Adab-adab Menghadiri Pengajian dan Majelis Ilmu

1) Hendaklah orang yang menghadiri pengajian (atau majelis ilmu) membaguskan penampilannya dan menyiapkan persiapannya, hingga mereka berkata, “Orang yang menghadiri majelis (hendaklah) menyiapkan diri, membaguskan diri untuk para hadirin, mandi, menyisir rambut dan jenggotnya, membaguskan sorban dan pakaian, mengenakan parfum dan minyak wangi, bersiwak (menggosok gigi) dengan siwak, dan mengenakan pakaian putih, dan bercermin terlebih dahulu sebelum datang.”

2) Berjalan dengan langkah sedang (tidak cepat dan tidak pula lambat, Pent.), dan memulai (terlebih dahulu) mengucapkan salam kepada siapa yang dijumpainya.

3) Apabila masuk ke dalam masjid, hendaklah terlebih dahulu shalat sunnah Tahiyyatul Masjid sebelum duduk.

4) Berusaha duduk dekat dengan guru, dan tidak menunjuk kepada gurunya dengan tangannya, dan tidak mengedipi (untuk menyindir) dengan kedipan matanya.

5) Hendaklah dia tidak melangkahi pundak orang (apabila terlambat datang, Ed.), tetapi hendaklah dia duduk di mana majelis itu berujung, kecuali bila gurunya mengizinkannya untuk maju ke depan.

6) Hendaklah dia tidak membangunkan orang lain dari tempat duduknya (lalu dia duduk padanya), dan tidak pula duduk di tengah-tengah (di depan) lingkaran majelis, dan tidak juga duduk di antara dua orang sahabat kecuali dengan seizin mereka berdua, lalu apabila mereka berdua melapangkan tempat untuknya, maka dia boleh duduk dan bergabung dengan mereka.

7) Menggunakan sapaan (ucapan) yang lembut dalam berbicara, dan berakhlak baik terhadap teman-temannya dan orang-orang yang hadir dalam majelisnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.”[1]

Dan mereka ini tentu lebih utama diperlakukan demikian.

8) Diutamakan melaksanakan majelis ilmu di masjid, tetapi jika tidak bisa, maka boleh dilaksanakan di rumah-rumah; karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa melaksanakan majelis khusus untuk kaum perempuan, di mana beliau bersabda, “Tempat kalian berkumpul adalah di rumah fulanah.”

9) Mengambil posisi dengan menghadap kiblat sebisa mungkin, dan majelis dibentuk secara melingkar. Dan inilah sebabnya para penyusun kamus-kamus bahasa berkata bahwa kata halaqah (majelis ilmu) adalah sekelompok orang yang berkumpul secara melingkar.[2]

10) Tidak apa-apa seorang guru duduk di tempat yang lebih tinggi (kursi misalnya) apabila orang-orang yang hadir banyak.

11) Membuka pelajaran yang ingin disampaikan dengan syahadat dan shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan sebagian ahli hadits ada yang mengawali pelajaran yang disampaikannya dengan satu surat dari al-Qur’an.

12) Memohonkan rahmat dan mendoakan kebaikan bagi gurunya, dan sebisa mungkin membela gurunya bila ada pergunjingan yang diarahkan terhadap gurunya, namun jika tidak mampu, hendaklah dia meninggalkan majelis tersebut.

13) Hendaklah seorang guru menjelaskan kata-kata yang samar (tidak jelas) dan asing apabila melewatinya, sedangkan apa yang tidak dia ketahui, maka sebaiknya mendiamkannya, serta tidak menyampaikan apa-apa yang tidak mampu dipahami oleh akal orang-orang awam.

14) Seorang guru hendaklah tidak membuat orang-orang yang hadir menjadi bosan dan tidak membentak mereka. Dan tidak apa-apa sesekali menutup majelis dengan cerita atau kisah yang ajaib dan anekdot apabila seorang guru melihat adanya kejenuhan di wajah orang-orang yang hadir, sampai ada yang berkata, “Kisah-kisah itu bagaikan tali yang dapat digunakan untuk menjerat hati orang-orang.”[3]

15) Di akhir majelis, hendaklah tidak lupa membaca doa Kaffaratul Majlis.

