umum‘Am (العام) adalah suatu lafadz yang mencakup seluruh yang pantas baginya tanpa batas

Para ulama berselisih tentang arti umum, apakah ia mempunyai bentuk lafadz (shigat) yang khusus secara bahasa atau tidak?

Sebagian besar ulama berpendapat, secara bahasa ia memiliki bentuk khusus yang hakiki dibuat untuk menunjukan makna umum dan dipergunakan secara majaz pada selainya. Untuk mendukung pendapatnya ini mereka mengajukan sejumlah argument dari dalil-dalil tekstual (nashshiyah), ijma’ dan kontekstual (maknawiyah).

a. Di antara dalil-dalilnya ialah firman Allah:

[sc:BUKA ]وَنَادَى نُوحٌ رَّبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ {45} قَالَ يَانُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ……(46) [sc:TUTUP ]

“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya; “Wahai Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim paling adil. Allah berfirman; Hai Nuh, sesungguhnya ia tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan).” (Hud: 45-46)

Aspek yang dijadikan dalil dari ayat ini ialah bahwa Nuh menghadap kepada Allah dengan permohonan tersebut karena ia berpegang pada firman-Nya,
“Sesungguhnya Kami akan menyelamatkanmu dan keluargamu.” (Al-Ankabut:33)

Dalam ayat ini, Allah membenarkan apa yang dikatakan Nuh. Karena itu Allah menjawab dengan sesuatu perkataan yang menunjukkan bahwa anaknya itu tidak termasuk keluarga. Seandainya idhafah (penyandaran) kata “keluarga” kepada “Nuh” tidak menunjukkan makna umum, maka jawaban Allah tersebut tidak benar.

Contoh ayat lain, “Dan tatkala utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim membawa kabar gembira, mereka mengatakan:”Sesungguhnya kami akan menghancurkan penduduk (Sodom) ini; sesungguhnya penduduknya adalah orang-orang yang zalim. Berkata Ibrahim:”Sesungguhnya di kota itu ada Luth”.Para malaikat berkata:”Kami lebih mengetahui siapa yang di kota itu. Kami sungguh-sungguh akan menyelamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya. Dia adalah termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). (Al-Ankabut:31-32)

Wajhu dalalah (Segi yang dijadikan dalil)nya ialah bahwa Ibrahim memahami ucapan para malaikat, “Ahlu hadzihi al-qaryah” (penduduk negeri ini), adalah bersifat umum, karenanya ia menyebutkan Luth. Para malaikat pun memahaminya dan menjawab bahwa mereka akan memperlakukan secara khusus Luth dan keluarganya, mereka akan dikecualikan dari golongan yang akan dihancurkan. Juga mengecualikan istri Luth dari orang-orang yang diselamatkan. Ini semua menunjukan makna umum.

b. Di antara dalil-dalil ijma’iyah, yakni yang menjadi ijma’ sahabat bahwa firman Allah Subhanahu Wata’ala,

[sc:BUKA ]الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مَائَةَ جَلْدَةٍ[sc:TUTUP ]

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali deraan” (An-Nur:2)

Juga ayat, “Dan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” (Al-Maa’idah:38), dan lain sebagainya, adalah bermakna umum, berlaku dan dapat diterapkan bagi setiap orang yang berzina dan mencuri.

c. Diantara dalil-dalil ma’nawiyah ialah bahwa makna umum itu dapat dipahami dari penggunaan lafazh-lafazh syarat, istifham (pertanyaan) dan maushul. Tanpa lafazh-lafazh ini apa yang dimaksud tidak akan terlintas dalam benak untuk memahaminya.

Kita dapa menangkap adanya perbedaan antara kata kull (seluruh) dan ba’dh (sebagian). Seandainya kull tidak menunjukkan arti umum, tentulah perbedaan itu tidak terwujud.

