yyyCoba perhatikan! ketika kalangan kaum tarekat menetapkan bagi diri mereka jumlah bacaan dzikir yang tidak ada dalilnya, maka ajran baru mereka itu pun mengakibatkan mereka melakukan banyak bid’ah, seperti menggunakan tasbeh dan mewajibkannya bagi diri mereka, menggunakannya sebagai simbol dan ciri, mengalungkan-nya di leher, dan beraneka macam keyakinan, serta berlebih-lebihan dalam menggunakannya, sehingga badan mereka keberatan mem-bawanya, sehingga tasbeh itu pun digantungkan di atap dan dinding rumah. Bahkan, orang-orang yang terlalu berlebihan itu sampai tak sanggup berdiri membawanya. Sementara itu, kalangan ahli ibadah berbeda-beda dalam hal penggunaan tasbeh ini menurut jenis, cara, waktu, tempat, dan bilangannya. Kemudian pada tahap selanjutnya, bentuk tasbeh ini pun berkembang kepada alat yang terbuat dari besi (elektronik), sampai melampaui batas larangan Allah ta’ala, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman.

Maka, wajib bagi setiap hamba yang mau menasihati dirinya sendiri, agar menjauhi hal baru (bid`ah) di dalam agama ini, dan agar mencukupkan diri dengan hanya meneladani nabi dan rasul yang terakhir, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam beserta para sahabatnya. Karena itu, ting-galkanlah tasbeh, wahai hamba Allah, dan teladanilah Nabimu, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam semua hal, seperti dalam hal jumlah bacaan dzikir khusus (muqayyad), serta menghitungnya dengan bantuan jari-jari tangan, lalu biasakanlah untuk berdzikir kepada Allah ta’ala sebanyak-banyaknya tanpa terikat dengan jumlah yang tidak pernah diajarkan oleh syariat Islam, dan bersemangatlah berdzikir dan berdo`a yang cakupannya luas.

Janganlah Anda mudah terpedaya dengan adanya penggunaan tasbeh oleh sebagian kalangan imam terkemuka, semisal al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullahSesungguhnya kebiasaan dan tradisi memiliki posisi yang sangat vital, mengingat tradisi sangatlah dominan. Berbagai tradisi dan kebiasaan tersebut bisa membangun berbagai landasan, dan sebaliknya juga bisa menghancurkannya, disamping juga menjadi sandaran dalil, kebenaran argumen (alasan), dan kaidah-kaidah tasyri’. Coba Anda lihat bagaimana para imam terkemuka -dengan kemuliaan dan ketinggian posisi mereka- telah melakukan kesalahan dalam beberapa pembahasan tauhid. Itu semua terjadi karena perkembangan dan berbagai iklim yang sedang melingkupi mereka, seperti segi para guru, murid, dan masyarakat umum. Juga karena lemahnya proses pembaharuan (tajdid) terhadap agama ini. Kami memohon kepada Allah ta’ala agar mengampuni dosa-dosa kami dan mereka, dan agar mengumpulkan kami bersama dengan mereka di surga-Nya nanti. Amiin.

Wajib pula bagi seorang muslim yang mau menasihati dirinya sendiri, agar tidak merasa asing atau benci terhadap hukum ini, disebabkan telah mengganjal kebiasaan dan tradisinya, serta membid-’ahkan aturan-aturan tasawuf dan berbagai amalan zuhud. Hendaknya dia merasa cukup dengan tuntunan nabi dan rasul terakhir, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak memprioritaskan jalan yang lain.

Akhirnya, saya akhiri kajian ini dengan sebuah pasal yang telah ditulis oleh Ibnul Hajj rahimahullah di dalam“al-Madkhal”, (3/214-215). Beliau berkata, “Pasal: Dan termasuk bab ini pula, apa yang dilakukan oleh sebagian mereka yang berupa pengalungan tasbîh di leher mereka.” Sungguh, khalifah ‘Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada Tamim ad-Dari radhiyallahu ‘anhu: “Kamu menginginkan aku mengatakan: Aku adalah Tamim ad-Dari, maka kenalilah aku.” Tidaklah maksud beliau di sini melainkan untuk mengingatkan orang-orang dengan berbagai hukum syar’i yang diperintahkan untuk diperlihatkan dan disebarluaskan. Sedangkan memperlihatkan tasbeh dan berhias dengannya itu tidak punya akses dalam inti ucapan tersebut. Terlebih, bila itu untuk suatu kete-naran, dan sebagai bid’ah untuk kebutuhan yang tidak syar’i.

