celaNabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki kedudukan yang tinggi dan istimewa di sisi Allah  Ta’ala dan di hati kaum Muslimin. Bahkan Allah Ta’ala memberikan kepada beliau hak-hak istimewa yang tidak diberikan kepada selain beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu,  Allah Ta’ala memberikan hukuman yang “tegas” bagi orang-orang yang berani mencela dan merendahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mencela Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam hukumnya haram, dan termasuk salah satu pembatal keislaman seseorang. Jika ia seorang muslim dihukumi murtad atau keluar dari Islam, zindiq dan munafik. Syaikh Syinqithi Rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa tidak menghormati Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, merendahkan,  meremehkan, melecehkan, atau menghina beliau- adalah perbuatan riddah (keluar) dari Islam dan kufur terhadap Allah Ta’ala. Dan Allah Ta’ala telah berfirman tentang orang-orang yang menghina Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dan melecehkan beliau pada perang Tabuk ketika binatang tunggangan mereka hilang, artinya, “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. ..” (QS. at-Taubah: 65-66).” (Adwa’ul Bayan, 7/403-404).
Bentuk-bentuk perbuatan menghina dan mencela Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai berikut,
1. Menghina dan mencela Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam secara langsung
Qadhi al-‘Iyadh Rahimahullah (wafat th. 544 H) berkata, “Ketahuilah semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada kami dan Anda, bahwa semua orang yang mencela Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam atau menghinanya, atau menyandarkan sifat kekurangan kepada diri, atau nasab, atau agama, atau salah satu sifat di antara sifat-sifat beliau n, atau menyindir beliau, atau menyerupakan beliau dengan sesuatu dalam konteks penghinaan kepada beliau, atau meremehkan, atau menyepelekan keadaan, atau merendahkan, atau mencacati beliau, maka ia adalah pencela beliau. Dan hukumnya termasuk hukum orang yang mencela, yaitu dibunuh sebagaimana akan kami jelaskan.”(Asy-Syifa Bita’rifi Huququl Mushthafa, 2/473).
Jadi barangsiapa yang menjuluki Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan julukan-julukan yang mengandung makna celaan, seperti, mengatakan bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam  “haus wanita”, pedofili, “hobi perang” dan lain-lain. Demikian juga orang-orang yang membuat karikatur Nabi atau kartun beliau maka hukumnya sama seperti mencela Nabi secara langsung.
2. Mencela sunnah
Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh hafizhahullah di dalam syarah kitab Tauhidnya berkata, “Adapun jika penghinaan (celaan) terhadap sesuatu di luar hal itu (Allah, Nabi dan al-Qur’an, ed) maka ada perincian; jika memperolok-olok (menghina) agama, maka dilihat apakah yang ia maksudkan  adalah mencela agama Allah atau yang ia maksudkan mencela cara beragama seseorang? Contohnya ada seseorang mencela penampilan seseorang, dan penampilan tersebut adalah salah satu bentuk iltizam (berpegang teguh) dengan sunnah (tuntunan) Nabi. Apakah orang ini dihukumi sebagai orang yang menghina dengan sebuah penghinaan yang mengeluarkannya dari agama? Jawabnya, “Tidak, karena penghinaan ini ditujukan kepada tatacara beragama orang tersebut, bukan tertuju kepada agama sama sekali. Lalu dijelaskan kepada orang tersebut bahwa tatacara ini adalah sunnah (tuntunan) dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam. Jika ia sudah tahu hal itu sunnah, dan ia mengakuinya dan bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam melakukannya kemudian ia menghinanya –dalam arti meremehkan atau menghina orang yang mengikuti sunnah Nabi padahal dia tahu kalau hal itu sunnah, dan mengakui kebenarannya sebagai sunnah Nabi maka hal ini termasuk celaan terhadap Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam.” (at-Tamhid Syarh Kitab at-Tauhid, 482).
3. Mencela dan menghina istri-istri Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam
Mencela istri-istri beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam, terutama ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha tergolong celaan terhadap Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam. Para ahli fiqih sepakat bahwa barangsiapa yang menuduh zina terhadap ‘Aisyah Radhiyallahu anha, maka ia telah mendustakan nash yang turun berkaitan dengan haknya Radhiyallahu anha. Dan orang tersebut dihukumi kafir, tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.  Allah Ta’ala berfirman dalam Haditsul Ifki setelah Dia Ta’ala membersihkannya dari tuduhan zina tersebut, artinya, “Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. an-Nur:17).
Oleh karena itu, barangsiapa yang kembali melakukannya, bukanlah orang yang beriman. (al-Ma’ushu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 22/185, yang disarikan dari ash-Sharimu al-Maslul).
