Keempat: Koreksi etika menangis dan khusyu’ sewaktu berdzikir dan berdo’a 

Dalam hal ini terdapat berbagai macam hal-hal baru (bid’ah), yang merupakan bentuk tipu muslihat setan dan upaya orang-orang sesat untuk menyesatkan masyarakat awam. Di antaranya: sempoyongan (tawâjud), tersentak, tak sadarkan diri, dalam suasana larut, menjerit, badan goncang, gemetar, pingsan, mati, terisak-isak (tersedu-sedu), gila (karena cinta) dan berbagai ekspresi fana (melebur dengan Tuhan) dan syuhûd (merasa menyaksikan Tuhan) dan lainnya.

Di sini, saya akan menyampaikan sebuah perkataan umum tentang hal yang masyru’ (dibenarkan Islam) sewaktu mendengar ayat-ayat al-Qur’an dan berdzikir, serta isyarat kepada perbuatan yang menyelisihi apa yang masyru’ tersebut, guna untuk meluruskannya. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

“Kedua wahyu yang mulia (al-Qur’an as-Sunnah) menyatakan bahwa sewaktu mendengar ayat-ayat al-Qur’an al-‘Azhim beserta pengaruh-pengaruh keimanan yang menyertainya, para hamba Allah yang shalih akan memperoleh kebaikan dan kemuliaan yang melimpah, yang berupa perasaan bahagia bersama Allah ta’ala dan kalam-Nya, beribadah dengan membaca, merenungi, memahami dan mengamalkan firman-Nya, bertambahnya keimanan dan keyakinan, terpenuhinya hati dengan keagungan Dzat Yang Maha Hidup lagi Maha Terjaga, ketulusan untuk berserah diri (tawakkal), dan terdorongnya hamba tersebut untuk semakin meningkatkan ibadah.

Bersamaan dengan keadaan yang suci ini, mereka juga akan mengalami pengalaman-pengalaman yang sangat mulia, seperti menangis dengan tetesan dan linangan air mata, tanpa ada suara dan teriakan. Dan terkadang itu disertai dengan isakan-isakan saja, sedikit suara tangisan, sensitivitas rohani, kekhusyu’an, hati gemetar dan ketenteraman di dalam hati, rasa takut dan merindingnya kulit sekujur tubuh… dan berbagai pengaruh keimanan yang lain dan dan pengalaman-pengalaman rohani lainnya, karena mendengar ayat-ayat al-Qur’an yang agung, yang juga merupakan pendengaran bagi para nabi, orang-orang mukmin dan orang-orang alim.

Allah Dzat Yang Maha Agung pujian-Nya dan Maha Suci asma-asma-Nya telah berfirman,

وَإِذَا سَمِعُوا مَآأُنزِلَ إِلَى الرَّسُولِ تَرَى أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ مِمَّا عَرِفُوا مِنَ الْحَقِّ يَقُولُونَ رَبَّنَآءَامَنَّا فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ

“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (al-Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata, “Ya Rabb kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran al-Qur’an dan kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ).” (al-Ma’idah: 83).

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ {2} الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ {3} أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَّهُمْ دَرَجَاتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ{4}

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabb-lah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabbnya dan ampunan serta rizki (nikmat) yang mulia.” (al-Anfal: 2-4).

وَإِذَا مَآأُنزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُم مَّن يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَانًا فَأَمَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ

“Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira.” (at-Taubah: 124).

قُلْ ءَامِنُوا بِهِ أَولاَتُؤْمِنُوا إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِن قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ سُجَّدًا {107} وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَآ إِن كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولاً {108} وَيَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا {109}

“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata, “Maha suci Rabb kami; sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi.” Dan mereka menyungkur atas muka mere-ka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (al-Isra: 107-109).

اللهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُّتَشَابِهًا مَّثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللهِ ذَلِكَ هُدَى اللهِ يَهْدِي بِهِ مَن يَشَآءُ وَمَن يُضْلِلِ اللهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka diwaktu mengingat Allah.” (az-Zumar: 23).
Dan ayat-ayat berkaitan dengan makna ini pun sangat banyak sekali.
Sungguh, Allah ta’ala telah mengaruniakan berbagai bekas dan pengalaman rohani ini kepada Nabi-Nya, nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menggariskan langkah-langkah dalam meniru dan meneladaninya. Tidak ada seorangpun yang lebih dekat dan lebih mengenal Allah ta’ala dan lebih mampu mengikuti syariat-Nya daripada hamba-Nya, yaitu Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Banyak sunnah (hadîts) yang menjelaskan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamadalah orang yang paling baik suaranya, dan paling merdu bacaan dan ejaannya. Dan hal inilah yang menjadi sebab-sebab ketakutannya kepada Tuhannya, kekhusyu’annya, dan terpenuhi hatinya dengan keagungan Allah ta’ala dan kalam-Nya. Oleh karena itu, bacaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bisa menembus hati dan membekas di dalam hati orang musyrik sehingga dia pun masuk Islam. Sewaktu beliau membaca atau mendengarkan al-Qur’an beliau menangis, kedua matanya berlinangan air mata, sedang di dalam dadanya terdapat isakan-isakan tangis seperti bunyi air mendidih dalam periuk. Dan begitulah tangisan karena takut kepada Allahta’ala, kekhusyu’an dan ketakutan hati itu terjadi.