Yang mirip dengan hal itu adalah apa yang dilakukan oleh sebagian orang yang mengaku berilmu yang menggunakan tasbeh di tangannya dan membiasakannya, seperti layaknya seorang wanita yang memakai gelang di tangan. Dalam keadaan seperti itu dia ber-bicara dengan orang-orang tentang berbagai masalah ilmu dan lain-lain, sambil mengangkat-ngangkat tangannya serta menggerak-gerakkan tasbeh tersebut di lengannya.

Sebagian mereka ada yang memegang tasbeh secara terang-terangan di hadapan banyak orang, sambil menggerakkan tasbeh tersebut satu persatu, seolah-olah dia sedang menghitung bacaan dzikir pada tasbeh tersebut. Padahal, dia sedang berbicara dengan orang-orang mengenai isu sana sini dan tentang apa yang telah dilakukan orang lain serta apa yang telah terjadi pada orang lain. Sementara diketahui, bahwasanya dia hanya mempunyai satu lisan. Penghitungannya terhadap ucapan-ucapannya pada tasbîh tersebut, adalah suatu kebatilan, dikarenakan dia tidak mempunyai lisan yang kedua, yang karenanya dia bisa berdzikir dengan lisan yang satu, dan berbicara sesuka hatinya dengan lisan yang kedua. Maka, tidak ada lagi motifasi lain, selain bahwa penggunaan tasbeh dalam keadaan seperti ini adalah untuk mencari ketenaran, tujuan riya’ (pamer), dan sebagai perbuatan bid’ah.

Aneh sekali orang yang benar-benar menghitung pada tasbeh tersebut, menghitung kebaikan-kebaikan yang dia lakukan, dan sebaliknya tidak menghitung kejelekan-kejelekan yang telah ia lakukan. Sungguh, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,

حَاسِبُوْا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا.

“Introspeksilah diri kalian sebelum kalian dihisab (oleh Allah ta’ala).

Di sini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan agar seseorang meng-introspeksi diri sendiri atas apa yang telah diperbuat pada dirinya, dengan keyakinannya dan seluruh anggota badannya, selanjutnya dia menghadapkan kesemuanya itu kepada sunnah (hadits). Lalu, perbuatan yang sesuai dengan sunnah, maka dia pun memuji Allah ta’ala dan tetap takut terhadap berbagai tipu muslihat yang telah dia lakukan tanpa sadar. Sedangkan apa yang tidak sesuai, maka dia pun menganggap hal itu sebagai musibah, dan segera bertaubat kepada Allah ta’ala, agar berkah dari taubat tersebut bisa menghapus dosa dan membersihkan cela (kesalahan) yang telah dia perbuat. Landasan amalan bagi kelompok seperti ini, adalah waspada terhadap berbagai kejelekan, bisikan setan dan keinginan nafsu. Setelah itu, berusaha untuk melakukan kebaikan. Mereka telah mengatakan, bahwasanya meninggalkan kejelekan itu lebih wajib daripada mengerjakan kebaikan, mengingat terdapat sebuah hadîts Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengatakan:

اِتَّقِ الْمَحَارِمَ تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ.

“Jauhilah berbagai hal yang haram, niscaya kamu menjadi manusia yang paling taat beribadah.” Lihat Shahih al-Jami’, (1/82, no. 100).

