Bila ghuluw terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dilarang, maka ia terhadap orang shalih selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lebih patut.Yang dimaksud dengan ghuluw terhadap orang-orang shalih adalah mengangkat mereka melebihi kedudukan yang telah diberikan oleh Allah kepada kedudukan yang hanya patut bagi Allah semata, berupa beristighatsah kepada mereka saat ditimpa kesusahan, thawaf di kubur mereka, ngalap berkah dengan kubur mereka, menyembelih kurban di kubur mereka dan memohon bantuan kepada mereka.

(Dan telah terbukti bahwa) setan memasukkan syirik kepada kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam melalui pintu ini, yakni ghuluw terhadap orang-orang shalih. Karena itu, pintu ini patut diwaspadai, sekalipun maksudnya adalah baik.

Apa yang menimpa kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam telah menimpa umat ini, di mana setan mengajak sebagian kaum Muslimin yang tidak berilmu untuk bersikap ghuluw dan berbuat bid’ah dalam kemasan mengagungkan orang-orang shalih dan mencintai mereka, agar setan bisa menjerumuskan mereka ke dalam syirik sebagaimana dia berhasil menjerumuskan kaum Nuh ke dalamnya.

Setan terus berbisik di telinga para pemuja kubur dan menyusupkan kepada mereka bahwa mendirikan bangunan lalu i’tikaf di atas kubur orang-orang shalih berarti mencintai orang-orang shalih tersebut, bahwa berdoa di kubur mereka mustajab, kemudian setan membawa mereka untuk berdoa dan bertawasul dengan penghuninya, bila mereka sudah terbiasa demikian, maka setan membawa mereka untuk berdoa kepada penghuni kubur, beribadah kepada mereka, memohon syafa’at kepada mereka selain Allah, sehingga kubur orang-orang shalih menjadi berhala, lampu-lampu semprong dipasang di atasnya, kain-kain putih dihamparkan menutupinya, orang-orang datang thawaf di sekitarnya, lalu mereka mengusap dan menciumnya.

Bila mereka sudah melakukannya, maka setan mengajak mereka untuk menyembah kubur-kubur tersebut, menjadikannya sebagai tempat ibadah dan perayaan rutin. Bila mereka sudah terbiasa melakukannya, dan ia pun bersemayam di dalam jiwa mereka, maka setan membisiki mereka bahwa siapa pun yang melarang perbuatan tersebut, berarti merendahkan dan membenci para wali, menuduh para wali tidak memiliki kehormatan dan kemuliaan, sehingga hal ini mewabah dalam hati dan jiwa orang-orang bodoh lagi dungu, bahkan sebagian orang yang menisbatkan diri kepada ilmu agama, hingga mereka pun memusuhi orang-orang yang bertauhid, menuduh orang-orang yang bertauhid dengan tuduhan-tuduhan berat, membuat masyarakat menjauh dari orang-orang yang bertauhid, dan mereka melakukan semua itu dengan berkedok mencintai orang-orang shalih dan memuliakan mereka.

Sungguh mereka telah berdusta dalam hal ini, mencintai orang-orang shalih yang benar adalah mencintai sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah. Hal itu dengan mengakui keutamaan mereka, meneladani amal-amal shalih mereka, tanpa berlebih-lebihan dan menyepelekan,

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka berdoa, Wahai Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang‘.” (Al-Hasyr: 10).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Setiap orang yang bersikap ghuluw terhadap orang hidup atau orang shalih, memberinya sebagian sifat uluhiyah seperti dia berkata, ‘Wahai sayyidi fulan, ampunilah aku, rahmatilah aku’, atau ‘tolonglah aku’, atau ‘berilah aku rizki’, atau ‘tolonglah aku’, atau ‘lindungilah aku’, atau ‘aku bertawakal kepadamu’, atau ‘engkau adalah pencukupku’, atau ‘aku dalam kecukupanmu’, atau kata-kata seperti ini, atau perbuatan yang merupakan kekhususan rububiyah yang hanya pantas bagi Allah semata, semua ini merupakan syirik dan sesat, pelakunya wajib dituntut bertaubat, bila dia bertaubat, (maka itu yang seharusnya), bila tidak, maka dihukum mati. Hal itu karena Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab agar kita menyembahNya Semata, tidak ada sekutu bagiNya, tidak menjadikan tuhan lain bersamaNya.

