Pembahasan transaksi jual beli dalam disiplin ilmu fiqih merupakan perkara yang tidak akan ada habisnya. Terlebih semakin maju dan berkembangnya iklim ekonomi secara global dengan menawarkan beragam transaksi modern yang belum dikenal sebeluMotormnya. Meskipun demikian, semua klasifikasi transaksi ekonomi modern yang akan terus berkembang seiring kemajuan zaman dan teknologi telah dihimpun prinsip-prinsip dasarnya dalam syariat islam. Sehingga, setiap transkasi modern yang ada bisa disimpulkan hukum akan boleh tidaknya memanfaatkan transaksi tersebut.

Di antara jenis transaksi yang masih kerap dipertanyakan akan kehalalannya adalah transaksi jual beli secara kredit, terlebih akhir-akhir ini banyak sekali badan usaha, baik perorangan ataupun lembaga yang menjalankan sistem transaksi semacam ini, contoh nyatanya seperti jual beli motor atau mobil secara kredit.

Jual beli kredit masih diperdebatkan

Transaksi secara kredit merupakan salah satu jenis jual beli yang masih diperdebatkan oleh para ulama akan boleh atau tidaknya. Sebagian ulama kontemporer  mengharamkan transaksi semacam ini (yaitu jual beli kredit yang harganya lebih mahal dari harga tunai). Di antaranya ialah Syaikh Al-Albani dan Syaikh Muqbil bin Hadi yang berpendapat demikian.

Akan tetapi, setelah dilihat dan ditinjau dari beberapa sisi, jual beli secara kredit hukumnya boleh dalam islam. Inilah pendapat yang rajih (kuat) di antara dua pendapat yang ada. Berikut ini adalah beberapa hal yang menunjukkan bolehnya memanfaatkan transaksi jual beli secara kredit:

1. Saat Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Ayat tersebut secara umum mencangkup transaksi jual beli secara tidak tunai, termasuk di dalamnya jual beli secara kredit. Inilah keumuman dalil yang secara gamblang menunjukkan sah dan halalnya transaksi secara kredit.

2. Umat islam telah melakukan transaksi jual beli secara kredit sejak dahulu, bahkan Nabi sendiri telah membenarkan transaksi semacam ini.

Dari Amru bin ‘Ash, ia berkata, “Nabi menyiapkan unta-unta zakat untuk tunggangan pasukan berjihad, ternyata jumlah unta yang ada tidak mencukupi. Maka Nabi memerintahkanku untuk membeli unta dengan cara tidak tunai dan dibayar nanti bila datang unta zakat. Kemudian aku membeli seekor unta dengan dua/tiga ekor unta yang lebih muda yang dibayar setelah unta zakat datang. Tatkala unta zakat datang, lantas Nabi membayarnya.” (HR. Ahmad dengan sanad shahih)

Hadits di atas menunjukkan bolehnya melakukan transaksi jual beli secara kredit, dimana harganya lebih mahal daripada harga tunai. Dalam hadits tersebut Nabi telah membenarkan transaksi jual beli seekor unta yang diterima tunai dengan dua/tiga unta yang akan dibayarnya setelah unta zakat datang. Bukankah jual beli di atas merupakan jenis transaksi secara kredit?

Hal ini juga diperkuat oleh beberapa pendapat ulama lain setelah mengkaji lebih dalam mengenai transaksi semacam ini.

Keputusan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami (Devisi Fiqih OKI) No. 51 (2/6) tahun 1990 membolehkan transaksi secara kredit, “Boleh melebihkan harga barang yang dijual tidak tunai (kredit) daripada dijual tunai …. dan harganya dicicil dalam jangka waktu yang ditentukan.”

Syaikh Bin Baz pernah mengatakan, “Jual beli kredit hukumnya boleh, dengan syarat bahwa lamanya masa angsuran serta jumlah angsuran diketahui dengan jelas saat akad, sekalipun jual beli kredit biasanya lebih mahal daripada jual beli tunai. Hal ini dibolehkan, karena kedua belah pihak mendapat keuntungan dari jual beli kredit; penjual mendapat untung karena harga barangnya lebih mahal dan pembeli mendapat untung karena mendapat tempo tunggakan pembayaran.”