Diceritakan dari sebagian mereka, bahwasanya ada yang pernah menangis selama empat puluh tahun. Lalu, ditanyakan kepadanya sebab kenapa ia menangis?. Dia menjawab: “Saudaraku bertamu kepadaku, lalu aku hidangkan kepadanya lauk ikan, dan dia pun memakannya. Kemudian, aku mengambil debu dari dinding tetanggaku untuk digunakannya mencuci kedua tangannya, maka aku pun menangis karena debu yang telah aku ambil tersebut selama empat puluh tahun lamanya.” Dikisahkan pula, ada sebagian yang lain mempunyai kejadian yang sama, lalu ditanyakan kepadanya tentang sebabnya, maka dia pun menjawab: “Aku pernah melihat puncak gunung, lalu aku mendakinya dan beristirahat di sana, lalu aku pun menangis di atasnya, karena ketidakrelaanku terhadap apa yang telah ditimpakan oleh Allah ta’alakepadaku.” Keadaan mereka dalam arti seperti ini sangat banyak sekali.

Jika memang keadaan mereka ini seperti apa yang telah kami gambarkan, lalu apa pendapat anda tentang orang yang memikul beban? dan apa saja beban tersebut? Lalu, dia pun -inna lillahi wa inna ilahi raji’un– membatasi semua kebaikan dan tidak mau memikirkan lawanannya. Sebagian mereka ada yang berdalih, bahwasanya tasbeh berfungsi sebagai penggerak dan pengingat (kepada Allah ta’ala). Maka, betapa jeleknya, jika penggerak dan pengingat tersebut tidak dari hati nurani. Sungguh ada hadîts yang mengatakan, “bahwasanya amalan (yang dilakukan) secara sembunyi-sembunyi itu lebih utama tujuh puluh kali lipat daripada amalan (yang dilakukan) secara terang-terangan.” Ini sebagai suatu amalan. Lalu, apa pendapat anda tentang memperlihatkan sesuatu yang bukan sebagai bentuk amalan, meskipun gambarnya adalah bentuk amalan? Orang-orang pun masih selalu menyembu-nyikan berbagai amalan mereka, disertai keikhlasan mereka yang tulus. Mereka dengan keadaan semacam ini, sangat takut terhadap masuknya berbagai tipu muslihat kepada diri mereka. Lalu, inna lillahi wa inna ilahi raji’un, di manakah keadaan semacam ini dari keadaan orang-orang yang selalu memegang tasbeh? Secara keseluruhan, hal itu dilakukan untuk popularitas.

Yang demikian ini berkenaan dengan hukum penggunaan tasbîh untuk menghitung bacaan dzikir. Karenanya, hal itu merupakan variabel bahwa tasbîh tersebut merupakan cara atau sarana ibadah yang diada-adakan dan bid’ah yang diharamkan, di samping ia mengandung unsur tasyabbuh (sikap meniru) dengan orang-orang kafir, dan mengadakan cara baru dalam beribadah. Sesungguhnya tidak melakukan hal seperti itu, memproduksinya, menjualnya, mewakafkannya, menghadiahkannya, menerimanya, serta menyewakan tempat (toko) kepada orang yang akan menjualnya, karena hal itu termasuk memfasilitasi perbuatan dosa dan melampaui terhadap keabenaran syari`at. Allah i[]ta’ala berfirman, “…dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (al-Ma’idah: 2)

Adapun penggunaan tasbîh sebagai hiburan dan mainan, maka sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk menjauhi sikap meniru orang-orang kafir, dan tidak memperbanyak golongan ahli bid’ah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah di dalam “Minhaj as-Sunnat an-Nabawiyyah”, (4/152-153) dalam memaparkan sebuah keterangan panjang berkaitan dengan larangan untuk menyerupai kaum Rafidhah (syi’ah), seraya berkata, “Yang dikatakan oleh para pengikut madzhab Hanafi dan yang lainnya adalah bahwasanya jika kepada suatu kaum itu hanya mendo`akan Ali bin Abi Thalib saja dengan mengabaikan para sahabat Nabi lainnya, dan jika seseorang mendo`akan Ali radhiyallahu ‘anhu, ia akan dikira termasuk golongan mereka, maka hukum mendo`akan Ali itu hukumnya makruh, agar ia tidak diduga sebagai seorang rafidhah (Syi`ah). Sedangkan jika ia tahu, bahwa kaum itu bersha-lawat kepada Ali dan kepada segenap sahabat Nabi, maka tidak makruh.”

