Di antara perkara yang disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla di dalam kitab-Nya yang mulia , al-Qur’an adalah tentang kisah-kisah. Di antara kisah-kisah tersebut ada yang disebutkan secara panjang lebar, ada pula yang disebutkan secara singkat atau bahkan sekedar isyarat yang menunjukkan adanya kisah tersebut. Di antara kisah tersebut adalah kisah tentang dua anak manusia yang saling bekerjasama dalam melakukan kebaikan, kedua orang  tersebut adalah seorang ayah dan seorang anak, dialah khalilullah  Ibrahim ‘alaihissalam dan putranya, Ismail ‘alaihissalam. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui (Qs. al-Baqarah : 127)

Itulah isyarat kisah yang syarat dengan hikmah dan pelajaran yang sangat beharga bagi kita. Betapa tidak, sementara Allah ‘Azza wa Jalla perintahkan agar hal tersebut diingat.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’diy rahimahullah mengomentarai ayat ini seraya mengatakan, “Maknanya yakni, ‘dan ingatlah oleh mu tentang Ibrahim ‘alaihissalam dan Ismail ‘alaihissalam, tentang keadaannya kala meninggikan pondasi Baitullah, dan tentang upaya keduanya yang terus menerus melakukan amal yang agung tersebut dan bagaimana pula keadaan keduanya yang sedemikian memiliki rasa takut dan harapan yang tinggi (kepada Allah), hingga keduanya berdoa kepada Allah agar menerima amal yang dilakukannya, sehingga dari amal yang dilakukannya tersebut didapatkan kemanfaatan yang menyeluruh. (Taisir al-Kariimi ar-Rahman Fii Tafsiiri Kalami al-Mannan,1/66)

Perintah agar kisah ini diingat nampaknya–Wallahu A’lam-bukanlah yang menjadi maksud yang utama, karena ada hal lain yang jauh lebih penting ketimbang sekedar seorang hamba mengingat sebuah kisah, yaitu “Mengambil ibrah, hikmah dan pelajaran dari kisah yang  Allah ‘Azza wa Jalla sebutkan, sebagaimana yang Allah ‘Azza wa Jalla tegaskan dalam ayat lainnya, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ۗ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (al-Qur’an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan  segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman (Qs. Yusuf : 111)

Kalau demikian halnya, lalu apa pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah ini, kisah tentang Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan anaknya Ismail ‘alaihissalam, kala meninggikan pondasi Baitullah yang kemudian diiringi oleh keduanya dengan berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar berkenan menerima amal shaleh yang telah dilakukannya ?

Di antara pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah ini adalah,

1. Disyariatkannya bekerjasama saling tolong menolong dalam menyelesaikan proyek-proyek kebaikan.

Dengan disyariatkannya hal ini  akan didapatkan banyak maslahat yang tentunya jauh lebih besar ketimbang bila mana dilakukan secara individual. Inilah fakta yang banyak kita jumpai di banyak proyek-proyek kebaikan. Oleh karenanya, syariat Allah ‘Azza wa Jalla sedemikian menekankah hal ini. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan tolong menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kalian kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya. (Qs. al-Maidah : 2)

2. Disyariatkannya mengikutsertakan anak dalam melakukan berbagai bentuk kebaikan. Inilah yang diteladankan oleh Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam sebagaimana nampak jelas terlihat dalam sepenggal kisah ini. Ia bersama dengan anaknya Ismail ‘alaihissalam melakukan kebaikan tersebut.

Mengikutsertakan anak ketika kita-orang tua-mengerjakan kebaikan-kebaikan akan sangat besar peluangnya memberikan dampak positif kepada mereka, anak-anak kita, diantaranya adalah bahwa mereka, anak-anak kita akan terdorong untuk meneladani kita dalam kebaikan yang tengah kita lakukan, dan kebaikan-kebaikan yang lainnya.

Jika kemudian anak-anak kita tersebut terbiasa melakukan kebaikan dan istikamah melakukannya karena terbimbing dengan keteladan yang baik yang kita tampilkan di hadapan mereka, maka sungguh, ini merupakan keuntungan di atas keuntungan. Bagaimana tidak, sementara ketika kita mengajarkan kebaikan kepada mereka, mengarahkan mereka kepada kebaikan, membimbing mereka kepada kebaikan, dengan keteladanan secara langsung, kita akan mendapatkan balasan yang baik di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

Barangsiapa menunjukkan kepada suatu kebaikan maka ia mendapatkan (pahala) seperti pahala yang didapatkan pelaku kebaikan tersebut. (HR. Abu Dawud)

Ini satu keuntungan. Keuntungan yang lainnya adalah kala kita, para orang tua, memberikan keteladan yang baik dengan mengikutsertakan anak-anak kita melakukan kebaikan, sehingga kemudian mereka tumbuh sebagai anak-anak yang shaleh karena istikamah di dalam melakukan kebaikan yang kita teladankan. Tidak diragukan bahwa ini adalah juga termasuk bentuk dari keuntungan. Betapa bukan keuntungan, semetara anak shaleh itu, akan menjadi penyejuk pandangan mata kita di dunia ini dengan sikap, tindakan dan tutur kata mereka yang baik yang penuh dengan penghormatan, penuh dengan kebaktian kepada kita orang tuannya. Bukankah, hal ini merupakan hal yang sedimikian sangat kita  idam-idamkan ? bukankah di antara doa yang kita panjatkan kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah agar kita diberikan keturunan yang dapat menyenangkan hati kita di dunia ini, seraya kita panjatkan,

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami  pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.