Orang-orang yang menyembah tuhan-tuhan lain bersama Allah, seperti matahari, rembulan, al-Masih, para malaikat; mereka tidak meyakini bahwa makhluk-makhluk tersebut menciptakan atau menurunkan hujan atau menumbuhkan tanaman, akan tetapi mereka menyembah para nabi, para malaikat, bintang-bintang, jin, berhala-berhala yang berwujud mereka atau menyembah kuburan mereka dan mereka berkata,

مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى

Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Az-Zumar: 3).

Mereka berkata, ‘Mereka (yang kami sembah) itu adalah para pemberi syafa’at kami di sisi Allah.’ Allah Ta’ala mengutus para RasulNya untuk melarang berdoa kepada siapa pun kecuali kepada Allah, baik doa ibadah atau doa istighatsah.” (Majmu’ al-Fatawa, 3/395).

Ini membongkar kedok para pemuja kubur, yang beralasan dalam membolehkan perbuatan mereka, bahwa mereka tidak meyakini para wali yang mereka sembah itu berserikat dengan Allah dalam penciptaan, rizki, menghidupkan dan mematikan, akan tetapi mereka meyakini bahwa para wali yang mereka puja itu hanya perantara antara mereka dengan Allah dalam mengabulkan hajat-hajat mereka dan mengangkat kesulitan-kesulitan mereka. Inilah syubhat orang-orang musyrik jahiliyah dahulu sebagaimana yang Allah sebutkan dalam al-Qur’an dan membantahnya.

Realita berkata bahwa syirik orang-orang sekarang lebih parah dibandingkan syirik orang-orang jahiliyah dahulu. Orang-orang sekarang memanggil orang-orang mati dalam setiap kesempatan, tidak menyebut Nama Allah kecuali sedikit, yang mengalir di lisan mereka adalah nama wali fulan. Sedangkan orang-orang dahulu, mereka berbuat syirik hanya saat makmur, tetapi saat susah mereka ikhlas, tetapi orang-orang sekarang melakukannya dalam kedua keadaan. Imam Muhammad bin Ali ash-Shan’ani rahimahullah berkata,

وَكَمْ هَتَفُوْا عِنْدَ الشَّدَائِدِ بِاسْمِهَا  *  كَمَا يَهْتِفُ الْمُضْطَرُّ بِالصَّمَدِ الْفَرْدِ

Betapa sering mereka memanggil-manggil namanya saat susah

Sebagaimana orang yang susah memanggil Dzat tempat bergantung segala sesuatu lagi Maha Esa.

Wahai ulama kaum Muslimin, kalian bertanggung jawab atas rombongan yang tersesat dari kebenaran yang terjerumus ke dalam kebinasaan ini. Mengapa kalian tidak menjelaskan jalan kebenaran, melarang mereka berbuat syirik, padahal kalian tinggal bersama mereka dan bergaul dengan mereka?

Mengapa kalian menelantarkan apa yang Allah Ta’ala wajibkan atas kalian, yaitu berdakwah dan menjelaskan dalam FirmanNya,

وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ

Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab (yaitu), Hendaklah kalian benar-benar menerangkannya (isi Kitab itu) kepada manusia, dan janganlah kalian menyembunyikannya’.” (Ali Imran: 187).

Bukankah ulama adalah pewaris para nabi, sedangkan para nabi datang untuk mengingkari syirik dan berjihad melawan penganutnya agar seluruh agama hanya milik Allah?

Bertakwalah kalian kepada Allah Ta’ala yang telah membebankan kewajiban ini di atas pundak kalian dan Dia akan bertanya kepada kalian tentangnya. Dalam hadits shahih disebutkan, bahwa ulama yang tidak mengamalkan ilmunya adalah orang pertama yang dibakar api neraka pada Hari Kiamat. (Lihat Shahih Muslim, no. 1905 dan Sunan at-Tirmidzi, no. 2382 dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Bila kalian melihatnya sebagai syirik lalu kalian membiarkannya, maka perkaranya berbahaya. Bila kalian tidak melihatnya sebagai syirik, maka perkaranya lebih berbahaya, karena kalian sendiri tidak tahu tentang sesuatu yang lebih jelas dari hal-hal yang jelas.

Ya Allah, perbaikilah keadaan kaum Muslimin, bimbinglah yang tersesat dari mereka. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.

 

Referensi:

Panduan Lengkap Membenahi Akidah Berdasarkan Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Darul Haq, Jakarta, Cetakan IV, Shafar 1441 H/ Oktober 2019 M.