16) Meninggalkan perdebatan, pertikaian, dan perbincangan yang tidak memiliki faidah dalam majelis.

17) Tidak bersikap angkuh terhadap majelis yang dihadiri oleh orang-orang fakir miskin.

18) Menyimak secara seksama hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tenang, penuh adab, dan khusyu’.

19) Di antara syarat seorang guru (yang harus terpenuhi, Pent.) adalah rendah hati (tawadhu’).

20) Seorang ulama Salaf tidak menyukai para penuntut ilmu yang menemui seorang guru dengan mencium kepalanya.

21) Seorang guru hendaklah memotivasi para penuntut ilmu yang ikhlas dalam majelis.

22) Waspada dari sikap sok berilmu.

23) Menyimak dengan seksama dan tidak menyibukkan diri ketika pelajaran tengah berlangsung.

24) Tidak membiasakan diri memotong ucapan syaikh ketika menyampaikan pelajaran.

25) Mengatur dan mengurutkan majelis sama dengan membagi pelajaran berdasarkan hari. Ibnu Mas’’ud radhiyallahu ‘anhu biasa menyampaikan hadits pada Hari Kamis. Dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma biasa memulai memberikan pelajaran kepada ahli tafsir, kemudian ahli hadits, kemudian ahli fikih, kemudian ahli syair, dan seterusnya.

26) Seorang guru hendaklah tidak meminta yang masih muda untuk memimpin. Dan hendaklah mereka diminta untuk bersikap ikhlas. Diriwayatkan bahwa suatu kali salah seorang dari mereka bernafas (keras) dalam majelis, maka sang guru berkata, “Jika itu adalah karena Allah, maka sungguh nafasmu telah suci, tapi jika bukan karena Allah, maka sungguh engkau telah binasa.”

27) Hendaklah majelis ilmu itu memotivasi untuk berbuat kebajikan. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Aku mempersaksikan Allah agar tidak ada bersama kita orang yang memutuskan tali silaturahim; karena kita ingin berdoa dan kita ingin agar doa tersebut dikabulkan untuk kita.”

28) Hendaklah dalam majelis ilmu ada suasana imaniyah, nasihat, wejangan, dan seterusnya.

29) Harus menjaga rahasia majelis.

30) Wafatnya seorang guru di kalangan Salaf adalah suatu musibah besar.

31) Biasanya seorang guru akan menunjuk seseorang dari muridnya yang akan menggantikannya mengajar di majelis setelahnya.

32) Tidak terpedaya dengan banyaknya para penuntut ilmu yang fasik dan (memiliki kebiasaan) menyimpang. Terdapat riwayat dalam Aja’ib al-Atsar, dari seorang guru ahli fikih yang mumpuni dalam berbagai masalah, akan tetapi dia adalah seorang penyair pelawak, dan bersama semua itu, majelisnya bertambah banyak, lebih dari tiga ratus orang murid.

33) Mengusir orang-orang sesat dan para perusak dari majelis sebagai ta’zir dan teguran keras serta demi mencegah fitnah dan keburukan mereka, sebagaimana diusirnya Washil bin Atha’[4] (oleh Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah dari majelis beliau).

34) Apabila suatu pelajaran tidak dihormati, maka pelajaran tersebut tidak bermanfaat.

35) Di antara adab (yang harus dimiliki) seorang guru:

a. Mengetahui kadar ukuran (kapasitas) dirinya dan hak orang lain.

b. Menentukan hari-hari (jadwal) pengajian, dan jika seorang guru telah menentukan dan menjanjikan akan menyampaikan pelajaran pada hari tertentu, maka tidak sepatutnya dia terlambat apalagi tidak datang serta mengingkari janjinya, kecuali dengan sebab suatu udzur, seperti sakit dan semisalnya.

c. Hendaklah seorang guru rendah hati terhadap murid-muridnya, dan senantiasa menjaga diri (menghindari hal-hal yang tercela, Pent.).

36) Senantiasa memiliki rasa takut kepada Allah untuk berkata atas nama Allah tanpa ilmu; karena perbuatan seperti itu telah disandingkan Allah dalam al-Qur’an dengan perbuatan syirik.[5]

37) Hendaklah yang hadir dalam suatu majelis adalah dari kalangan yang memiliki level kemampuan sejenis, dan daya pemahaman yang mendekati.

