Ada dua kelompok yang paling terkenal penyimpangannya di bidang Tauhid Rububiyah: 1- Para ahli filsafat dan ahli kalam. 2- Orang-orang sufi.

Masing-masing dari kedua aliran ini berpijak kepada metode-metode yang berbeda-beda, aliran pertama berpijak kepada qiyas-qiyas logis, namun sayangnya kebanyakan dari mereka tidak menyelaraskannya dengan cahaya risalah, justru sebagian dari mereka malah memayungi qiyasnya dengan sesuatu yang menentang cahaya risalah, salah satunya adalah penetapan mereka terhadap rububiyah dengan dalil jauhar (sesuatu yang mengambil ruang dalam wujud) dan ‘aradh (hal-hal insidentil).

Mereka membangun dasar agama mereka di atas jism dan ‘aradh di mana yang pertama menurut mereka adalah pemilik sifat dan yang kedua adalah sifat, dan mereka berdalil kepada sifat-sifat yang merupakan ‘aradh untuk menetapkan bahwa jism sebagai pemilik sifat adalah hadits (sesuatu yang baru).

Menurut mereka tidak mungkin mengetahui pencipta kecuali dengan menetapkan bahwa alam adalah hadits, padahal perkaranya tidak demikian, sebaliknya dalil-dalil penetapan rububiyah Allah telah diukur, tidak bergantung kepada apa yang disebutkan di atas.

Para ahli yang mumpuni di bidang ilmu kalam tidak mengakui pendapat di atas, mereka melihatnya batil, dan di antara mereka, seperti al-Asy’ari, memandangnya diharamkan dalam syariat karena ia memerlukan banyak mukadimah di samping kesamarannya.

Adapun orang-orang sufi maka mereka berpijak dalam menetapkan rububiyah kepada metode ibadah yang menyampaikan kepada ilmu melalui latihan-latihan dan kebersihan jiwa, dengannya terkadang hati mendapatkan ilmu yang mendasar, hanya saja orang-orang sufi tidak berpijak dalam metode ibadah mereka kepada cahaya risalah, justru mereka menambahkan kepada metode ibadah tersebut sesuatu yang bukan merupakan warisan kenabian, akibatnya mereka pun terjatuh ke dalam kekeliruan-kekeliruan di bidang Tauhid Rububiyah, bisa jadi yang paling menonjol adalah fana’ dalam rububiyah, ia adalah jalan yang berbahaya yang membawa kepada wihdatul wujud.

Bila kamu mengetahui bahwa Tauhid Ilahiyah adalah tauhid yang dengannya para Rasul diutus dan dengannya kitab-kitab diturunkan, maka jangan menoleh kepada pendapat yang membagi tauhid menjadi tiga bagian, lalu dia menjadikan bagian ini sebagai tauhid awam (umum), sedangkan bagian yang kedua adalah tauhid khas (khusus), yaitu yang ditetapkan dengan hakikat-hakikat, sementara bagian ketiga adalah tauhid khashatul khashah, yaitu tauhid yang berdiri pada yang qadim.

Pembagian seperti ini adalah batil, karena orang-orang yang paling sempurna tauhidnya adalah para nabi, dan para rasul di bidang ini lebih sempurna, lalu rasul-rasul Ulil Azmi lebih sempurna lagi dan mereka adalah Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad.

Dari kelimanya, yang paling sempurna tauhidnya adalah sepasang Khalil, Muhammad dan Ibrahim; keduanya menegakkan tauhid dalam bentuk yang tidak ditegakkan oleh selain mereka, dari sisi ilmu, pengetahuan, keadaan, dakwah kepada manusia dan jihad, maka tidak ada tauhid yang lebih sempurna daripada tauhid yang ditegakkan oleh para rasul, didakwahkan oleh mereka dan mereka pun berjihad melawan umat-umat atasnya. Oleh karena itu, Allah memerintahkan NabiNya agar meneladani mereka padanya, sebagaimana Allah berfirman setelah menyebutkan dialog Ibrahim dengan kaumnya menjelaskan kebatilan syirik dan kebenaran tauhid serta menyebutkan nabi-nabi dari anak cucunya, “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.” (Al-An’am: 90). Tidak ada tauhid yang lebih sempurna daripada tauhid di mana Allah memerintahkan Rasulullah saw agar meneladani mereka.

Ajaran Ibrahim adalah tauhid, sedangkan agama Muhammad adalah apa yang beliau bawa dari sisi Allah, mencakup perkataan, perbuatan dan keyakinan, sedangkan kalimat ikhlas adalah syahadat la ilaha illallah. Fitrah Islam adalah fitrah yang diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba untuk menyintaiNya, beribadah hanya kepadaNya semata tidak ada sekutu bagiNya, berserah diri kepadanya dengan penuh penghambaan, kerendahan, ketaatan dan kepasrahan.

Inilah tauhid khashatul khashah, siapa yang membencinya maka dia termasuk orang-orang paling bodoh, Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang shalih. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya, ‘Tunduk patuhlah.’ Ibrahim menjawab, ‘Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.” (Al-Baqarah: 130-131).

Siapa yang memiliki indera yang sehat dan akal yang lurus maka dia dalam menetapkan dalil tidak memerlukan ahli kalam dan perdebatan, metode dan terminologi mereka sedikit pun, bahkan karenanya dia bisa terjerumus ke dalam keragu-raguan dan syubhat-syubhat, akibat dia terjerat dalam kebingungan, kesesatan dan kebimbangan, karena tauhid hanya akan bermanfaat bila hati pemiliknya selamat dari semua itu. Inilah hati yang selamat di mana tidak seorang pun beruntung kecuali bila dia membawanya menghadap kepada Allah.

Bentuk tauhid kedua dan ketiga yang mereka akui sebagai tauhid khashah dan khashatul khashah berujung kepada fana’ yang menjadi titik sasaran orang-orang sufi. Ini adalah jalan yang berbahaya yang membawa kepada akidah ittihad. Seandainya memang ini yang harus dipahami tentunya peletak syariat sudah menjelaskannya kepada kita, menyerukannya kepada manusia dan menerangkannya, bukankah tugas Rasulullah saw adalah menyampaikan secara nyata?

Sejak kapan Rasulullah saw bersabda, ini adalah tauhid umum, ini adalah tauhid khusus dan ini adalah tauhid khashatul khashah? Atau kata-kata yang mendekati makna tersebut? Atau dalil-dalil naqli mengisyaratkan kepadanya, padahal akal kita selalu terjaga.

Ini adalah kalam Allah yang turun kepada RasulNya, ini adalah sunnah Rasulullah saw, ini adalah perkataan generasi terbaik setelah Rasulullah saw, para tokoh yang mumpuni dari kalangan para imam, adakah kata fana’ terlintas di sana? Apakah pembagian di atas hadir dari salah seorang dari mereka? Semua itu terjadi akibat sikap ghuluw dalam agama yang tidak berbeda dengan ghuluw Khawarij, bahkan ghuluw orang-orang Nasrani dalam agama mereka. Wallahu a’lam.