Abu Sa’ib al-Qadhi Rahimahullah berkata, “Pada suatu hari aku pernah berada di majelis al-Hasan bin Zaid seorang da’i di Thibristan, dan di hadapan beliau ada seorang laki-laki yang menyebut-nyebut ‘Aisyah Radhiyallahu anha dengan sebutan yang buruk  berupa perbuatan keji (zina), maka beliau berkata, ‘Wahai pembantuku, penggallah lehernya. “Lalu orang-orang ‘Alawiyyun berkata, ‘Laki-laki ini adalah dari Syi’ah (penolong atau pembela atau golongan) kita.’ Beliau Rahimahullah berkata, “Aku berlindung kepada Allah, lelaki ini telah mencela (menghina) Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam, karena  Allah Ta’ala berfirman, artinya, “Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka(yang di tuduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (yaitu Surga).” (QS. an-Nur: 26).
Jika ‘Aisyah Radhiyallahu anha buruk dan tidak baik, berarti Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam buruk. Lelaki ini kafir, penggallah lehernya! Lalu mereka membunuh lelaki itu dan aku menyaksikannya. Diriwayatkan oleh al-Lalika’i.” (ash-Sharim al-Maslul, hal. 566)
4. Mencela dan Menghina Ahli Bait
Imam Ibnu Hajar al-Haitami Rahimahullah membawakan riwayat dari Abu Mush’ab Rahimahullah dari Imam Malik Rahimahullah, “Barangsiapa mencela Alu bait (keluarga) Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dipukul dengan pukulan yang menyakitkan, dipermalukan dan ditahan (dipenjara) dalam waktu yang lama hingga bertobat, karena hal itu adalah sikap menyepelekan (meremehkan) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.” (ash-Shawa’iq al-Muhriqah, hal. 144)
5. Mencela Shahabat
Di antara bentuk mencela Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah mencela shahabat beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin Rahimahullah berkata, “Sesungguhnya mencela Shahabat Radhiyallahu anhum bukan hanya celaan kepada mereka saja, akan tetapi juga celaan terhadap para Shahabat, Nabi, syari’at dan Dzat Allah Ta’ala.”
Kemudian beliau Rahimahullah menjelaskan kenapa celaan terhadap sahabat tergolong celaan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu karena shahabat beliau adalah orang kepercayaan dan penerus beliau untuk menjaga umatnya dari kejahatan makhluk. Dan bahwa hal itu adalah sikap mendustakan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam pada apa-apa yang beliau kabarkan tentang keutamaan dan kelebihan mereka Radhiyallahu anhum. (Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin 8/616)
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mencela sahabat. Ada yang mengkafirkan secara mutlak dan mengatakan pelakunya dihukum bunuh. Ada pula yang mengatakan tidak kafir secara mutlak tanpa memandang siapa sahabat yang dicela dan hukuman bagi pelakunya adalah di penjara sampai ia bertobat atau mati. Sebagian lagi mengatakan bahwa pencela Abu Bakar dan ‘Umar Radhiyallahu anhuma saja yang dihukumi kafir, sedangkan pencela shahabat selain keduanya tidak kafir.
Sanksi untuk Para Pencela
Jika celaan terhadap Nabi datangnya dari seorang yang mengaku Islam, maka hukumnya adalah dibunuh. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah  berkata, “Sesungguhnya si pencela, jika ia seorang Muslim, maka ia menjadi kafir dan (hukumannya) dibunuh, tanpa ada perbedaan pendapat. Dan ini adalah pendapat imam empat dan selain mereka.”(ash-Sharim al-Maslul, hal. 4).
Sedangkan jika celaan itu datang dari kafir dzimmi maka jumhur ulama mengatakan bahwa hukuman bagi pelakunya adalah hukum bunuh menurut pendapat yang lebih kuat. Dan itu adalah pendapat tiga imam; Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad Rahimahumullah (Subulus Salam dan ash-Sharimul Maslul)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Dan jika ia (si pencela), seorang dzimmi, maka ia dibunuh sesuai pendapat Malik dan ahli Madinah, dan akan datang penyebutan lafazh-lafazh ucapan mereka. Dan ini adalah pendapat Ahmad dan ahli fikih dari kalangan ahli hadits.”(ash-Sharim al-Maslul, hal. 4)
Namun yang perlu menjadi perhatian bahwa yang menerapkan dan menegakkan hukuman tersebut adalah pemerintah kaum Muslimin, bukan pribadi-pribadi, atau kelompok, atau golongan tertentu. Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata, “Tidak diperkenankan menegakkan hudud (hukuman) selain imam (penguasa) atau yang mewakilinya.” (Lihat Umdatul Fiqhi, 1/145).
Dan kewajiban masing-masing kaum muslimin ketika mendengar atau melihat orang yang mencela, menghina dan meremehkan Nabi hanyalah melaporkan kepada pihak yang berwenang (pemerintah) agar memberikan hukuman kepada orang tersebut. Kewajiban pemerintah adalah bersikap tegas terhadap orang-orang yang mencela dan menghina Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, supaya tidak ada pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok tertentu yang  “bertindak sendiri” di luar tanggung jawab mereka.
Demikian sekilas tentang hukum menghina Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. (Ustadz Sujono)
[Sumber: Disadur dari berbagai sumber]