Andaikata seseorang berkata dengan pola kalimat nakirah manfi, “la rajulun fi ad-dar” (tak ada seorang pun di dalam rumah), maka ia dipandang dusta jika diperkirakan ia melihat seseorang. Hal ini sebagaimana tampak dalam firman Allah, “Katakanlah; Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa Musa?” (Al-An’am:91). Ayat ini untuk mendustakan mereka yang berkata, “Ma anzalallahu ‘ala basyarin min syai’in” (Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia) (Al-An’am:91). Ini semua menunjukkan bahwa nakirah setelah nafi’ adalah untuk makna umum. Karena itulah dalam kalimat tauhid, kita mengatakan “la ilah illallah” (Tiada Tuhan selain Allah), karena tidak menunjukkan peniadaan semua ilah selain Allah.

Atas dasar ini maka makna umum itu mempunyai bentuk-bentuk (shigat) tertentu yang menunjukkannya. Di antaranya;

a). Kul, seperti ayat “Kullu nafsin dza’iqatul maut” (setiap yang memiliki jiwa pasti akan meresakan mati) dalam Ali Imran: 185, dan firman Allah dalam ” allahu khaliqu kulli syai'” (Allah adalah Pencipta segala sesuatu) (Al-An’am: 102). Yang semakna dengan “kull” adalah kata jami’ ( جميع)

b). Lafazh-lafazh yang dimakrifatkan dengan “al” yang bukan al-‘ahdiyah. Misalnya, dalam ayat “Wal ‘ashri innal insana lafi khusr” (Al-Ashr:1-2). Maksudnya, setiap manusia, berdasarkan ayat selanjutnya (Al-Ashr:3). Juga seperti ayat “Illalladzina amanu” (Al-Baqarah: 275) dan “Wa ahallallahu al-bai'” (Al-Maa’idah:275)

c) Isim nakirah dalam konteks nafi dan nahi, seperti dalam, “fala rafatsa wala fusuqa wala jidala fil al-haj” (Al-Baqarah 2 : 197), “Fala taqul lahuma uffin.” (Al-Israa’: 23). Atau dalam konteks syarat, seperti, “Wa in ahadun minal-Musyrikina….” (At-Taubah:6)

d) Alladzi dan allati serta cabang-cabangnya. Misalnya dalam ayat ” (Al-Ahqaf: 170). Maksudnya, setiap orang yang mengatakan seperti itu, berdasarkan firman sesudahnya dalam bentuk jamak, yaitu dalam “Ulaaikal ladzina haqqa ‘alaihim al-qaul” (Al-Ahqaf: 18), atau “Walladziani ya’tiyaniha minkum fa adzuhuma” (An-Nisaa’: 16), dan ayat “Walla’i ya’isna minal mahidhi min….. hamlahunn” (Ath-Thalaq: 4)

e) Semua isim syarat. Misalnya dalam ayat “Faman hajjal baita awi’tamara fala junaha ‘alaihi an yaththawwafa bihima” (Ath-Thalaq: 4). Ini untuk menunjukkan umum bagi semua yang berakal. Demikian juga ayat dalam “Wama taf’alu min khairin ya’lamhullah” (Al-Baqarah: 197). Ini untuk menunjukkan umum bagi yang tidak berakal. Juga firmanNya yang termaktub dalam “Wa haitsuma kuntum fawallu wujuhakum syathrah” (Al-Baqarah: 150). Ini untuk menunjukkan umum bagi tempat. Juga ayat “Ayyam ma tad’u falahul asma’ul husna” (Al-Israa’: 10).

f) Ismu al-Jins (kata jenis) yang disandarkan kepada isim makrifah. Misalnya dalam “Falyahdzaril-ladzina yukhalifuna ‘an amrih” (An-Nur: 63). Maksudnya, segala perintah Allah. Dan juga dalam “Yushikumullahu fi auladikum” (An-Nisaa’: 11)

Sumber: Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an/Syaikh manna’ Al-Qaththan/Pustaka al-Kautsar/hal: 272