Hujan adalah Kenikmatan

Sesungguhnya diturunkannya hujan merupakan salah satu bentuk kenikmatan. Bahkan termasuk kenikmatan yang sangat agung. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– karuniakan nikmat tersebut kepada hamba-hamba-Nya dan Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– menyanjung nikmat-Nya tersebut di dalam kitab-Nya, seraya berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ. الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا للهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 21-22)

Dan sesungguhnya di antara hal yang menunjukkan akan agungnya kenikmatan air hujan ini adalah beragam sifat yang Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– sematkan pada nikmat tersebut di dalam kitab-Nya. Terkadang Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– menyifati air hujan tersebut dengan ‘keberkahan’. Terkadang pula Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– menyifatinya dengan ‘kebersihan’. Terkadang pula Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– menyifatinya dengan bahwa air hujan tersebut merupakan ‘sebab kehidupan.’ Dan masih ada beberapa sifat baik lainnya yang disematkan-Nya kepada nikmat-Nya nan agung ini.

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا

“Dan dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah.” (Qaaf: 9)

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga berfirman,

وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا

“Dan Kami turunkan dari langit air yang sangat bersih.” (al-Furqan: 48)

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga berfirman,

وَاللهُ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ

“Dan Allah menurunkan air (hujan) dari langit dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi yang tadinya sudah mati. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran).” (an-Nahl: 65)

Jadi, hujan adalah karunia nan agung, sebagai mana Al-Khattobi mengatakan, “Air hujan yang mengalir adalah suatu karunia.” (Syarh al-Bukhari, 5/18)

Kesyukuran dengan Amalan

Oleh karena hujan merupakan kenikmatan, maka seorang hamba yang mendapatkannya, harus menjadikan dirinya mengingat sang pemberi nikmat tersebut dan bersyukur kepada-Nya dan mensyukuri nikmat-Nya, tidak mengingkari-Nya dan tidak mengingkari nikmat-Nya. Sebagaimana halnya ketika ia mendapatkan berbagai macam bentuk karunia-Nya yang lainnya. Sebagaimana yang Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– perintahkan kepadanya,

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

“Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” (al-Baqarah: 152)

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.” (al-Baqarah: 172)

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- juga berfirman,

فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.” (an-Nahl: 114)

Dan kesyukuran seorang hamba kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– dan nikmat-Nya di antaranya dapat diwujudkan dengan amalan. Yakni, mengerjakan amalan yang diperintahkan atau dianjurkan terkait dengan kenikmatan tersebut, atau dengan meninggalkan perkara yang terlarang terkait dengan kenikmatan tersebut.

Berikut adalah beberapa amalan sebagai salah satu wujud dari kesyukuran seorang hamba terkait nikmat hujan.

Pertama: Takut datangnya adzab ketika mendung

Mendung boleh jadi membawa nikmat dan boleh jadi membawa adzab. Ketika muncul mendung, Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَسَلَّمَ- begitu khawatir, jangan-jangan akan datang adzab dan kemurkaan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى–.

Dari Aisyah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا-, ia berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأى نَاشِئاً فِي أُفُقٍ مِنْ آفَاقِ السَّمَاءِ تَرَكَ عَمَلَهُ وَإِنْ كَانَ فِي صَلَاةٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ فَإِنْ كَشَفَهُ اللهُ حَمِدَ اللهَ وَإِنْ مَطَرَتْ قَالَ: ( َللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا)

“Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَسَلَّمَ- apabila melihat awan (yang belum berkumpul sempurna) di salah satu ufuk langit, beliau meninggalkan aktivitasnya–meskipun dalam shalat-kemudian beliau kembali melanjutkan aktivitasnya lagi (jika hujan sudah selesai). Ketika awan tadi telah hilang, beliau memuji Allah. Namun, jika turun hujan, beliau mengucapkan, “ Ya Allah! Jadikanlah hujan ini sebagai hujan yang bermanfaat.” (HR. al-Bukhari di dalam Adabul Mufrad, no. 686)