Perkataan semacam ini juga disampaikan oleh seluruh tokoh ulama terkemuka. Yaitu jika di dalam suatu amalan yang dianjurkan (mustahab) terdapat kerusakan yang lebih dominan, maka amalan tersebut tidak menjadi mustahab (dianjurkan) lagi. Berdasarkan kaedah ini, maka di antara kalangan fuqaha (ulama fikih) ada yang berpen-dapat untuk meninggalkan sebagian amalan yang hukumnya mustahab, jika hal itu sudah menjadi simbol (syi’ar) bagi mereka (kelompok sesat). Akan tetapi ia tidak meninggalkan suatu kewajiban karena hal seperti itu. Namun beliau mengatakan bahwasanya dalam memper-lihatkan apa yang menjadi simbol bagi mereka mengandung unsur meniru mereka (kelompok Rafidhah). Sehingga tidak bisa dibedakan lagi antara mana orang yang sunni (Ahlussunnah) dan mana yang menganut faham Rafidhah.

Mashlahat pembedaan diri dari kelompok Rafidhah tujuannya untuk menjauhi dan menyelisihi mereka itu lebih besar dari sekedar manfaat yang ada pada amalan yangmustahab tersebut.

Pendapat yang disampaikan ini akan diperlukan dalam beberapa masalah apabila ternyata di dalam pembauran dan penyerupaan (meniru) tersebut terdapat kerusakan yang lebih dominan daripada manfaat yang ada pada amalan yang dianjurkan tersebut. Namun, hal ini bersifat kondisional yang tidak menuntut agar amalan yangmasyru’ dijadikan sebagai amalan yang tidak masyru’ untuk selama-nya. Bahkan, hal ini seperti memakai simbol orang-orang kafir, meskipun yang demikian ini boleh-boleh saja bila tidak menjadi simbol bagi mereka. Semisal, mengenakan sorban kuning; hal ini diper-bolehkan jika tidak menjadi simbol bagi orang-orang Yahudi. Namun, jika sorban tersebut menjadi simbol bagi mereka, maka menjadi terlarang.

Begitu pula, pengharaman terhadap tasbeh tersebut akan lebih ditekankan bila ternyata tasbeh tersebut terbuat dari bahan emas, perak, dan bahan yang dilumuri atau dilapisi dengan keduanya, atau dengan salah satunya. Dan jika tasbeh tersebut terbuat dari bahan yang najis, seperti dari tulang binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya, maka yang demikian ini merupakan bentuk pengharaman lain, di samping shalatnya menjadi batal karenanya. Maksudnya, jika tasbeh tersebut terbuat dari materi yang najis, seperti dari tulang binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya seperti bighal. (Fatwa dari komisi al-Azhar yang dimuat di dalam majalah al-Azhar pada tahun 1949 H, edisi: 21, hal. 62-63.) (shalat menjadi batal jika tasbeh itu dibawa shalat. Penj)

Di antara lemahnya tatakrama dan sedikitnya sensitifitas (kepekaan) adalah bila Anda sedang berbicara kepada seseorang, sementara dia bermain-main dengan alattasbîhnya, namun Anda tetap membebani diri Anda untuk memuliakannya dan bercengkrama dengannya. Jika bersiwak (menggosok gigi) saja dimakruhkan dalam keadaan seperti itu, meskipun pada dasarnya sebagai pembersih mulut dan penyebab keridhaan Allah ta’ala, lalu bagaimana dengan tasbeh yang notabenenya sangat dicela dalam agama Islam? Demikianlah, ringkasan dari apa yang bisa saya kaji berkenaan dengan masalahtasbîh. Wallahu A’lam. 

[Sumber: Dinukil dari kitab Tashhîh ad-Du’â`, karya Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid, edisi bahasa Indonesia: Koreksi Doa dan Zikir, pent. Darul Haq Jakarta]