Kaum muslimin secara umum mengartikan la ilaha illallah dengan tidak ada Tuhan kecuali Allah. Dimaklumi, karena memang sebatas itu ilmu mereka, sebatas itu para dai atau ustadz mengartikan, padahal makna tersebut tidak cukup dan masih kurang, karena bila tidak ada Tuhan kecuali Allah, lalu bagaimana dengan tuhan-tuhan lainnya yang disembah oleh selain kaum muslimin atau bahkan oleh sebagian orang yang mengaku Islam?

Dari sini maka kita perlu memahami kandungan kalimat ini, untuk itu Anda perlu mengertinya dari sisi bahasa atau nahwu. Mungkin seseorang terkejut melihat ilmu nahwu yang masuk ke dalam penetapan tauhid, akan tetapi bila kita mengetahui bahwa i’rab (posisi kata dalam susunan kalimat) adalah cabang dari makna, maka ketakjuban tersebut akan lenyap.

Kalimat tauhid mengandung penafian dan penetapan, hanya saja penafian yaitu la ilaha bisa berupa mubtada` sehingga ia memerlukan khabar, bisa juga la adalah nafiah lil jinsi dan ilaha adalah isimnya, dengan kemungkinan ini, kalimat tetap memerlukankhabar.

Para ahli nahwu memperkirakan khabar di sini dengan maujud (ada), sehingga artinya adalah tidak ada Tuhan kecuali Allah, perkiraan ini tidak cermat, karena adanya tuhan-tuhan lain selain Allah, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “Karena itu tiadalah bermanfaat sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan mereka.” (Hud: 101), dari sini maka perkiraan yang shahih dari khabar tersebut adalah حق (yang haq, yang benar), jadi maknanya adalah tidak ada Tuhan yang benar atau yang haq kecuali Allah.

Mu’tazilah berpendapat dalam i’rab kalimat ini dengan pendapat yang berbeda dengan para ahli nahwu pada umumnya, dengan tidak menyatakan adanya perkiraan dalamkhabar secara mutlak, bukan karena alasan bahwa perkiraan khabar dengan maujud menyeret kepada kenyataan bahwa semua tuhan yang ada adalah Allah, dan ini adalah akidah ittihad, akan tetapi karena perkiraan khabar dengan maujud menafikan tuhan yang ada dan tidak menafikan jatidiri Tuhan, karena bisa jadi ada Tuhan dalam ketiadaan, karena menurut mereka ketiadaan adalah sesuatu yang ada. Adapun Ahlus Sunnah, maka mereka tidak membedakan antara tidak ada wujud dan tidak ada jatidiri.

Penulis al-Muntakhab menyanggah ahli nahwu dalam memperkirakan khabar dari la ilaha illallah, di mana mereka berkata, “Tidak ada Tuhan dalam wujud kecuali Allah.” Maka penulis al-Muntakhab berkata, “Perkiraan ini merupakan penafian terhadap wujud Tuhan, dan sudah dimaklumi bahwa penafian jatidiri lebih kuat dalam tauhid murni daripada penafian wujud, maka membiarkan kalimat ini sesuai dengan zhahirnya dan meninggalkan perkiraan tersebut lebih patut.”

Abu Abdullah Muhammad bin Abu al-Fadhl al-Mursi menjawab dalam Rayy azh-Zham`an, beliau berkata, “Ini adalah perkataan orang yang tidak mengetahui bahasa Arab, karena kata ilah berposisi sebagai mubtada` menurut pendapat Sibawaih, dan menurut selain Sibawaih sebagai isim dari la, menurut kedua pendapat, tetap harus ada khabar dari mubtada`, dan bila tidak maka apa yang mereka katakan bahwa kalimat ini tidak memerlukan perkiraan kata tersembunyi adalah rusak.”

