Petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di Hari Jum’at

 (1) Haram puasa Hari Jum’at tersendiri. (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda),

إِنَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ يَوْمُ عِيْدٍ، فَلَا تَجْعَلُوْا يَوْمَ عِيْدِكُمْ يَوْمَ صِيَامِكُمْ، إِلَّا أَنْ تَصُوْمُوْا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ

“Sesungguhnya Hari Jum’at adalah hari raya, maka janganlah kalian menjadikan hari raya kalian sebagai hari berpuasa kalian, kecuali jika kalian berpuasa sebelumnya atau setelahnya.”[1]

(2) Makruh mengkhususkan malam Jum’at untuk Qiyamul Lail (shalat sunnah malam); berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

… لَا تَخْتَصُّوْا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي

“Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at dengan shalat sunnah malam di antara malam-malam lain….”[2]

(3) Membaca Surat Alif Lam Mim Tanzil (as-Sajdah) dan Surat al-Insan [setelah al-Fatihah] dalam Shalat Shubuh Hari Jum’at. [3]

(4) Memperbanyak membaca shalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di Hari Jum’at.[4]

(5) Membaca Surat al-Kahfi pada malam Jum’at dan Hari Jum’at; barangsiapa yang membacanya, maka cahaya (Surat al-Kahfi) itu akan menyinarinya antara dirinya dengan rumah tua (Ka’bah).[5]

(6) Para ulama berbeda pendapat dalam masalah mandi Jum’at; ada yang berpendapat wajib[6] dan ada yang berpendapat sunnah[7]. Dan hendaklah seorang Muslim mandi demi meraih keutamaan dan demi menghindari perbedaan pendapat tersebut.

(7) Mengkhususkan pakaian untuk Shalat Jum’at. Diriwayatkan dari Abdullah bin Salam radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda di mimbar pada Hari Jum’at,

مَا عَلَى أَحَدِكُمْ لَوِ اشْتَرَى ثَوْبَيْنِ لِيَوْمِ الْجُمُعَةِ سِوَى ثَوْبِ مِهْنَتِهِ

“Tidaklah ada beban (dunia) atas seseorang dari kalian, kalau dia membeli dua pakaian (yang salah satunya) untuk (dia pakai) Hari Jum’at selain pakaian kerjanya.”[8]

(8) Disunnahkan berangkat pagi-pagi ke Shalat Jum’at, disertai dengan mandi terlebih dahulu, mengenakan minyak wangi, dan bersiwak. Dari Aus bin Aus, beliau berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْتَسَلَ، ثُمَّ بَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ، وَدَنَا مِنَ الْإِمَامِ، فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ، كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ [عَمَلُ] سَنَةٍ [أَجْرُ] صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا

“Barangsiapa yang keramas pada Hari Jum’at dan mandi (secara total), kemudian berangkat di awal waktu dan mendapatkan awal khutbah, dia berjalan kaki dan tidak berkendara, (mengambil tempat duduk) dekat dengan imam lalu menyimak serta tidak berbuat sia-sia, maka dengan setiap langkahnya dia mendapatkan pahala satu tahun (lengkap dengan) pahala puasa dan shalat sunnah malamnya.”[9],[10]

(9) Di Hari Jum’at terdapat suatu waktu untuk terkabulnya doa, dan berdasarkan pendapat mayoritas as-Salaf, waktu tersebut adalah di akhir waktu setelah Ashar, dan inilah yang ditunjukkan oleh kebanyakan hadits-hadits (yang ada mengenai ini)[11], tetapi ada juga yang berpendapat bahwa waktu tersebut adalah di antara duduknya imam di mimbar dengan usainya Shalat Jum’at.

