Wahib bin al-Warad melihat sekelompok orang tertawa terbahak-bahak pada hari raya Ied, lalu dia berkata,⁣

إِنْ كَانَ هَؤُلَاءِ تُقُبِّلَ مِنْهُمْ صِيَامُهُمْ فَمَا هَذَا فِعْلُ الشَّاكِرِيْنَ، وَإِنْ كَانَ لَمْ تُتُقُبِّلْ مِنْهُمْ صِيَامُهُمْ فَمَا هَذَا فِعْلُ الْخَائِفِيْنَ⁣

“Jika puasa mereka diterima, maka itu bukan perbuatan orang-orang yang bersyukur. Dan jika puasa mereka tidak diterima, maka itu bukan perbuatan orang-orang yang takut kepada Allah.”⁣
⁣(Syu’abul Iman, al-Baihaqi, 3/346-347)⁣
Apa pesan yang bisa kita petik dari ungkapan di atas? Bahwa berakhirnya Ramadhan bukan berakhir pula amal shalih kita.⁣
Justru, jiwa yang sudah dilatih, raga yang sudah dibiasakan, dengan berbagai amal shalih. Dilatih dan dibiasakan pula meninggalkan dosa maupun kemaksiatan. Selepas Ramadhan, semua itu harus tetap melekat dalam keseharian kita.⁣
Ibnu Rajab berkata, “Kembali lagi melakukan puasa setelah puasa Ramadhan, itu tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan. Karena Allah jika menerima amalan seorang hamba, Allah akan memberi taufik untuk melakukan amalan shalih setelah itu. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama, ‘Balasan dari kebaikan adalah kebaikan selanjutnya.’ Oleh karena itu, siapa yang melakukan kebaikan lantas diikuti dengan kebaikan selanjutnya, maka itu tanda amal kebaikan yang pertama diterima. Sedangkan yang melakukan kebaikan lantas setelahnya malah ada kejelekan, maka itu tanda tertolaknya kebaikan tersebut dan tanda tidak diterima.” (Lathaif al-Ma’arif, Ibnu Rajab, hal 388)⁣
Karena itu, tetap jaga amal shalih kita, selalu memohon agar Allah menerimanya dan berhusnudzanlah kepada-Nya.⁣
Satu yang tidak boleh dilupakan; tetap merasa khawatir jika Allah tidak menerima amal shalih itu. Karena sikap ini yang akan menjaga kita selalu berlomba-lomba dan semangat dalam beramal shalih.⁣
Abdul Aziz bin Abi Rawad berkata, “Aku mendapati mereka orang-orang shalih sangat bersungguh-sungguh dalam mengerjakan amal shalih. Ketika amal shalih itu sudah dikerjakan, muncul kegelisahan dalam hati mereka, apakah diterima atau tidak amal shalihnya?” (Lathaif al-Ma’arif, Ibnu Rajab, hal 376)