Kemudian Abu Abdullah menyebutkan bantahan terhadap penulis al-Muntakhab bahwa tidak adanya perkiraan berarti penafian terhadap jatidiri, dia berkata, “Adapun ucapannya, ‘Bila kalimat tersebut tidak mengandung perkiraan, maka ia berarti menafikan jatidiri.’ maka ia bukan sesuatu, karena menafikan jatidiri berarti menafikan wujud, jatidiri tidak dibayangkan kecuali dengan adanya wujud, tidak ada perbedaan antara tidak ada jatidiri dengan tidak ada wujud, dan ini adalah madzhab Ahlus Sunnah, berbeda dengan Mu’tazilah, mereka menetapkan jatidiri yang lepas dari wujud. Sedangkan ucapan illallah, dalam posisi marfu’ sebagai badal dari la ilaha, ia bukan khabar dari la dan bukan pula khabar dari mubtada`.”

Syaikh Allamah Abdul Aziz bin Baz memberikan catatan atas Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah di bagian ini, beliau berkata, “Apa yang diucapkan oleh penulis al-Muntakhab tidak bagus, demikian juga yang diucapkan oleh para ahli nahwu dan didukung oleh Syaikh Abu Abdullah al-Mursi, di mana mereka semuanya memperkirakan kata tersembunyi di balik kalimat tauhid dengan في الوجود (di wujud) adalah tidak benar, karena tuhan-tuhan yang disembah selain Allah berjumlah banyak dan mereka semuanya ada.

Memperkirakan khabar dengan kata في الوجود tidak menunaikan maksud dari kalimat tauhid ini, yaitu menetapkan bahwa hanya Allah Ta’ala semata yang berhak disembah dan bahwa selain Allah adalah batil, karena perkiraan dengan kata في الوجود membuka peluang bagi seseorang untuk menyanggah, ‘Bagaimana kalian mengatakan, tidak ada Tuhan di wujud kecuali ini? Padahal Allah Ta’ala sendiri telah mengabarkan tentang adanya tuhan-tuhan yang banyak milik orang-orang musyrikin, sebagaimana dalam firmanNya, “Karena itu tiadalah bermanfaat sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah.” (Hud: 101) dan firman Allah Ta’ala, “Maka mengapa yang mereka sembah selain Allah sebagai Tuhan untuk mendekatkan diri kepada Allah tidak dapat menolong mereka.” (Al-Ahqaf: 28).

Maka tidak ada jalan untuk melepaskan diri dari sanggahan ini dan demi menetapkan keagungan kalimat ini, bahwa ia adalah kalimat tauhid yang membatalkan seluruh tuhan-tuhan kaum musyrikin dan penyembahan mereka kepadanya selain Allah, kecuali dengan menetapkan perkiraan khabar selain dari apa yang dikatakan oleh para ahli nahwu, yaitu kata haq (yang benar), karena kata inilah yang menjelaskan kebatilan segala tuhan-tuhan selain Allah dan menetapkan bahwa Tuhan yang haq dan sesembahan yang haq adalah Allah Ta’ala semata, sebagaimana hal ini telah dikatakan oleh sekumpulan ulama seperti Abu al-Abbas Ibnu Taimiyah, murid beliau Allamah Ibnul Qayyim dan lain-lainnya.

Di antara dalil-dalil yang menetapkan hal ini adalah firman Allah Ta’ala, “Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah itulah yang batil.” (Luqman: 30).

Allah Ta’ala menjelaskan dalam ayat ini bahwa Dialah yang haq dan bahwa selainNya yang disembah oleh manusia adalah batil, berarti ia mencakup seluruh tuhan-tuhan yang disembah selain Allah dari kalangan manusia, malaikat, jin dan makhluk-makhluk lainnya. Dengan itu diketahui bahwa Dialah yang patut disembah dengan haq semata. Oleh karena itu orang-orang musyrikin mengingkari kalimat ini dan mereka menolak untuk mengakuinya karena mereka mengetahui bahwa kalimat tersebut menghancurkan tuhan-tuhan mereka, karena mereka memahami maksud dari kalimat ini, bahwa ia menafikan ilahiyah dengan haq dari selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, dari sini maka mereka menjawab ajakan Nabi saw manakala beliau berkata kepada mereka, ‘Katakanlah la ilaha illallah.’ Mereka menjawab, “Apakah kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?” (Ash-Shaffat: 36) dan ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat ini. Dengan perkiraan tersebut, segala persoalan lenyap dan kebenaran yang diinginkan tersibak jelas. Dan hanya Allah pemberi taufik. Wallahu a’lam.