Manusia adalah makhluk sosial. Untuk memenuhi kebutuhannya pasti membutuhkan orang lain. Bermuamalah merupakan salah satu kunci untuk mendapatkan kebutuhan tersebut. Islam sebagai agama yang mulia, memberikan pedoman kepada umatnya tata cara bermuamalah secara baik, benar dan diridhai oleh Allah.

Lalu muamalah seperti apa yang dimaksud?

Salah satu muamalah yang paling mendasar dalam memenuhi hajat hidup manusia adalah jual beli, sebagaimana akan dijelaskan berikut:

Pengertian

Secara bahasa, berasal dari kata اَلبَيْع (al-bay’u) yang berarti mengambil dan memberikan sesuatu, dan merupakan turunan dari اَلبَاعَ (al-baa’a) yang berarti depa. Hal ini karena orang Arab terbiasa mengulurkan depa ketika mengadakan akad jual beli dan saling menepukkan tangan sebagai tanda bahwa akad telah terlaksana atau ketika mereka saling menukar barang dan uang.

Adapun secara istilah, jual beli adalah transaksi tukar menukar dan beralihnya hak kepemilikan, dan ada akad, baik ucapan maupun perbuatan.

Di dalam Fiqhus Sunnah disebutkan bahwa al-bay’u adalah transaksi tukar menukar harta yang dilakukan secara sukarela atau proses mengalihkan hak kepemilikan kepada orang lain dengan kompensasi tertentu dan dilakukan dalam koridor syariat.

Hukum

Pada dasarnya hukum jual beli adalah boleh sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 275, yang artinya “…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”

Akan tetapi hukum jual beli ini dapat berubah tergantung dari keadaan seseorang dan barang yang menjadi objek. Misal, hukum jual beli adalah wajib, yaitu dalam keadaan terpaksa, seperti kebutuhan akan makanan atau minuman, maka wajib seseorang membelinya untuk menyelamatkan jiwa dari kebinasaan dan kehancuran.

Dan terkadang hukumnya menjadi mandub (dianjurkan), seperti seseorang yang bersumpah akan menjual barang yang tidak membahayakan bila dijual. Maka dalam keadaan demikian dia di-sunnahkan melaksanakan sumpahnya. Dan terkadang hukumnya makruh, bahkan dapat menjadi haram seperti menjual barang-barang yang zatnya diharamkan dalam Islam.

Rukun

Syaikh Abdurrahman al-Jazairiy mengemukakan bahwa rukun jual beli pada dasarnya terdiri atas tiga, yakni:

1. Sighat, ialah sesuatu yang menunjukkan adanya kerelaan dari dua belah pihak, baik dari pihak penjual maupun pembeli, baik perbuatan ataupun perkataan yang dikenal dengan istilah ijab-qabul (ucapan transaksi antara penjual dan pembeli).

2. Aqid, ialah orang yang melakukan akad, baik penjual maupun pembeli.

3. Ma’qud ‘alaihi, adalah benda yang dijual ataupun alat untuk membelinya (uang)

Syarat Sah

Syarat sah dalam jual beli dapat kita bagi menjadi dua. Yang pertama, syarat sah jual beli yang terkait dengan pelaku jual beli itu sendiri, dan yang kedua, syarat sah jual beli yang menyangkut objek atau barang yang diperjualbelikan.

Syarat sah jual beli yang terkait dengan pelaku, yaitu:
– Kedua belah pihak (penjual dan pembeli) ridha dan sukarela (tanpa ada paksaan). Allah berfirman, yang artinya, “… Janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian…” (QS. an-Nisaa’: 29)

– Kedua belah pihak berkompeten dalam melakukan praktek jual beli, yakni dia adalah seorang mukallaf dan rasyid (memiliki kemampuan dalam mengatur uang), sehingga tidak sah transaksi yang dilakukan oleh anak kecil yang tidak cakap (kecuali atas izin walinya-red) dan orang gila. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa betapa adilnya agama Islam ini. Islam melindungi hak milik manusia dari kezaliman, karena seseorang yang gila, safiih (tidak cakap dalam bertransaksi) atau orang yang dipaksa, tidak mampu untuk membedakan transaksi yang baik dan yang buruk bagi dirinya sehingga dirinya sangat rawan dicurangi.

Sedangkan syarat sah jual beli yang menyangkut objek atau barang yaitu:
1. Barang (baik barang yang dijual atau harganya/uang) adalah barang yang suci dan bermanfaat, bukan barang najis atau barang yang haram, karena barang yang secara dzatnya haram terlarang untuk diperjualbelikan.

2. Barang tersebut merupakan hak milik penuh. Rasulullah bersabda, “Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud).

Akan tetapi seseorang bisa menjual barang yang bukan miliknya apabila mendapat izin dari pemilik. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya, dari Urwah diriwayatkan bahwa Nabi pernah memberinya satu dinar untuk dibelikan seekor kambing buat beliau. Lalu Urwah menggunakan uang tersebut untuk membeli dua ekor kambing. Salah satu kambing itu dijual dengan harga satu dinar, lalu ia datang menemui Nabi dengan membawa kambing tersebut dengan satu dinar yang masih utuh. Ia menceritakan apa yang dia kerjakan. Maka Nabi mendoakan agar jual belinya itu diberkati oleh Allah. (HR. al-Bukhari, no. 3642)

3. Barang yang diperjualbelikan dapat diserahterimakan, sehingga tidak sah menjual burung yang terbang di udara, unta atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan semisalnya.

4. Barang yang diperjualbelikan dan jumlah pembayarannya diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak. Dari sahabat Abu Hurairah berkata, “Rasulullah melarang jual beli hashaath (jual beli dengan menggunakan kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang yang akan dijual) dan jual beli gharar (jual beli yang mengandung penipuan di dalamnya)” (HR. Muslim)

Selain itu, juga tidak diperkenankan menyembunyikan cacat/aib suatu barang ketika melakukan jual beli. Rasulullah bersabda, “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya” (HR. Ibnu Majah)

Setelah kita mengetahui hukum, rukun dan syarat jual beli, alangkah baiknya jika kita mengetahui hal-hal yang dilarang dalam jual beli. Hal ini dimaksudkan agar kita dapat menjauhi perkara-perkara yang dilarang tersebut. Sebagaimana perkataan seorang sahabat yang mulia, Hudzaifah bin Yaman, “Aku mengetahui keburukan bukan untuk melakukan keburukan tersebut, akan tetapi untuk menjauhinya.”. Dan di antara perkara-perkara yang dilarang tersebut adalah:

1. Melakukan jual beli di waktu yang dapat melalaikan seseorang dari yang wajib (misal: jual beli setelah adzan kedua shalat Jum’at)

2. Membeli barang yang sudah dibeli atau dipesan orang lain

3. Menjual atau membeli barang dengan cara mengecoh/menipu (bohong)

4. Menimbun barang yang dijual agar harga naik karena dibutuhkan masyarakat

5. Menghambat orang lain mengetahui harga pasar agar membeli barangnya dengan harga murah

6. Menyakiti penjual atau pembeli untuk melakukan transaksi

7. Menyembunyikan cacat barang kepada pembeli

8. Menjual barang dengan cara kredit dengan imbalan bunga yang ditetapkan

9. Menjual atau membeli barang haram

10. Jual beli dengan tujuan buruk seperti merusak ketenteraman umum, menyempitkan gerakan pasar, mencelakai para pesaing, dan lain-lain. (Krisna Ibnu Ruslan)


[Sumber:
Disarikan dari berbagai sumber]