(10) Diam apabila imam telah mulai menyampaikan khutbahnya. Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ: أَنْصِتْ، وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ، فَقَدْ لَغَوْتَ

“Apabila engkau mengatakan kepada temanmu pada Hari Jum’at, ‘Diam,’ sementara imam sedang berkhutbah, maka sungguh engkau telah berbuat sia-sia.”[12]

Dan yang lebih utama adalah tidak berbicara setelah imam turun dari mimbar dan sebelum shalat (didirikan) kecuali untuk suatu hajat; berdasarkan hadits Salman,

… وَيُنْصِتُ حَتَّى يَقْضِيَ صَلَاتَهُ

“… dan diam hingga dia menyelesaikan shalatnya.”[13]

(11) Disunnahkan bagi orang yang shalat, apabila mengantuk berat, sedangkan dia berada di suatu tempat dari masjid, untuk berpindah ke tempat lain.[14]

(12) Tidak melangkahi pundak orang lain.

(13) Sebelum (shalat) Jum’at, tidak ada shalat sunnah yang dibatasi dengan waktu yang ditentukan kadarnya dengan jumlah rakaat tertentu; karena shalat sunnah seperti itu haruslah tsabit (ditetapkan) berdasarkan sabda atau perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sementara beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyunnahkan sesuatu mengenai itu. Sedangkan mengenai shalat sunnah setelah Jum’at, maka Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah berkata dalam Zad al-Ma’ad, “Dan dahulu apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah usai Shalat Jum’at, maka beliau masuk ke dalam rumah beliau, lalu shalat dua rakaat sunnah ba’diyah Jum’at[15], dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan orang yang telah shalat Jum’at untuk shalat sunnah setelahnya empat rakaat.[16] Guru kami, Abu al-Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, ‘Jika seseorang shalat sunnah ba’diyah Jum’at di masjid, maka hendaklah dia shalat empat rakaat, dan apabila dia shalat di rumahnya, maka hendaklah dia shalat dua rakaat’.”

(14) Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata mengenai petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat beliau dalam khutbah Jum’at, “Apabila beliau berkhutbah dalam keadaan berdiri pada Shalat Jum’at, maka para sahabat beliau mengitari beliau dengan pandangan wajah mereka tertuju kepada beliau, dan (sebaliknya) wajah beliau juga menghadap mereka saat khutbah.”

(15) Membaca Surat al-Jumu’ah dan Surat al-Munafiqun (usai al-Fatihah) dalam Shalat Jum’at, atau Surat al-A’la dan Surat al-Ghasyiyah, atau Surat al-Jumu’ah dan Surat al-Ghasyiyah.[17] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dan tidak disunnahkan membaca sebagian dari masing-masing surat tersebut, dan tidak pula membaca salah satunya dalam dua rakaat; karena yang seperti itu menyelisihi Sunnah.”[18]

(16) Disunnahkan tidur qailulah (siang hari) setelah Shalat Jum’at. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menganjurkan tidur qailulah ini, di mana beliau bersabda,

قِيْلُوْا فَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لَا تَقِيْلُ

“Berusahalah kalian tidur qailulah karena sesungguhnya setan itu tidak tidur qailulah.”[19]

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menentukan waktunya pada Hari Jum’at setelah shalat; berdasarkan hadits Anas radhiyallahu ‘anhu dia berkata,

كُنَّا نُبَكِّرُ بِالْجُمُعَةِ، وَنَقِيْلُ بَعْدَ الْجُمُعَةِ

“Kami biasa berangkat pagi menuju Shalat Jum’at, dan tidur qailulah setelah Shalat Jum’at.”[20]

(17) Boleh shalat di tengah hari pada Hari Jum’at, tetapi tidak pada semua hari lainnya; sebagaimana disebutkan dalam sejumlah hadits, (di antaranya),

ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ….

“… kemudian shalat apa yang ditakdirkan baginya (untuk bisa melakukannya)….”[21]

(18) Ancaman keras bagi orang yang meninggalkan Shalat Jum’at. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللّٰهُ عَلَى قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُوْنُنَّ مِنَ الْغَافِلِيْنَ

“Hendaklah orang-orang berhenti dari meninggalkan Shalat Jum’at, atau (kalau tidak) Allah benar-benar akan menutup hati mereka, kemudian mereka benar-benar akan menjadi orang-orang yang lalai.”[22]

Keterangan:

[1] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan Syaikh Ahmad Syakir berkata, “Isnadnya Shahih.” [Al-Musnad, 15/175].

[2] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 1144.