Aisyah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا- berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَى مَخِيْلَةً فِي السَّمَاءِ أَقْبَلَ وَأَدْبَرَ وَدَخَلَ وَخَرَجَ وَتَغَيَّرَ وَجْهُهُ فَإِذَا أَمْطَرَتْ السَّمَاءُ سُرِّيَ عَنْهُ فَعَرَّفَتْهُ عَائِشَةُ ذَلِكَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَدْرِي لَعَلَّهُ كَمَا قَالَ قَوْمٌ {فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ} الْآيَةَ

Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَapabila melihat mendung di langit, beliau beranjak ke depan, ke belakang atau beralih masuk atau keluar, dan berubahlah raut wajah beliau. Apabila hujan turun, beliau mulai menenangkan hatinya. Aisyah sudah memaklumi jika beliau melakukan seperti itu. Lalu, Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ mengatakan, “Aku tidak mengetahui apa ini, seakan-akan inilah yang terjadi (pada kaum ‘Aad) sebagaimana Allah berfirman (yang artinya), “Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka.” (al-Ahqaf:24) (HR. al-Bukhari, no. 3206)

Ibnu Hajar -رَحِمَهُ اللهُ- mengatakan, “Hadis ini menunjukkan bahwa seharusnya seseorang menjadi gundah gulana pikirannya jika ia mengingat-ingat apa yang terjadi pada umat di masa silam dan ini merupakan peringatan agar ia selalu merasa takut akan adzab sebagaimana ditimpakan kepada mereka yaitu umat-umat sebelumnya.” (Fathul Baari, 6/301)

Intinya, mendung kadang membawa berkah hujan dan kadang pula membawa bencana sebagaimana yang menimpa kaum ‘Aad.

Kedua: Doa ketika turun hujan sebagai rasa syukur kepada Allahسُبْحَانَهً وَتَعَالَى-.

Apabila Allah سُبْحَانَهً وَتَعَالَىmemberi nikmat hujan, dianjurkan bagi seorang muslim-dalam rangka bersyukur kepada Allah سُبْحَانَهً وَتَعَالَى untuk membaca doa,

اَللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا

 Ya Allah! Turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat.”

Itulah yang Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ucapkan ketika melihat turunnya hujan. Hal ini berdasarkan hadis dari Ummul Mukminin, Aisyah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا-,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا

Nabi –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan, “Ya Allah! Jadikanlah hujan ini sebagai hujan yang bermanfaat. (HR. al-Bukhari no. 1032, Ahmad no. 24190, dan an-Nasai no. 1523)

Ibnu Baththol -رَحِمَهُ اللهُ- mengatakan, “Hadis ini berisi anjuran untuk berdoa ketika turun hujan agar kebaikan dan keberkahan semakin bertambah, begitu pula semakin banyak kemanfaatan.“ (Syarh al-Bukhari, 5/18)

Ketiga : Turunnya hujan, kesempatan terbaik untuk memanjatkan doa

Ibnu Qudamah -رَحِمَهُ اللهُ- di dalam al-Mughni (2/294) mengatakan, “Dianjurkan untuk berdoa ketika turunnya hujan sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

“Carilah doa yang mustajab pada tiga keadaan: (1) Bertemunya dua pasukan, (2) menjelang shalat dilaksanakan, dan (3) saat hujan turun.” (Dikeluarkan oleh imam Syafi’i dalam al-Umm dan al-Baihaqi dalam Al-Ma’rifah dari Makhul secara mursal. Syaikh al-Albani mengatakan bahwa hadis ini shahih. Lihat, Shahihul Jaami’ no. 1026)

Begitu juga terdapat hadits dari Sahl bin Sa’d -رضِيَ اللهُ عَنْهُ-, beliau berkata bahwa Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

ثِنْتَانِ مَا تُرَدَّانِ اَلدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ وَتَحْتَ الْمَطَرِ

“Dua doa yang tidak akan ditolak; (1) doa ketika adzan dan (2) doa ketika turunnya hujan.” (HR. al-Hakim dan al-Baihaqi. Syaikh al-Albani  mengatakan bahwa hadis ini hasan. Lihat Shahihul Jaami’ no. 3078)