Kapan boleh transaksi secara kredit?

Berdasarkan dalil-dalil dan penjelasan secara sederhana di atas, maka kita boleh bertransaksi secara kredit kapan pun tatkala transaksi tersebut memenuhi beberapa sayarat berikut ini:

  1. Lamanya masa angsuran dan jumlah angsuran harus diketahui secara jelas saat akad, sebagaimana yang terdapat dalam kisah Amru bin ‘Ash.
  2. 2. Barang merupakan milik penjual sebelum terjadinya akad jual beli kredit dilangsungkan.
  3. Barang yang dijual harus berada ditangan penjual sebelum dirinya melakukan transaksi secara kredit dengan pembeli.
  4. Barang tersebut harus diterima oleh pembeli secara tunai pada saat akad berlangsung.
  5. Tidak boleh adanya persyaratan kewajiban membayar denda, atau harga barang menjadi bertambah jika terjadi keterlambatan pembayaran. Karena hal ini termasuk riba yang dilarang.
  6. Barang yang dijual bukan dalam bentuk emas, perak dan mata uang.

Jika sebuah transaksi secara kredit memenuhi kriteria di atas, maka seseorang boleh melakukan transaksi dengan cara kredit semacam itu.

Contoh,

Agus memiliki sebuah handphone yang hendak dijualnya. Seorang temannya yang bernama Ahmad merasa tertarik dan hendak membeli handphone miliknya. Setelah melakukan perbincangan ternyata Agus hanya akan menjual handphone tersebut seharga Rp. 1.300.000,_ secara tunai. Sementara Ahmad tidak memiliki cukup uang sebanyak itu, lantas ia putuskan untuk membayarnya secara kredit (pembayaran diangsur) selama 6 bulan meskipun harganya lebih mahal dari harga tunai. Kemudian Agus menjual handphone tersebut seharga Rp. 1.600.000,_ jika dibayar secara angsuran. Ahmad juga sepakat atas harga yang ditawarkan oleh Agus. Akhirnya Agus pun menyerahkan handphone tersebut kepada Ahmad yang akan dibayarnya secara angsuran selama tenggang waktu 6 bulan.

Jenis transaksi kredit di atas jelas boleh hukumnya, meskipun harga jual kredit lebih tinggi dari harga jual secara tunai. Karena transaksi tersebut telah memenuhi syarat-syarat yang membolehkan akad jual beli secara kredit. Yaitu barang yang dijual bukan dalam bentuk emas, perak atau mata uang, barang adalah mutlak milik penjual, barang berada di tangan penjual, barang diterima oleh pembeli secara tunai saat akad berlangsung, lamanya masa angsuran dan jumlahnya jelas saat akad berlangsung, dan tidak adanya syarat sanksi denda jika terjadi keterlambatan pembayaran.

Bagaimana dengan kredit motor?

Kita tidak memungkiri bahwa kredit motor beberapa tahun terakhir ini sangat digandrungi oleh masyarakat muslim di negeri ini. Di satu sisi transaksi kredit semacam itu memberikan kemudahan seseorang untuk memiliki sebuah motor baru dengan dana minim yang dimilikinya, terlebih kebutuhan akan kendaraan bermotor dewasa ini bisa dikategorikan sebagai sebuah kebutuhan yang urgent dalam menunjang setiap aktivitasnya sehari-hari. Akan tetapi, di sisi lain transaksi ini juga meninggalkan beberapa kasus yang terkadang merugikan pihak pembeli tatkala dirinya tak mampu membayar angsuran yang telah disepakati, seperti harus membayar denda dengan sejumlah uang tertentu atau motor tersebut diambil alih kepemilikannya oleh pihak penjual.

