Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


من تشبه بقوم فهو منهم

“Barangsiapa yang meniru satu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.”(HR. Abu Dawud dishahihkan oleh Ibnu Hibban)

Tasyabuh secara bahasa adalah meniru, maka jika anda meniru orang lain di dalam ucapannya, perbuatannya atau dalam semua urusannya, saat itu anda telah melakukan tasyabbuh dengannya (meniru).

Adapun makna secara syar’i atau secara istilah adalah meniru orang-orang yang hendaknya diselisihi dalam segala hal yang menjadi ciri khasnya secara mutlak (baik dengan sengaja meniru mereka atau tidak), dan dalam hal-hal yang tidak menjadi ciri khasnya dengan disertai niat/kesengajaan (untuk meniru).

Maka jika kita (kaum Muslimin) meniru ummat selain kita dari kalangan orang-orang yang Allah menginginkan kita untuk berbeda dengan mereka, dalam hal-hal yang menjadi ciri khas mereka dan dalam perkara-perkara yang khusus bagi mereka dan tidak dilakukan oleh selain mereka, maka ini adalah tasyabbuh, sama saja apakah kita sengaja untuk tasyabbuh dengan mereka ataupun tidak. Dan adapun dalam perkara yang tidak menjadi kekhususan mereka maka hukumnya kembali kepada niat si pelaku, apakah dia sengaja (berniat) melakukan tasyabbuh atau tidak.

Sebagai prolog, hendaknya kita memahami dan mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Hakiim (Mahabijaksana), ’Aliim (Mahamengetahui) dan Khabiir (Mahamengetahui dengan detail). Dia mengetahui perkara-perkara yang tersembunyi, dan Dia Mahamengetahui rahasia, yang mengetahui seluk beluk perkara secara rinci. Tidak ada seseuatu pun di langit dan di bumi ini yang tersembunyi dari ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia mengetahui apa yang telah terjadi, apa yang sedang dan akan terjadi, serta apa-apa yang belum terjadi, seandainya terjadi Dia Mahatahu bagaimana terjadinya hal itu.

Maka Allah Tabaraka wa Ta’ala Mahabijaksana dalam menetapkan taqdir-Nya, dan Mahabijaksana pula dalam syari’at dan perintah-perintah-Nya. Maka seharusnya setiap muslim menerima hukum-hukum Allah ’Azza wa Jalla yang bersifat Kauniyah, seperti jika ia terkena musibah, maka ia wajib ridha dan pasrah. Dan dia juga seharusnya menerima hukum-hukum Allah yang bersifat Syar’iyyah (hukum syar’i), Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا[(65) سورة النساء].

”Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”(QS. An-Nisaa’: 65)

Dia juga berfirman:


إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ [(51) سورة النــور]

”Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili diantara mereka ialah ucapan “Kami mendengar dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”(QS. An-Nuur’: 51)

Maka sikap inilah yang wajib dilakukan oleh setiap muslim, sama saja apakah dia mengetahui hikmah di balik syari’at (perintah dan larangan) ini atau tidak.

Setelah itu aku katakan:Di sana ada banyak hikmah yang jelas dan terang dari pengharaman Tasyabbuh dengan orang kafir dan orang-orang yang Allah haramkan kita dari meniru-niru perilaku mereka. Di antara hikmah-hikmah tersebut adalah:

Pertama:

Menutup pintu/jalan yang mengarah kepada kecintaan kepada orang-orang kafir tersebut, dan hal-hal yang menyertainya berupa menganggap baik ajaran mereka. Dan hal itu, tidak diragukan lagi bertentangan dengan iman, yang mana bersikap loyal terhadap orang musyrik adalah perkara yang diharamkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ [(22) سورة المجادلة]

”Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, ….”(QS. Al-Mujaadalah: 22)

Di samping itu Tasyabbuh dengan penampilan mereka mengarahkan kepada kecondongan hati terhadap mereka. Karena sudah diketahui bersama bahwa kecocokan pada lahiriyah menyebabkan kecockan dan keserasian di hati. Maka di sana ada hubungan sebab akibat antara lahir dengan bathin, sehingga meniru mereka di dalam berpakaian misalnya, mengakibatkan semacam keserasian dan loyalitas terhadap mereka.

Jika salah seorang dari kita misalnya memakai pakaian olahraga, maka ia akan mendapati dirinya merasa bersemangat, lincah dan gesit. Jika memakai pakaian ulama, maka ia akan mendapati dalam dirinya perasaan berwibawa. Jika memakai pakaian tentara dan prajurit, maka dia mendapati dalam dirinya perasaan kuat, tegas dan sikap-sikap seorang prajurit, tidak lembek dan juga tidak bersikap dengan sikap-sikap lain yang tidak sesuai dengan para tentara. Maka tidak diragukan lagi bahwa pakaian memiliki pengaruh, dan bahwasanya apa yang seseorang dapatkan pada lahiriyahnya, niscaya akan berpengaruh pada batiniyah dan hatinya.