Keempat: Doa ketika terjadi angin kencang

Dianjurkan bagi seorang muslim ketika terjadi angin kencang untuk membaca doa berikut sebagaimana yang disebutkan dalam hadis dari Aisyah -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا-, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- mengucapkan ketika itu:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فِيهَا وَخَيْرَ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا فِيهَا وَشَرِّ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ

“Ya, Allah! Aku memohon kepada-Mu baiknya angin ini dan kebaikan yang ada padanya, dan aku memohon kebaikan dari yang diutus dengannya. Aku berlindung kepada-Mu dari buruknya angin ini, dan keburukan yang ada padanya dan aku berlindung dari keburukan yang diutus dengannya.” (HR. Muslim no. 899)

Kelima: Doa ketika mendengar suara petir

Dari Ikrimah mengatakan bahwasanya Ibnu Abbas -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- tatkala mendengar suara petir, beliau mengucapkan,

سُبْحَانَ الَّذِي سَبَّحَتْ لَهُ

“Maha suci Allah yang petir bertasbih kepada-Nya.”

Lalu, beliau mengatakan, ‘Sesungguhnya petir adalah malaikat yang meneriaki (membentak) untuk mengatur hujan sebagaimana penggembala ternak membentak hewannya (Adabul Mufrad no. 72. Syaikh al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan.)

Apabila Abdullah bin Zubair -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- mendengar petir, dia menghentikan pembicaraan, kemudian mengucapkan,

سُبْحَانَ الَّذِي يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلَائِكَتُهُ مِنْ خِيْفَتِهِ

“Mahasuci Allah yang petir dan para malaikat bertasbih dengan memuji-Nya karena rasa takut kepada-Nya.”

Kemudian beliau mengatakan,

إِنَّ هَذَا لَوَعِيْدٌ شَدِيْدٌ لِأَهْلِ اْلأَرْضِ

Sesungguhnya ini merupakan ancaman yang sangat keras untuk penduduk bumi.” (Adabul Mufrad no, 723. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini shahih)

Keenam: Mengambil berkah dari air hujan

Anas bin Malik -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- berkata, “Kami pernah kehujanan bersama Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Lalu Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– menyingkap bajunya hingga terguyur hujan. Kemudian kami mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan demikian?” Kemudian Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bersabda,

لِأَنَّهُ حَدِيْثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ تَعَالَى

“Karena hujan ini baru saja Allah ciptakan.” (HR. Muslim no. 898)

An-Nawawi -رَحِمَهُ اللهُ- menjelaskan, “Makna hadis ini adalah hujan itu rahmat, yaitu rahmat yang baru saja diciptakan oleh Allah ta’ala. Oleh karena itu, Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bertabaruk (mengambil berkah) dari hujan tersebut.” (Syarh Muslim, 6/195)

An-Nawawi -رَحِمَهُ اللهُ- selanjutnya mengatakan, “Dalam hadis ini terdapat dalil bagi ulama Syafi’iyyah tentang dianjurkannya menyingkap sebagian badan (selain aurat) pada awal turunnya hujan, agar terguyur air hujan tersebut. Dan mereka juga berdalil dari hadis ini bahwa seseorang yang tidak memiliki keutamaan, apabila melihat orang yang lebih berilmu melakukan sesuatu yang ia tidak ketahui, hendaknya ia menanyakannya untuk diajari lalu dia mengamalkannya dan mengajarkannya pada yang lain.” (Syarh Muslim, 6/196)

Dalam hal mencari berkah dengan air hujan dicontohkan pula oleh sahabat Ibnu Abbas -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-. Abu Mulaikah mengatakan,

أَنَّهُ كَانَ إِذَا مَطِرَتِ السَّمَاءُ يَقُوْلُ يَا جَارِيَةُ أَخْرِجِي سَرْجِي أَخْرِجِي ثِيَابِي وَيَقُوْلُ وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَ

“Apabila turun hujan, beliau (Ibnu Abbas) mengatakan, ‘Wahai pelayan keluarkanlah pelanaku, keluarkanlah pula bajuku’. dan beliau membacakan (ayat) (yang artinya), ‘Dan Kami menurunkan dari langit air yang penuh berkah (banyak manfaatnya). (Qaf: 9) (Adabul Mufrad no. 1228).

