aminTerdapat beberapa kesalahan dan hal-hal baru (bid’ah), berkaitan dengan masalah ta’miin, yakni pengucapan ‘aamiin’ ini, di antaranya:

1. Mengucapkannya dengan memanjangkan dan men-tasydid-kan huruf mimnya, yaitu آمِّين ‘âmmîn’, barangsiapa yang mengkategorikannya sebagai bahasa Arab, maka sungguh dia telah keliru.

2. Mengucapkannya dengan memendekkan dan men-tasydid-kan huruf mimnya, yaitu أَمِّين ‘ammiin’, ini keluar dari kaidah (syadz).

3. Mengucapkannya dengan memendekkan dan meringankan huruf mimnya, yaitu أَمِيْن ‘amîn’, mengingat hal ini telah dinyatakan sebagai bentuk yang aneh (syadz).

4. Menambahi lafazh آمِين ‘âmîn’ ini dengan beberapa lafazh yang tidak shahih (tsabit), meskipun tambahan tersebut telah diucapkan di dalam beberapa madzhab fikih, di antaranya:

Menambahkan lafazh ‘na’am’ sebelum lafazh tersebut, dan lafazh ‘rabbighfir lii’ (ya Tuhanku, ampunilah dosaku), meskipun itu telah diucapkan oleh sebagian kalangan Syafi’iyyah, mengingat hadîts Wa’il bin Hujr radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengucapkan kalimat ‘rabbighfir lii aamiin’ -setelah bacaan ‘waladdhaalliin’, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani[1] dan al-Baihaqi[2]. Ibnu ‘Allan berkata, ‘dengan sanad yang tidak ada masalah’ (la ba’sa bihi). Saya katakan: Di dalam sanadnya terdapat Ahmad bin Abduljabbar al-‘Utharidi, riwayatnya dihukumi lemah (dha’if), sebagaimana yang tersebut di dalam kitab “at-Taqrib.”

Juga, menambahinya dengan lafazh ‘rabbighfir lii wa liwaalidayya’ (ya Tuhanku, ampunilah dosaku dan kedua orang tuaku), meskipun itu telah diucapkan oleh sebagian kalangan Syafi’iyyah[3], dan lafazh ‘aamiin rabbal ‘aalamiin’, meskipun itu juga telah diucapkan oleh sebagian kalangan Syafi’iyyah.

5.Mengulang-ulangi ucapan ‘aamiin’ sebanyak tiga kali setelah membaca surat al-Fatihah di dalam shalat, mengingat apa yang telah diriwayatkan dari Wa’il bin Hujrradhiyallahu ‘anhu, bahwasanya dia berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memulai shalat. Ketika beliau selesai membaca surat al-Fatihah, beliau mengucapkan ‘aamiin’ sebanyak tiga kali.” (HR. ath-Thabrani, dan al-Haitsami berkata, “Rijal atau sanadnya adalah orang-orang yang terpercaya ([i]tsiqat[/i]).”[4]  Saya katakan: Bagaimana hal itu bisa terjadi, sedangkan di dalam sanadnya terdapat gurunya Imam ath-Thabrani yang bernama Muhammad bin ‘Utsman bin Abu Syaibah, yaitu seorang yang dituduh berbuat kebohongan. Oleh karenanya, mengulang-ulangi ucapan ‘aamiin’ tidak disyariatkan.

6. Apa yang dilakukan para muballigh pada pengeras suara setelah mendengar perkataan khatib: “Berdo`alah kalian kepada Allah ta’ala, sedangkan kalian meyakini terkabulnya do`a tersebut.”, untuk mening-gikan suara jamaah dengan mengucap: ‘aamiin,‘aamiin, aamiin’, hal ini adalah bid’ah karena tidak punya dalil.

7. Bid’ah yang dilakukan oleh para makmum dengan mengamini do`a imam setelah salam dari shalat.

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]


[1]  Al-Mu’jam al-Kabir, (22/10).

[2]  As-Sunan al-Kubra, (2/58); dan Majma’ az-Zawaid, (2/113).

[3]  Syarh al-Adzkar, (2/228).

[4]  Syarh al-Adzkar, (2/231); Majma’ az-Zawaid, (2/116); Mu’jam ath-Thabrani, (22/22, no. 38); Fath al-Qadir, karya asy-Syaukani, (1/77) beserta catatan pinggir (hasyiyah) oleh Abdur-raham dan ‘Umairah.