[3] Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khair al-Ibad, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Beirut: Mu`assasah ar-Risalah, 1415 H. 1/375. (Penerjemah menambahkan: Ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 891; dan Muslim, no. 880).

[4] Musnad Imam Ahmad, 4/8, dan sanadnya shahih. (Penerjemah menambahkan: terdapat dalil lain dari hadits Aus bin Aus radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan an-Nasa’i, no. 1374; Abu Dawud, no. 1047; dan Ibnu Majah, no. 1085, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, dan lainnya; serta lihat pula Shahih at-Targhib, no. 696).

[5] Sebagaimana yang diriwayatkan oleh ad-Darimi, no. 3283, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’.

[Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيْقِ

“Barangsiapa yang membaca Surat al-Kahfi pada malam Jum’at, maka dari cahaya (Surat al-Kahfi) itu akan menyinarinya antara dia dan rumah tua (Baitullah).” Ed.T.].

[6] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 877.

[7] Al-Albani membawakannya di Shahih an-Nasa`i, no. 1307.

[8] (Penerjemah berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 1078; dan Ibnu Majah, no. 1095: dari Abdullah bin Salam, dan dishahihkan oleh al-Albani).

[9] (Penerjemah berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, no. 6915 dan 15739; at-Tirmidzi, no. 496; an-Nasa`i, no. 1381 dan 1384; Abu Dawud, no. 345; Ibnu Majah, no. 1087. Dan hadits ini dishahihkan oleh al-Albani).

[10] Berangkat di awal waktu menuju Shalat Jum’at merupakan kebiasaan as-Salaf ash-Shalih, semoga Allah meridhai mereka semua, hingga Imam Abu Syamah berkata, “Di abad pertama biasa terlihat setelah fajar terbit, jalan-jalan penuh dengan orang-orang yang berjalan dengan obor-obor, dan penuh sesak, menuju masjid jami’ seperti pada hari Idul Fitri atau Idul Adha, hingga akhirnya semua itu telah punah (sekarang), karena itulah ada yang berkata bahwa bid’ah pertama yang dibuat-buat dalam Islam adalah meninggalkan berpagi-pagi menuju masjid jami’.”

[11] Sebagaimana yang diriwayatkan an-Nasa`i, (no. 1389, Pent.), dan dishahihkan oleh al-Albani, no. 1316.

[12] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 851.

[13] Diriwayatkan oleh an-Nasa`i,  no. 1330, dan dishahihkan oleh al-Albani.

[14] Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 532. (Diriwayatkan pula oleh Ahmad, no. 4727; dan Abu Dawud, no. 1119: dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dan dishahihkan oleh al-Albani. Pent.).

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَلْيَتَحَوَّلْ مِنْ مَجْلِسِهِ ذٰلِكَ

“Apabila seseorang dari kalian mengantuk (di masjid) pada Hari Jum’at, maka hendaklah dia berpindah dari tempat duduknya itu.”

[15] (Ini berdasarkan sejumlah hadits dan di antaranya adalah hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan al-Bukhari, no. 937 dan Muslim, no. 882. Pent.).

[16] (Berdasarkan hadits Abu Hurairah  yang diriwayatkan Muslim, no. 881. Pent.). Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا

“Apabila salah seorang dari kalian telah selesai Shalat Jum’at, maka hendak-lah dia shalat empat rakaat sesudahnya.”

[17] Shahih Muslim, no. 877 dan 878.

[18] Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khair al-Ibad, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Beirut: Mu`as-sasah ar-Risalah, 1415 H. 1/381.

[19] Shahih al-Jami’, no. 4431. (Penerjemah menambahkan: Al-Albani berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam ath-Thib, 12/1; dan dalam Akhbar Ashbahan, 1/195, 353 dan 2/69, dan al-Albani menghasankannya. Lihat ash-Shahihah, no. 1647).

[20] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 905.

[21] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 883.

[22] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 865.

Referensi:

Panduan Lengkap dan Praktis Adab & Akhlak Islami Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Majid Sa’ud al-Ausyan, Darul Haq, Cetakan  VI, Dzulhijjah 1440 H. (08. 2019 M.)