Ketujuh: Tidak boleh mencela hujan

Sungguh sangat disayangkan sekali, setiap orang sudah mengetahui bahwa hujan merupakan nikmat dari Allah ta’ala. Namun, ketika hujan dirasa mengganggu aktivitasnya, timbullah kata-kata celaan, “Aduh!! hujan lagi, hujan lagi.”

Perlu diketahui bahwa setiap ucapan, baik yang  bernilai dosa atau tidak bernilai dosa dan pahala, semua akan masuk dalam catatan malaikat. Allah -سُبْحاَنَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaaf: 18)

Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-juga bersabda,

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَرْفَعُهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّم

“Sesungguhnya ada seorang hamba berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dia pikirkan lalu Allah mengangkat derajatnya disebabkan perkataannya itu. Dan ada juga seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang membuat Allah murka dan tidak pernah dipikirkan bahayanya lalu Allah melemparkan dia ke dalam neraka Jahannam disebabkan perkataannya itu.” (HR. al-Bukhari no. 6478)

Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- telah menasihatkan kepada kita agar jangan selalu menjadikan makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa sebagai ‘kambing hitam’ jika kita mendapatkan sesuatu yang tidak kita sukai. Seperti beliau melarang kita mencela waktu dan angin karena kedua makhluk tersebut tidak dapat berbuat apa-apa.

Dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ بِيَدِي الْأَمْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

“Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.” (HR. al-Bukhari no. 4826 dan Muslim no. 2246)

Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- juga bersabda,

لَا تَسُبُّوْا الرِّيْحَ

“Janganlah kamu mencaci maki angin.” (HR. at-Tirmidzi no. 2252)

Dari dalil di atas terlihat bahwa mencaci maki masa (waktu) dan angin adalah sesuatu yang terlarang. Begitu pula halnya dengan mencaci maki makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa, seperti mencaci maki angin dan hujan adalah terlarang.

Intinya, mencela hujan tidak terlepas dari hal yang terlarang, karena orang yang mencela hujan sama saja mencela Pencipta hujan yaitu Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-. Ini juga menunjukkan ketidaksabaran pada diri orang yang mencela. Sudah seharusnya lisan ini selalu dijaga. Jangan sampai kita mengeluarkan kata-kata yang dapat membuat Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- murka. Semestinya yang dilakukan ketika turun hujan adalah banyak bersyukur kepada-Nya.

Kedelapan : Berdoa setelah turunnya hujan

Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, ia berkata, ‘Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– melakukan shalat Shubuh bersama kami di Hudaibiyah setelah hujan turun pada malam harinya. Tatkala hendak pergi, beliau menghadap jama’ah shalat, lalu mengatakan, “Apakah kalian mengetahui apa yang dikatakan Rabb kalian?” Kemudian mereka mengatakan, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Kemudian Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bersabda,

أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي وَمُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ

Pada pagi hari, di antara hamba-Ku ada yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir. Siapa yang mengatakan, ‘Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah’, maka dialah yang beriman kepada-Ku dan kufur terhadap bintang-bintang. Sedangkan yang mengatakan, ‘Kami diberi hujan karena sebab bintang ini dan ini), maka dialah yang kufur kepada-Ku dan beriman pada bintang-bintang. (HR. al-Bukhari no. 846 dan Muslim no. 71)

Dari hadis ini terdapat dalil untuk mengucapkan, ‘مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ’ (Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah) setelah turun hujan sebagai tanda kesyukuran atas nikmat hujan yang diberikan.

Semoga Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- memberikan taufik kepada kita, membantu kita untuk mengingat-Nya, dan membantu kita pula untuk bersyukur kepada-Nya dan mensyukuri nikmat-Nya berupa hujan dan juga kenikmatan-kenikmatan-Nya yang lainnya. Amin

Wallahu A’lam

(Redaksi)

Sumber:

1-Ni’matul Amthor, Ahmad bin Husain al-Faqihi

2-Panduan amal shalih di musim hujan, Muhammad Abduh Tuasikal