu Abid Dunya, 3/203.
  11. at-Tirmidzi, no. 2308.
  12. at-Tirmidzi, no. 1639.
  13. al-Bukhari, no. 660, 1423 dan Muslim, no. 1031.
  14. at-Tirmidzi, no. 1669.
  15. Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, no. 2740.
  16. Al-Wabil ash-Shayyib, hal. 171.
  17. Al-Mustadrak, 4/622.
  18. Zadu al-Ma’ad, 1/185.
  19. Faidah dzikir dari al-Wabil ash-Shayyib dari hal. 94.
  20. HR. al-Bukhari, no. 7405.