Di dalam hadîts yang disepakati keshahihannya dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bacakanlah (al-Qur’an) kepadaku”, lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku akan membacakan kepadamu, sedangkan kepadamu al-Qur’an diturunkan?.” Beliau menjawab: “Benar, sesungguhnya aku sangat senang mendengarkannya dari bacan orang selainku.” Kemudian, aku pun membaca surat an-Nisa’ hingga sampai pada ayat,

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِن كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَاؤُلآءِ شَهِيدًا

“Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami menda-tangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umat-mu).” (an-Nisa’: 41). Lalu, beliau berkata, “Cukup sampai di sini.” Maka, tiba-tiba kedua mata beliau berlinangan air mata.”

Dan berpijak kepada keadaan yang mulia inilah, para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencontoh, meniru, mengikuti dan menjadikan tuntunan. Tidak ada satu pun cara dari mereka yang melebihi cara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sewaktu membaca atau mendengarkan al-Qur’an Suci, sama sekali tidak pernah. Padahal, mereka -para sahabat radhiyallahu ‘anhum – adalah para generasi yang mempunyai derajat, kemulian dan kedudukan yang tinggi. Bahkan, di antara mereka terdapat beberapa orang yang dike-nal sebagai kelompok yang ahli menangis (bakkâîn’), sebagaimana dikenal di kalangan mereka orang-orang yang menangisi perang Tabuk. Dan berkaitan dengan mereka ini, para ulama telah menuang-kannya dalam bentuk bait-bait sya’ir, seperti yang tersebut di dalam kitab ‘Syadzarat adz-Dzahab”, karya Ibnul Imad, (8/99-100), dan ini adalah tangisan dari jenis yang lain.( Lihat komentar al-Hafizh Ibnu Rajab terhadap jenis tangisan semacam ini di dalam kitab “Lathaif al-Ma’arif”, hal. 430)

Kemudian, diikuti generasi tabi’iin setelah mereka masih ber-pegang kepada kebenaran itu. Akan tetapi, pada beberapa individu kalangan tabi’in terlihat beberapa keadaan, seperti kelenger. Dan orang pertama yang dikenal dengan keadaan ini, adalah Rabi’ bin Khutsaim rahimahullah , dan seperti keadaan menjerit, badan bergoyang dan gemetar, tak sadarkan diri, pingsan, mati, terisak-isak (tersedu-sedu), tripping (karena cinta) dan maqâam-maqâm (terminal-terminal tingkatan) yang menghasilkan gelar-gelar dan lalu, dibuatlah untuk maqâm-maqâm tersebut tingkatan-tingkatannya, seperti tingkatan: sâ’ir (orang yang menempuh perjalanan menuju Allah) dan wâshil (orang yang sudah sampai tujuan dam berma`rifat kepada Allah).

Pada dasarnya, semua ini hanya bisa dicapai dengan kekuatan wârid (pengalaman rohani yang datang pada setiap tahapan) dan lemahnya orang yang menerimanya, sehingga para pelakunya terkalahkan olehnya. Berbeda dengan para sahabat radhiyallahu ‘anhum, oleh karena kekuatan dan kesempurnaan mereka, maka tidak ada sesuatu pun dari keadaan (maqâm) tersebut yang mampu mengalahkan mereka. Oleh karena itu, berbagai pengalaman kerohanian ini diingkari terjadi pada sebagian mereka. Adapun orang yang melakukannya karena dibuat-buat, dan diketahui dari keadaannya bahwa dia telah menyerahkan dirinya kepada musuhnya (setan) dan musuh bapaknya yang pertama (yakni Nabi Adam), lalu hingga menyeretnya kepada tingkat melebur (fana) dan klaim mencapai tingkatan syuhud (menyaksikan hakikat Tuhan) dan terjerumus ke dalam lembah khurafat, sampai-sampai seorang dari mereka ada yang mengucapkan: “Maha Suci aku, dan tiadalah yang berada di dalam jubah ini selain aku”, dan dia pun meninggalkan shalat dan semua ibadah, dan mereka menamakan ibadah-ibadah tersebut sebagai ibadahnya orang-orang awam, karena si dungu ini (mengklaim) telah sampai pada tingkat “manung-galing kaula gusti” (hadhrah qudsiyyah), mencapai tingkat kesaksian alam malakut (ghaib, ruh dan malaikat), sehingga semua bentuk beban kewajiban ibadah telah lepas darinya. Dan kesemuanya ini berkisar antara kekufuran dan kedurhakaan. Dan oleh karenanya, di antara mereka ada yang dibunuh dalam keadaan kafir dan zindik, dan ada pula yang disalib.

Maka seorang hamba yang mau menasihati dirinya sendiri hendaknya membiasakan dzikir dan do`a kepada Tuhannya berdasarkan petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah, dan hendaknya ia tidak menyerahkan dirinya kepada musuhnya, musuh dari golongan manusia dan jin. Dan Allah ta’ala akan senantiasa melindungi di antara hamba-hambanya yang shalih.

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]