Jika anda masuk ke sebuah negeri yang engkau tidak mengenal penduduknya, bahasanya, penampilan mereka berbeda dengan penampilanmu, bahasa mereka berbeda dengan bahasamu. Lalu anda duduk di sebuah aula yang besar yang di dalamnya ada orang-orang yang berbeda dengan anda dalam segala hal, dan anda adalah orang yang asing di tengah-tengah mereka, lalu masuk ke dalam aula tersebut seseorang yang memakai pakaian seperti yang anda pakai, bukankah anda akan mendapati pada diri anda kecondongan (perasaan senang) yang besar kepada orang tersebut? tidak ragu lagi pasti anda akan merasakan hal itu.

Demikian juga seandainya anda melihat di antara orang-orang yang hadir tersebut orang yang memakai jam tangan seperti jam tangan anda, peci seperti peci anda, seragam seperti seragam anda, mobil seperti mobil anda dan berpenampilan seperti anda, bukankah anda merasakan kecondongan terhadap orang tersebut, sekalipun anda berusaha untuk menguasai dirimu agar tidak menyukainya dan condong kepadanya? Tidak ragu lagi, pasti anda merasakan yang demikian.

Maka saya katakan bahwa penampilan luar berpengaruh pada keadaan bathin (jiwa), oleh sebab itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah menyebutkan bahwa manusia terkadang memiliki teman-teman di negerinya, namun terkadang ketika bertemu mereka ia tidak mengucapkan salam kepadanya dan kurang akrab terhadap mereka. Maka jika ia merantau ke negeri yang asing, dan lalu ia di sana bertemu dengan salah seorang yang berasal dari negerinya, pasti pertemuan itu akan menumbuhkan kecintaan, kerinduan, saling menyapa dan perbincangan di antara keduanya. Bukankah hal ini adalah sesuatu kenyataan? Tentu jawabannya adalah ”Ya”.

Kedua:

Supaya seorang muslim berbeda dengan kepribadian islami, dan hendaknya ia menjaga ciri khas kepribadian islaminya yang berbeda dengan orang-orang kafir. Dengan demikian tercapailah penjagaan terhadap ciri khas ummat Islam, kekhususan-kekhususan mereka dan kesempurnaan mereka. Sehingga ummat ini menjadi umat panutan/teladan bukan menjadi pengekor ummat lain. Dan ini yang pantas bagi ummat ini, karena ummat ini adalah kepala dan tidak pantas menjadi ekor dalam hal apapun. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا [(143) سورة البقرة]

”Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (ummat Islam), ummat yang wasath agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia ….”(QS. Al- Baqarah: 143)

Makna wasath adalah umat yang adil dan pilihan. Maka tidak pantas bagi ummat ini untuk lebur dengan kepribadian selain mereka, berpakaian dengan pakaian mereka dan berhias dengan akhlak dan adat mereka serta ibadah-ibadah mereka, dan akhirnya menjadi ummat yang larut bersama ummat lain, tidak memiliki kepribadian, ciri khas, dan keistimewaan-keistimewaan yang membedakan mereka dari ummat selainnya.

Ketiga:

Agar kita benar-benar yakin bahwa amalan-amalan (kegiatan) yang hanya dilakukan oleh orang-orang kafir tersebut, bisa jadi adalah amalan yang batil, ataupun kurang baik dan seorang muslim perlu mengambil kekurangan itu supaya dia tidak menjadi orang yang kurang, dan tidak perlu juga ia mengambil kerusakan yang ada pada mereka sehingga ia ikut rusak sebagaimana mereka.

Kempat:

Penyelisihan mereka adalah bentuk realisasi dari makna Bara’ (berlepas diri) dari orang kafir, dan juga tidak asing lagi bagi kita bahwa dampak penyelisihan kita terhadap mereka menumbuhkan perasaan hina dan rendah di hati-hati mereka, berbeda halnya jika kita sesuai dan mencocoki mereka, maka jiwa mereka akan merasa besar, dan mereka merasa tinggi di hadapan kita (karena mereka meyakini bahwa tidaklah kita mengikuti mereka kecuali karena kita meyakini mereka lebih baik). Dan anda tidak menemukan yang lebih benar untuk menunjukkan hal itu daripada firman Allah:


وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا [(6) سورة الجن].

”Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan”.(QS. Al- Jin: 6)

Kelima:

Dengan meninggalkan Tasyabbuh tercapailah salah satu tujuan syari’at dalam masalah ini, yaitu adanya perbedaan di antara manusia, maka bisa diketahui kalau ini adalah orang muslim, dan ini orang kafir dari tingkah lakunya, pakaiannya, dan penampilannya. Adapun jika seluruh manusia ini sama, tidak dibedakan antara orang muslim dan kafir, yang mana anda tidak menemukan perbedaan antara seorang yang beragama budha, yahudi, kristen dan agama yang lainnya, maka hal ini tidak bagus bertentangan dengan tujuan syari’at.

Tentunya masih banyak lagi hikmah di balik larangan Tasyabbuh dengan orang kafir yang belum disebutkan di sini. Namun yang terpenting bagi kita adalah menjalankan semua perintah Allah dan Rasul-Nya serta meninggalkan larangan-larangan-Nya, baik kita mengetahui hikmahnya maupun tidak. Wallahu Ta’ala A’lam Bi ash-Shwaab.

(Sumber: Disarikan dari naskah ceramah Syaikh Khalid bin ‘Utsamn as-Sabt hafizhahullah tentang Tasyabbuh. Diterjemahkan dan diposting oleh Abu Yusuf Sujono)