nikah mu'taddahBila seseorang melamar seorang wanita dalam masa iddah secara terus terang, kemudian dia menikahinya sesudah selesai masa iddah, maka dia berdosa karena melanggar larangan, namun pernikahannya tetap sah, karena lamaran bukan merupakan syarat sah pernikahan, maka rusaknya lamaran tidak merusak akad pernikahan, tetapi bila dia menikahinya saat masa iddah maka pernikahannya batal.

Bila seseorang menikahi seorang wanita dalam masa iddahnya, maka keduanya dipisah, wanita tersebut menyempurnakan iddah suami pertama kemudian iddah suami yang kedua bila sudah terjadi hubungan suami istri, maharnya untuk wanita tersebut karena sudah terjadi hubungan.

Bagaimana bila suami kedua melamarnya lagi sesudah masa iddah? Umar tidak membolehkan, sedangkan Ali bin Abu Thalib membolehkan, yang kedua lebih rajih, karena tidak ada penghalang, di samping pada dasarnya dibolehkan. Wallahu a’lam.

Khitbah ala khitbah

Bila seorang muslim melamar wanita, maka tidak boleh bagi muslim lain untuk melamar wanita tersebut, dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda, “Seorang laki-laki tidak melamar di atas lamaran saudaranya hingga dia menikah atau meninggalkan.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Larangan ini menunjukkan pengharaman, karena ia menyakiti seorang muslim dan melanggar haknya, di samping melahirkan kebencian dan permusuhan yang tidak patut di kalangan kaum muslimin.

Apa batasan larangan ini? Bila lamaran diterima dengan jelas, yang bersangkutan tidak membatalkan, tidak mengizinkan orang lain untuk melamar dan pelamar kedua mengetahui lamaran dan jawabannya.

Bagaimana bila lamaran diterima dengan bahasa kiasan atau dipertimbangkan? Madzhab Hanbali berkata, menutup pelamar kedua. Madzhab Maliki, Hanafi dan Syafi’i berkata, belum menutup, berdasarkan hadits Fatimah binti Qais yang melaporkan kepada Nabi bahwa Abu Jaham dan Mu’awiyah melamarnya, lalu Nabi memintanya untuk menikah dengan Usamah. Diriwayatkan oleh Muslim.

Pendapat yang shahih, dilamarnya seorang wanita oleh seseorang menutup orang lain untuk melamarnya, walaupun lamaran tersebut belum dijawab atau masih dipertimbangkan, kecuali bila wanita atau walinya menolak, karena alasan larangan adalah melahirkan permusuhan dan ini bisa terjadi dalam kondisi ini. Wallahu a’lam.

Bila terjadi khitbah ala khitbah kemudian terjadi akad nikah, bagaimana? Pendapat pertama berkata, akad nikah rusak, harus dibatalkan, alasannya karena akad nikah dilandaskan kepada pelanggaran, maka ia batal. Pendapat kedua berkata, akad nikah sah, tidak ada hubungan antara pelanggaran dengan akad nikah, karena khitbah bukan merupakan syarat sahnya akad nikah. Wallahu a’lam.

Kejujuran Dalam Khitbah

Kelanjutan khitbah adalah akad nikah, akad yang sangat mungkin seumur hidup, karena itu kedua belah pihak patut jujur, tidak menutupi aib diri, karena hal itu bisa termasuk ghisy (kecurangan), “Man ghasysyana fa laisa minna.” Demikian hadits berkata.

Bila seseorang dimintai pendapat tentang pelamar atau yang dilamar, dia mengetahui sesuatu, maka dia harus jujur berkata, sekalipun dengan menyebut aibnya, hal ini bukan merupakan ghibah yang tercela. Nabi bersabda kepada Fatimah binti Qais, “Abu Jaham, dia tidak meletakkan tongkatnya dari pundaknya, Mu’awiyah adalah laki-laki miskin tak berharta.”

Calo Nikah

Seseorang boleh menjadi penengah atau perantara dalam lamaran atau pernikahan, Nabi berusaha menyatukan Barirah dengan suaminya, maka Barirah bertanya, “Rasulullah, Anda menyuruhku?” Nabi menjawab, “Tidak, aku hanya perantara.” Barirah menjawab, “Saya tidak membutuhkannya lagi.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari.

Bila Ibnu Umar diminta melamar, maka dia berkata, “Segala puji bagi Allah, shalawat kepada Muhammad, sesungguhnya fulan melamar fulanah kepada kalian, bila kalian menerimanya maka alhamdulillah, bila kalian menolaknya maka subahanallah.” Diriwayatkan oleh al-Baihaqi. Wallahu a’lam.