ijma-ulamaUlama kalam (ulama yang mengunakan akal dalam menetapkan masalah-malah aqidah) mereka melarang dan menolak secara mutlak dalil Ijma’ dalam permasalahan aqidah, dengan dalil bahwa masalah-masalah aqidah adalah masalah-masalah yang dapat diketahui dengan jalan akal, yaitu dengan apa yang ditunjukan oleh akal, yang tidak membutuhkan bersamanya dalil yang lain, seperti ijma dan selainnya. Ini karena dalil akal (menurut mereka) adalah pasti, dan tidak ada tempat atau peran bagi Ijma’ dalam permasalahan ini.

Sebagian mereka membedakan antara masalah-masalah yang padanya memungkinkan terjadinya Ijma, seperti permasalahan keberadaan Sang Pencipta, kebenaran risalah para Rasul, tanda-tanda yang menunjukan mu’jizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, hal ini karena adanya keterkaitan yang kuat antara masalah-masalah yang padanya memungkinkan terjadi Ijma seperti tauhid Sang Pencipta Allah ta’ala dan keumuman perbuatanNya. (Kasyaful Asyrar: 3/251, dan selainnya)

Semua yang disebutkan di atas adalah dari kebid’ahan para ahli filsafat dan ulama-ulama kalam, yang mana mereka memasukan pemikiran tersebut kepada ulama usul. Hal tersebut dibangun atas pembagian ilmu, ilmu syar’i dan ilmu aqli (akal), dan (kata mereka) bahwa secara umum landasan agama ini berdasarkan ilmu akal, dan akal diberikan wewenang menentukan dalil secara pasti, tanpa perlu dalil syar’i. Mereka mengedepankan dalil akal dari dalil syar’i jika kedua dalil itu bertentangan. Maka jadilah akal lebih utama dan lebih mulia dari syar’i, karena benar atau tidaknya dalil syar’i ditentukan oleh akal, dan kadang-kadang mereka meriwayatkan hadits-hadits palsu (untuk mendukung pemikiran mereka tersebut).

Yang benar adalah bahwa ilmu syar’i bisa dinisbatkan kepada satu dari ketiga perkara:

1. Apa yang diperintahkan oleh pembuat syari’at (Allah)
2. Apa yang dikabarkan pembuat syari’at (Allah)
3. Apa yang disyari’atkan oleh pembuat syari’at ilmunya (Ilmu syar’i).

Adapun masalah pertama: Apa yang diperintahkan oleh pembuat syari’at (Allah dan RasulNya), maka ia terbagi menjadi (dua) yaitu ilmu dan amal, oleh sebab itu dikatakan ilmu yang disyari’atkan, dan amalan yang disyari’atkan, hukumnya wajib atau sunnah, dan memungkin masuk ke dalamnya hal-hal yang mubah. Penyandaran suatu perintah kepada syari’at dilihat dari hukum perintah itu di dalam syari’at, apakah ia terpuji, ataukah tercela, diberi ganjaran pahala, atau diberi ganjaran berupa hukuman, inilah yang disebut Khithab At-taklif.

Kedua: Apa yang dikabarkan pembuat syari’at (Allah dan RasulNya), yaitu ilmu yang didapat dari jalan syari’at, seperti apa yang diajarkan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya berupa iman, al-qur an, Al-Hikmah. Penjelasan dan dalil dalam permasalahan ini bersumber dari Al-qur an, As-Sunnah, Al-Ijma’. Penisbatannya kepada syari’at dilihat dari segi cara-cara dan dalil-dalilnya, selain itu juga dilihat dari segi sah atau rusaknya, kesesuaian dan ketidak sesuaiannya, inilah yang disebut Khithab Al-Ikhbar.

Apa yang dikabarkan oleh Allah ta’ala dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wasallam, bisa berupa sebuah pemberitahuan, atau dalil-dalil terhadap hal yang dikabarkan. Jika yang diinginkan adalah apa ditunjukan oleh pembuat syari’at –seperti dalil-dalil yang menunjukan tanda-tanda kerububiyahan, dan kenabiaan serta yang semisalnya- maka akan terkumpul padanya dalil syar’i dan dalil akali (akal), karena Allah telah memerintahkan akal untuk memperhatikan tanda-tanda kebesaran dan petunjuk-petunjuk serta mengambil pelajaran-pelajaran darinya, sehingga akal mendapatkan hidayah dan kemudian mengamalkan apa yang ditunjukan oleh Allah kepadanya.

Secara umum masalah-masalah yang berhubungan dengan usuluddin berupa pengakuan tentang keberadaan pencipta dan keesaanNya, ilmuNya, QudrahNya, kehendakNya, KeagunganNya, dan Kerasulan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, serta selainya, semua itu diketahui dengan akal. Pembuat syari’at telah menunjukan dalil-dalil akal dalam permasalahan ini, oleh sebab itu ulama ahli kalam menamakan masalah-masalah ini dengan masalah-masalah aqliyah, yaitu masalah-masalah yang diketahui dengan akal, akan tetapi permasalahan-permasalahan tersebut juga diketahui dengan syari’at, bukan sekedar pengakabarannya melalui dalil, akan tetapi apa yang ditunjukan oleh syari’at itu sebagai dalil dan petunjuk bagi akal, sehingga terbentuklah dalil akal dan bukti-buktinya. Setiap sesuatu yang dapat diketahui oleh akal, maka syari’at telah memerintahkan untuk mengunakan dalil akal dalam permasalahan itu, maka dengan ini jadilah dalil akal sebagai dalil syar’i, karena syari’atlah yang menyuruh untuk menggunakan akal.

Dengan ini jadilah ilmu mempunyai dua sumber: 1- Bersumber hanya dari syari’at, yaitu hal-hal yang hanya diketahui dari kabar wahyu, yang mana akal tidak mampu mencapainya, seperti pemasalahan yang berhubungan dengan hal-hal ghaib, hari kiamat, dan semisalnya, juga tata cara ibadah, ukurannya, waktunya, dan selainya.

2. Ilmu yang bersumber dari akal saja, seperti ilmu kedokteran, perhitungan, pabrik dan selainnya.

3. Ilmu yang bersumber dari Syari’at dan akal, yang mana syari’at menunjukan hal itu dengan dalil-dalilnya, dan akal juga mengetahui hal itu, maka jadilah dalil dalam permasalahan tersebut berupa dalil syar’i dan dalil akali.

Tiga: Ilmu yang disyari’atkan oleh pembuat syari’at (Ilmu syar’i),walaupun mungkin dapat diketahui oleh akal– ia disebut ilmu syar’i dilihat dari segi perintah pembuat syari’at untuk mempelajarinya, atau karena ilmu itu disukai olehNya.

Dengan ini maka jelaslah apa yang keluar dari penamaan ilmu syar’i disebut ilmu aqli (ilmu akal), berupa hal-hal yang tidak diperintahkan langsung oleh pembuat syari’at, dan tidak ada dalil yang menunjukan tentang hal itu, dia berjalan dan tercipta dengan pembuatan atau kreasi, seperti pertanian, pembagunan, dan selainnya, hal ini adalah ilmu-ilmu yang jauh keutamaannya dari ilmu syar’i.

[Sumber: PDFManhajul Istidlal ala Masa`il al-I’tiqad inda Ahlus Sunnah wal Jamaah, Utsman bin Ali Hasan hal: 151-153]