38) Menunda komentar-komentar hingga akhir pelajaran.

39) Memberikan senggang waktu tertentu antara satu tema dengan tema lainnya.

40) Mendahulukan penyampaian tema utama daripada tambahan-tambahan dan komentar-komentar.

41) Menetapkan batas (target) minimal yang dituntut untuk semua peserta, dan meragamkan prasarana untuk menyampaikan manfaat (maksudnya, membuat variasi alat peraga, Ed.T.).

42) Bila seorang guru belum mencapai derajat mampu mentarjih permasalahan, hendaklah dia tidak mentarjih; akan tetapi cukup mengemukakan pendapat-pendapat yang ada, atau mengatakan bahwa ulama fulan memfatwakan demikian.

43) Tidak melakukan pembacaan kitab yang membosankan. Oleh karena itu, para ulama sangat memperhatikan murid yang membacakan, orang yang minta didiktekan, dan yang minta disampaikan.

44) Menetapkan waktu istirahat di antara pelajaran-pelajaran itu.

45) Menetapkan waktu khusus untuk menyambut tamu jika waktu memungkinkan.

46) Hendaklah seorang guru bersikap dermawan terhadap orang-orang yang menghadiri majelisnya.

Referensi:

Panduan Lengkap dan Praktis Adab & Akhlak Islami Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Majid Sa’ud al-Ausyan, Darul Haq, Cetakan  VI, Dzulhijjah 1440 H. (08. 2019 M.)

Keterangan:

[1]   Shahih at-Targhib, no. 3160. (Pent. menambahkan: Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, no. 20847, 20894; dan at-Tirmidzi, no. 1987; dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi).

[2]   Lihat Mukhtar ash-Shihah, Zainuddin ar-Razi (w. 666 H.), Beirut: al-Maktabah al-Ashriyyah, 1420 H, hal. 150.

[3]  Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya hati manusia ini bisa jenuh sebagaimana badan merasa jenuh, maka carilah kisah-kisah hikmah (yang menyentuh) untuknya.”

Aisyah radhiyallahu ‘anha juga pernah berkata kepada Ubaid bin Umair, “Janganlah sekali-kali engkau membuat orang-orang jenuh serta membuat mereka putus asa.”

Imam az-Zuhri rahimahullah apabila ditanya tentang suatu hadits, maka beliau berkata, “Jadikanlah asam lalu campurkan pembicaraan tentang hadits dengan lainnya hingga hati-hati manusia terbuka (untuk menerima).”

Dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Legakanlah jiwa-jiwa manusia, karena jiwa itu apabila benci kepada sesuatu, maka ia menjadi buta (tidak bisa menilai).” (Al-Adab asy-Syar’iyyah wa al-Minah al-Mar’iyyah, Muhammad bin Muflih al-Hanbali, Np: Alam al-Kutub, t.th, 2/102).

[4]   Dia adalah: Washil bin Atha’ al-Ghazzal. Dia dinamakan dengan al-Ghazzal karena gemar bolak balik ke pasar tempat berkumpulnya orang yang gemar mendengar syair cinta di kota Bashrah. Kunyahnya adalah Abu Hudzaifah, dan dia adalah tokoh utama golongan Mu’tazilah. Dan golongan Mu’tazilah inilah yang berkata bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Washil ini adalah di antara imam pakar berbicara fasih dan ilmu kalam [dahulu dia pelat (cadel) untuk mengucapkan ra’, lalu dia menggantikannya (huruf ra) dengan huruf ghain, sehingga dia menghindari huruf ra dalam khutbah yang disampaikannya, lalu dia menjadikan permisalan dalam hal itu]. Mereka dinamakan Mu’tazilah (yang berasal dari asal kata اِعْتَزَلَ yang arti dasarnya adalah memisahkan diri), karena Washil mulanya menghadiri majelis Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah, lalu Washil memisahkan diri darinya, dan sekelompok orang mengikutinya (me’misahkan diri), maka mereka dikenal dengan Mu’tazilah (yang artinya orang-orang yang memisahkan diri). [Al-Alam, 8/108].

[5]   Dalam ilmu tidak ada istilah “saya kira” atau “mungkin”; karena ini adalah agama; Anda harus berilmu dengan yakin (secara pasti) atau Anda diam.