Kebahagiaan adalah terwujudnya harapan dan tertepisnya kekhawatiran. Jika dua perkara ini terealisasikan pada diri seseorang atau pada sebuah rumah tangga maka dia akan merasakan kebahagiaan. Satu dari keduanya tidak cukup menciptakan, jika harapan terwujud akan tetapi apa yang dikhawatirkan terjadi, atau sebaliknya apa yang dikhawatirkan tidak terjadi namun harapannya tidak terwujud, dalam kondisi ini kebahagiaan tidak terwujud sempurna.

Bahagia adalah sebuah keadaan, barangsiapa berada di dalamnya maka dia merasa tenang dan tenteram, kondisi di mana hati tidak tertekan dan tidak terpasung, barangsiapa mengenyamnya maka dia bahagia.

Ranah kehidupan rumah tangga, tujuannya membangun kebahagiaan untuk anggota-anggotanya dan kebahagiaan sulit terwujud dengan pemaksaan, karena pemaksaan berarti tekanan. Orang yang tertekan berada dalam ketakutan dan kecemasan, lalu di mana bahagianya?

Dalam akad pernikahan seorang wali dianjurkan untuk meminta persetujuan anak perempuan dan tidak memaksanya menikah dengan orang yang tidak disukainya. Karena jika hal ini dilakukan, maksud penulis wali memaksakan kehendaknya, maka anak perempuan ini berada dalam tekanan, dia masuk ke dalam rumah dan hidup bersama orang asing dengan keterpaksaan. Dalam kondisi ini akan sulit baginya meraih kebahagiaan. Sebaliknya jika si gadis masuk ke dalam pernikahan dengan rela maka dia akan melakukan segalanya dalam rumahnya dengan rela karena itu sudah menjadi pilihannya atas dasar kerelaan darinya.

Terkadang seseorang, pemuda atau gadis, masuk ke dalam akad pernikahan karena terpaksa oleh keadaan di mana si gadis sudah bunting dulu, ini adalah kondisi yang tidak membahagiakan, karena tekanan perkawinan dari kehamilan si gadis membuat keduanya sumpek, akibatnya adalah resiko tak bahagia cukup lebar, karena besarnya unsur pemaksaan.

Jika kebahagiaan tidak terwujud dengan adanya pemaksaan, maka sebaliknya yang benar. Kebahagiaan terwujud dengan adanya kerelaan dan keikhlasan, hati yang ridha dan dada yang lapang. Di antara suami istri ada hak dan kewajiban yang setara dan sederajat sesuai dengan posisi masing-masing secara adil dan berimbang. Jika sesuatu itu sudah menjadi hak pasangannya yang sekaligus berarti kewajibannya, maka hendaknya yang bersangkutan menunaikannya dengan rela dan ikhlas, tanpa merasa terpaksa dan tertekan. Dengan ini semua urusan rumah tangga akan berjalan baik dan lancar. Kebahagiaan pun terwujud.

Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam telah memberikan bimbingan kepada para suami agar pandai-pandai bermuamalah dengan istri ketika beliau menyatakan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk, maksudnya seperti tulang rusuk, beliau menyatakan bahwa tabiat tulang rusuk itu bengkok, jika kamu membiarkannya maka ia tetap bengkok, namun jika kamu meluruskannya maka kamu mematahkannya. Wanita pun demikian, jika dia dihadapi dengan kekerasan dan pemaksaan maka ibarat tulang rusuk yang hendak diluruskan, patah dan akhirnya memerlukan usaha-usaha perbaikan yang tidak mudah.

Ada wilayah-wilayah di mana suami dengan istri sebagai dua pribadi yang berbeda tidak bertemu padanya, kita tidak mungkin menemukan pasangan yang seia-sekata seratus persen, cocok dalam segala hal tanpa ada perbedaan. Sikap bijak adalah membiarkan wilayah-wilayah ini selama tidak merusak kebahagiaan, justru kalau dipaksakan malah bisa merusak, jadi tak usah memaksa. Wallahu a’lam.