Definisi

 

Secara Bahasa (etimologi)

Marfu’ adalah isim maf’ul (objek) dari kata kerja رَفَعَ (mengangkat) وَضَعَ (meletakkan atau merendahkan), maka seolah-olah hadits ini dinamakan dengan hadits Marfu’ dikarenakan ia dinisbatkan/disandarkan kepada pemilik kedudukan yang tinggi, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

 Secara Istilah (terminologi)

Hadits Marfu’ adalah apa-apa yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan (persetujuan) maupun sifat.

 

Penjelasan Definisi

Maksudnya, ia (hadits Marfu’) adalah apa-apa yang dinisbatkan atau sandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sama saja apakah yang disandarkan itu berupa ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau perbuatan beliau, atau penetapan (pengakuan) beliau ataupun sifat beliau. Dan sama saja apakah yang menisbatkan atau menyandarkan adalah seorang Shahabat atau yang dibawahnya (Tabi’in dan yang lainnya), baik sanadnya muttashil (bersambung) ataupun munqathi’ (terputus). Maka masuk ke dalam kategori hadits Marfu’ hadits Maushul, hadits Mursal (hadits yang disandarkan oleh Tabi’in kepada Nabi), hadits Muttashil (sanadnya bersambung) dan hadits Munqathi’ (sanadnya terputus).

Ini adalah pendapat yang masyhur mengenai hakekat hadits Marfu’, dan masih ada pendapat-pendapat yang lain seputar hakekat hadits Marfu’ dan definisinya. Di antaranya pendapat imam al-Khaththabi yang menolak hadits Mursal masuk ke dalam kategori hadits Marfu’.

 

Macam-macam Hadits Marfu’ dan Contohnya

Dari definisi di atas nampaklah bagi kita bahwa hadits Marfu’ ada empat macam:

  1. Al-Marfu’ al-Qauli (Marfu’ yang berupa ucapan). Misalnya, apabila seorang Shahabat atau yang lainnya mengatakan:”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda demikian dan demikian…

 

  1. Al-Marfu’ al-Fi’li (Marfu’ yang berupa perbuatan) Misalnya, apabila seorang Shahabat atau yang lainnya mengatakan:”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan demikian dan demikian…

 

  1. Al-Marfu’ al-Taqriri (Marfu’ yang berupa persetujuan). Misalnya terjadi suatu perbuatan di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau salah seorang Shahabat melakukan sesuatu di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau tidak mngingkari perbuatan tersebut. dan sebagian ulama telah memasukan jenis ini ke dalam kategori hadits Marfu’ hukman (secara hukum), karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak diam (mendiamkan) terhadap kemungkaran, akan tetapi pasti beliau akan menjelaskan bahwa hal itu adalah mungkar. Hal itu dikarenakan beberapa hal:

 

 

  1. Bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak takut terhadap celaan orang-orang yang suka mencela dalam menegakkan syar’at Allah, dan bahkan beliau adalah manusia yang paling berhak terhadap masalah tersebut.

 

  1. Bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam terjaga dari kesalahan dalam menyampaikan (risalah/agama Allah), maka jika beliau diam (mendiamkan) terhadap suatu perkara, itu berarti perkara tersebut adalah sebuah kebenaran.

 

  1. Bahwasanya apabila sesuatu yang didiamkan itu adalah hal yang dilarang, tentu akan turun wahyu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  yang mengabarkan kepada beliau tentang hal itu (terlarangnya perbuatan yang didiamkan tersebut).

Dan ini berbeda dengan orang-orang selain beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, karena terkadang mereka mendiamkan suatu kemunkaran dikarenakan beberapa sebab di antaranya:

 

  1. Mungkin saja ia lalai/tidak tahu perbuatan tersebut

 

  1. Takut terhadap pelaku kemunkaran, atau karena ia menyukainya

 

  1. Tidak mengetahui hukum perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kemungkaran

 

  1. Mungkin ia memiliki penafsiran yang lain terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kemungkaran tersebut, maka ia melihat bahwasanya pelaku tersebut benar, sehingga ia pun mendiamkannya. Padahal kenyataannya perbuatan tersebut tidak memiliki satu sisi kebenaran pun.

 

  1. Mungkin saja yang dilakukan oleh orang tersebut merupakan perkara Ijtihadiyyah yang di dalamnya seseorang diperbolehkan diam (tidak mengingkari) orang yang berbeda pendapat dengannya, sehingga dia pun diam terhadap perbuatan tersebut dikarenakan hal itu, bukan karena orang yang menyelisihinya itu benar. 

 

  1. Tidak merubah kemungkaran karena khawatir jika kemungkaran itu diingkari justru akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.

Keseluruhan sebab-sebab ini tidak terjadi pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

 

  1. Al-Marfu’ al-Washfi (Marfu’ yang berupa sifat). Misalnya adalah jika seseorang Shahabat atau yang lainnya mengatakan:”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang paling baik akhaknya.”

 

(Sumber: Taisir Musthalahil Hadits, Dr Mahmud ath-Thahhan, Maktabah Ma’arif hal:128-129, dengan sedikit tambahan. Diterjemahkan dan diposting oleh Abu Yusuf Sujono)