berhujjah dengan hadits ahadAhli kalam menolak menerima hadits ahad di bidang akidah dengan alasan, hadits ahad tidak menetapkan ilmu yang yakin, ia hanya menunjukkan zhan, dugaan, sedangkan akidah adalah bab yang yakin, maka ia harus dibangun di atas yang yakin pula bukan di atas zhan.

Mu’tazilah berpandangan bahwa hadits ahad tidak diterima di bidang akidah kecuali bila ia sejalan dengan akal, maka ia bisa dipakai bukan sebagai dasar utama, tetapi hanya sebagai penyanggah dan pendukung.

Kami menjawab, menolak hadits ahad dalam menetapkan masalah akidah adalah keliru karena:

Pembedaan antara ahkam dan akidah dalam menerima khabar (hadits) ahad, di mana dalam ahkam hadits ahad diterima dan dalam akidah ia tidak diterima merupakan sesuatu yang dimunculkan oleh orang-orang ahli kalam. Jika kita merujuk kepada sunnah Rasul, perbuatan sahabat dan tabiin maka kita tidak menemukan pembedaan seperti ini, yang ada justru sebaliknya.

Sunnah mutawatirah dari Rasulullah menetapkan bahwa Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam mengutus utusan dan dai sendiri-sendiri ke penjuru kota, kepada raja-raja dan penguasa-penguasa. Dai atau utusan ke daerah A misalnya tidak dalam jumlah besar yang mencapai derajat mutawatir, dan tak seorang pun dari para raja dan para penguasa yang menolak surat dan utusan Rasulullah dengan alasan hanya dibawa oleh satu orang saja, padahal surat-surat tersebut mengajak mereka masuk ke dalam Islam, apakah ini bukan bab akidah? Akidah paling besar malah. Tak satu pun dari mereka yang meragukan dan menyangsikan surat-surat tersebut. Jadi mereka, para raja dan para penguasa, di mana Rasulullah mengirim surat kepada mereka melalui utusan yang ahad, dan mereka mengakui itu adalah surat Rasulullah, lebih tahu adab daripada ahli kalam.

Contohnya adalah ketika Rasulullah mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman dan sebelum berangkat beliau mewasiatkan kepadanya agar memulai dakwahnya dengan tauhid. Muadz berangkat dan perkara pertama yang didakwahkannya adalah tauhid, kalau hadits ahad dalam masalah akidah tidak dipakai lalu apa gunanya Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam mengutus Muadz seorang dan untuk mengajak orang-orang Yaman kepada tauhid?

Pembedaan antara akidah dan ahkam dalam menerima dan menolak hadits ahad dibangun di atas dasar bahwa akidah tidak terkait dengan amal perbuatan dan bahwa amal perbuatan tidak terkait dengan akidah padahal kedua perkara tersebut batil secara mendasar karena Islam membatalkannya dan menetapkan sebaliknya, tidak ada hukum amali kecuali ia berpijak kapada dasar akidah yaitu iman kepada Allah dan tidak ada dasar akidah kecuali amal perbuatan merupakan bukti darinya.

Contohnya adalah firman Allah,

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ [النور : 2]

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belaskasihan kepada keduanya mencegahmu untuk menjalankan agama Allah.” (An-Nur: 2).

Ini adalah hukum amali, lalu Allah mengaitkannya dengan iman kepadaNya dan hari Akhir.

إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ [النور : 2]

“Jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhirat.” (An-Nur: 2).

Manhajul Istidlal ala Masa`il al-I’tiqad inda Ahlus Sunnah wal Jamaah, Utsman bin Ali Hasan.