Jika demikian, maka mengikutsertakan mereka, anak-anak kita dalam melakukan kebaikan-kebaikan adalah salah satu jalan ketedanan yang tidak patut kita lupakan.

Maka dari itu, kita memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar memberikan kepada kita taufik sehingga kita dapat melakukan kebaikan yang satu ini, memberikan keteladan yang baik di hadapan anak-anak kita, sehingga kita mendulang keuntungan di atas keuntungan. Amin

3. Hendaknya seorang hamba tidak terpedaya dengan amal shaleh sebesar apapun atau sekecil apa pun, atau seremeh apapun dalam pandangan matanya, sehingga ia melupakan persoalan yang sangat penting, yaitu, perkara diterimanya amalnya oleh Allah ‘Azza wa Jalla.

Sungguh, persoalan ini, persoalan diterimanya amal, menjadi perhatian Ibrahim ‘alaihissalam dan anaknya Ismail ‘alaihissalam yang sedemikian serius. Maka dari itu, ia sedemikian berharap kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar amal shaleh yang sangat mulia yang dilakukannya tersebut diterima oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Karena, seberapa pun besar amal shaleh yang dilakukan oleh seorang hamba, kalau kemudian hal tersebut tidak diterima oleh Allah ‘Azza wa Jalla, maka itu merupakan kerugian yang nyata. Kerugian di dunia, karena telah mengorbankan waktu, tenaga, bahkan boleh jadi harta benda namun pengorbanan tersebut sia-sia. Juga kerugian di akhirat, karena tidak mendapat pahala dan balasan yang baik dari Allah ‘Azza wa Jalla, sementara seorang hamba kala itu sedemikan membutuhkannya.

Maka, sungguh sedemikian penting perkara “diterimanya amal” ini.

Namun, oleh karena hal tersebut tidak seorang pun di antara kita yang mengetahuinya, tidak ada seorang pun di antara kita yang mengetahui apakah amal shaleh yang kita lakukan itu diterima ataukah tidak oleh Allah ‘Azza wa Jalla, maka hal ini mengharuskan kita untuk bersungguh-sungguh terus merengek kepada Allah ‘Azza wa Jalla, memohon kepada-Nya agar berkenan menerima setiap amal shaleh yang telah kita lakukan seberapun besar kecilnya. Hal ini kita lakukan setelah kita bersungguh-sungguh untuk mengikhlaskan niat dalam hati kita dan kita telah bersungguh-sungguh pula berupaya mengikuti petunjuk-petunjuk Nabi kita,  Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam pelaksanaannya. Karena, kedua hal inilah, “ikhlash dan mutaba’ah -sebagaimana dikatakan para ulama- merupakan syarat diterimanya amal.

4. Hendaknya seorang hamba optimis bahwa permohonannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla akan diijabahi-Nya.

Perhatikanlah, bahwa setelah Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam dan Nabi Ismail ‘alaihissalam, berdoa seraya mengatakan,

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا

Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami.

Keduanya kemudian, mengatakan,

إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

Keduanya optimis bahwa permintaannya bakal diijabahi, karena keduanya tahu bahwa Rabb yang dimintai itu adalah Dzat yang Maha Mendengar setiap permohonnan hamba-Nya dan Dzat yang akan mengijabahi doa yang dipanjatkan kepadaNya. Dzat yang memerintahkan kepada hambaNya agar berdoa kepada-Nya dan menjanjikan pengijabahan doa yang dipanjatkan seorang hamba kepada-Nya, Dia ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian. (Qs. Ghafir : 60)

Demikianlah setiap hamba Allah ‘Azza wa Jalla, hendaknya ia optimis bahwa doa yang dipanjatkannya akan diijabahi oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah yang diperintahkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya,

اُدْعُوْا اللهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِالْإِجَابَةِ

Berdoalah kalian kepada Allah, sementara kalian yakin akan diijabahinya doa tersebut. (HR. at-Tirmidzi)

Pembaca yang budiman…

Inilah empat pelajaran yang dapat penulis sebutkan di sini terkait dengan kisah singkat yang Allah ‘Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya ini,

وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui (Qs. al-Baqarah : 127)

Wallahu A’lam (Redaksi)

Sumber :

Disarikan dari Kutbah Jum’at Uts. Amar Abdullah di Masjid al-Sofwa, 19 Juli 2019/16 Dhul Qa’dah 1440 H