Kalau kita melihat sistem maupun praktik transaksi yang ada dalam kredit motor yang ditetapkan oleh pihak penjual, maka hal itu tidak terlepas dari beberapa hal di bawah ini:

  1. Pihak penjual mensyaratkan denda kepada pembeli jika terjadi keterlambatan pembayaran pada salah satu angsuran selama masa tenggang yang telah disepakati.
  2. Terkadang motor tersebut belum menjadi hak milik pihak penjual, dimana pihak penjual – setelah melakukan kesepakatan transaksi kredit dengan pihak pembeli – baru mencarikan motor yang dibutuhkan tersebut setelah terjadinya kesepakatan akad dengan pihak pembeli.

Dua perkara inilah yang biasanya tidak terlepas dalam jual beli kredit motor yang sudah menjamur di tengah-tengah masyarakat kita.

Dengan demikian, kredit motor yang memakai sistem semacam itu tidak dibolehkan dan haram hukumnya dalam islam. Hal itu dikarenakan:

  1. Syarat-syarat yang membolehkan jual beli kredit secara umum tidak terpenuhi dalam transaksi kredit motor tersebut, yaitu adanya syarat sanksi denda jika terjadi keterlambatan pembayaran, dan terkadang barang yang dijual belum menjadi milik pihak penjual.
  2. Ketentuan yang ditetapkan oleh pihak penjual telah menyelisihi nash-nash yang ada. Ketentuan sanksi denda tersebut masuk kategori riba nasi’ah (tambahan pembayaran utang karena melewati jatuh tempo) yang menjadi kebiasaan masyarakat jahiliyah kala itu.
  3. Posisi barang yang dijual (motor) yang saat akad belum menjadi milik pihak penjual jelas bertentangan dengan sabda Rasulullah yang mengatakan, “Janganlah kalian menjual barang yang bukan milikmu!” (HR. Abu Dawud: 3503)

Solusi dan sikap yang bijak terhadap adanya kredit motor

Kredit motor merupakan transaksi yang sudah menjamur ditengah-tengah masyarakat kita. Setelah mengkaji sistem maupun praktik yang terjadi di dalamnya, memang bentuk transaksi semacam itu diharamkan dan tidak dibolehkan dalam islam. Salah satu penyebab yang menjadikan transaksi kredit motor semakin berkembang dan digandrungi oleh sebagian besar masyarakat muslim di negeri ini ialah ketidaktahuan sebagian besar mereka akan muamalah yang dihalalkan maupun yang diharamkan, minimnya pemahaman mereka akan syariat islam (khususya masalah jual beli yang diharamkan), tidak adanya perhatian yang baik untuk mengaplikasikan hukum-hukum muamalat yang ada dari para praktisi transaksi ekonomi dan tidak adanya lembaga islam yang memiliki otoritas khsusus untuk melarang dan membekukan segala jenis transaksi yang diharamkan dalam islam, seperti transaksi jual beli kredit motor.

Oleh karena itu, solusi dan sikap terbaik dalam menyikapi fenomena semacam ini di antaranya ialah:

1. Hendaknya seorang muslim untuk bersabar dengan apa yang dimilikinya, dan tidak memaksakan diri untuk melakukan kredit motor selama kebutuhan tersebut dianggap tidak mendesak sekali. Memaksakan diri dalam kredit motor merupakan bentuk saling tolong menolong dalam dosa dan keburukan.

Alloh berfirman:

وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Janganlah kalian saling tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maidah:2)

Sikap bersabar dan bercukup diri dengan apa yang dimilikinya merupakan sikap yang bijak dan mulia yang akan mendatangkan pertolongan maupun kelapangan dari Allah. Allah telah berfirman, “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153)

2. Hendaknya seorang muslim tidak menggampangkan perkara berhutang dalam memenuhi kebutuhannya. Utang adalah perkara yang tidak dianjurkan dalam islam kecuali bagi seseorang yang sangat membutuhkan barang tersebut dan ia merasa mampu untuk menlunasinya.

Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian berikan rasa takut ke dalam diri kalian setelah diri itu tenang!” Para sahabat bertanya, “Apa hal tersebut wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Utang.” (HR. Ahmad)

Umar bin Khattab juga pernah berkata, “Hindarilah berhutang, karena orang yang berhutang mengawali hidupnya dengan kegelisahan dan mengakhirinya dengan kebinasaan.” (Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Kitab Al-Muwattha’)

3. Hendaknya seorang muslim untuk bersikap hidup sederhana dan qona’ah (merasa cukup) terhadap apa yang dimilikinya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

لَيس الغِنَي عَن كثْرَةِ العَرضِ ، وَلكِنَّ الغنِيَ غِنَي النَّفسِ

“Kekayaan itu bukanlah kala banyaknya harta, melainkan berupa kekayaan hati.” (HR.Bukhari: 6446 dan Muslim: 2467)

Rasulullah juga pernah bersabda:

قَدْ أَفلَحَ مَنْ أَسَلَمَ ، وَرُزِقَ كَفَافاً ، وَقَنَّعَهُ اللَّه بما آتَاهُ

“Sungguh telah beruntung seseorang yang telah masuk islam, diberi rezeki yang cukup dan qana’ah (merasa cukup) dengan apa yang telah Allah berikan kepadanya.” (HR. Muslim: 2473)

4. Jika dirinya sangat mendesak sekali membutuhkan kendaraan motor untuk aktivitas sehari-hari, cukuplah dirinya membeli motor bekas yang sesuai dengan kemampuan finansialnya. Jika tidak memungkinkan, maka hendaknya ia meminjam uang secukupnya kepada saudara atau orang lain (tanpa adanya unsur riba yang disyaratkan dalam pinjaman tersebut) untuk membeli motor baru/bekas yang sangat dibutuhkannya.

Akan tetapi, saya pribadi berpendapat bahwa tidaklah perlu seorang muslim memaksakan diri untuk membeli motor baru apabila keadaan finansialnya tidak mendukung/tidak mencukupi. Karena hal itu akan membebani dirinya dan keluarganya, terlebih jika ia terjerat dalam praktik perkreditan motor atau yang semacamnya. Siapakah yang bisa menjamin bahwa kesehatan diri, kelancaran usaha maupun rezeki akan berjalan mulus seperti apa yang direncanakannya?

Oleh karena itu, jika memang sangat membutuhkan kendaraan bermotor untuk membantu aktivitasnya sehari-hari, cukuplah ia membeli yang bekas dengan harga yang jauh lebih murah, dan seandainya mengharuskan ia berhutang, maka beban hutangnya jauh lebih ringan dan tidak terlalu memberatkan hidupnya.

5. Adapun bagi para pelaku ekonomi, khususnya para pedagang yang bergelut dalam bisnis jual beli motor secara kredit hendaknya mempelajari kembali prinsip-prinsip dasar jual beli dan hukum-hukumnya, terutama tentang masalah transaksi jual beli secara kredit. Setelah itu hendaknya ia mengaplikasikan dalam praktik jual beli yang dijalankannya yang sesuai dengan nilai-nilai islam yang benar. Seperti tidak mensyaratkan adanya sanksi denda jika terjadi keterlambatan pembayaran angsuran dari pihak pembeli.

Dengan demikian, ia bukan hanya sekadar mendapatkan keuntungan duniawi berupa laba dari hasil jual belinya, namun ia juga akan mendapatkan keuntungan ukhrawi berupa pahala yang besar dari transaksinya yang sesuai dengan hukum-hukum islam. Inilah yang diharapkan bersama agar setiap muamalah yang mereka jalankan, khususnya dalam masalah jual beli akan mendapatkan keberkahan dan keridhoan dari Allah.Wallohu a’lam bishowab

Oleh : Saed As-Saedy

Referensi :

  1. Harta Haram Muamalat Kontemporer, DR. Erwandi Tarmizi, MA, Penerbit Berkat Mulia Insani, Bogor, Cetakan ke-4, April 2013.
  2. Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Prof. DR. Shalah Ash-Shawi dan Prof. DR. Abdullah Al-Mushlih, Penerbit Darul Haq, Jakarta, Cetakan ke-2, April 2008.
  3. Al-Maktabah Asy-Syamilah, Versi terbitan 3.28