Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّتِيْ نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا

“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat.” (QS. an-Nahl: 92)

Asal makna ayat ini ialah sebagai permisalan orang-orang yang melanggar sumpah yang telah diikrarkan. (Lihat Tafsir ath-Thabari, 14/342)

Tapi ada pesan universal yang dapat kita petik, kebiasaan Raithah binti Sa’d mengurai kembali rajutan yang susah payah dibuatnya adalah kedunguan yang sangat parah. Sehingga dia pun dikenal sebagai perempuan yang dungu. (Lihat Tafsir al-Baghawi, 5/39-40)

Karenanya, siapa saja yang sudah bersusah payah mengumpulkan kebaikan, ketaatan dan pahala di bulan Ramadhan. Namun setelah Ramadhan melambaikan salam, tumpukan hasil panennya ditumpahkan begitu saja terbuang. Tidak dijaga, malah dibuatnya hangus oleh dosa dan kemaksiatan yang kembali dilakukan. Maka dia pun tak ubahnya seperti Raithah binti Sa’d.

Sekuat mungkin, yuk kita jauhi kedunguan itu, dengan terus berusaha istiqamah di atas kebenaran dan kebaikan yang selama ini dilakukan, sekalipun intensitas dan volumenya berkurang.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

“Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang dilakukan secara kontinu (terus menerus) walaupun sedikit.” (HR. Muslim, no. 1866)

Waki’ keluar bersama Sufyan ats-Tsauri pada hari raya Ied, lalu dia berkata, “Sungguh, pertama kali yang kami lakukan pada hari raya ini ialah menundukkan pandangan mata kami.” (Lihat al-Wara’, Ibnu Abi Dunya, hal. 63)