Reporter: Drs. Binawan Sandhi Kusuma

Setelah survey yang dilakukan kemarin, tim berencana memberikan bantuan logistik di Lhok Nga bagi penduduk korban tsunami yang setiap harinya melintasi jalan antara Lamno dan Banda Aceh. Jarak kedua kota ini adalah sekitar 85 km atau 3 hari 3 malam dengan berjalan kaki. Setiap harinya kurang lebih ada 150 orang melintasi sungai Krueng Raba tersebut. Kebanyakan dari mereka berasal dari Lamno, Lhoong dan Leupueng. Mereka sendiri telah menempuh perjalanan dengan jalan kaki selama 1-3 hari. Rata-rata tujuan mereka adalah mencari bahan pangan dan sandang serta mencari nasib sanak saudara mereka.

Dua belas anggota Tim SIWAKZ AL-SOFWA dengan dua mobil berangkat dari base camp di Ketapang menuju Lhok Nga pukul 06.30 WIB. Tim kembali menyusuri jalan kabupaten yang sunyi antara Banda Aceh dan Meulaboh. Sepanjang jalan yang tampak hanyalah puing-puing rumah tanpa penghuni dan belasan mayat di tepi jalan yang belum sempat dibawa oleh truk pengangkut mayat pada hari sebelumnya.

Kurang lebih 30 menit kemudian, Tim tiba di Lhok Nga tepat di lokasi jembatan putus. Lokasi ini terletak di depan Polres Lhok Nga dan kompleks militer TNI-AD serta berjarak hanya sekitar 200 meter dari pantai. Kami segera menurunkan bantuan pangan dan menyeberangkannya dengan rakit. Satu mayat perempuan yang telah memutih akibat air laut tiba-tiba muncul di hadapan kami. Mengingat kami tidak membawa perlengkapan untuk evakuasi, mayat tersebut kami dorong ke tepi sungai sehingga tim evakuasi mayat yang tiba pada siang hari dapat mengambilnya dengan mudah.

Sesampai di seberang sungai, truk TNI yang kami harapkan berada di sana ternyata tak kunjung tiba, padahal kami membawa barang bantuan:60 karung kecil beras, 1 karton sarden dan 2 karton saus dan beberapa kardus kotak air mineral. TNI memang menyediakan truk angkutan logistik di sini untuk di bawa ke dermaga pabrik PT Semen Andalas Indonesia (SAI) yang berjarak sekitar 2,5 km dari posisi kami. Untuk pengamanan lalu-lintas bantuan, mereka juga menempatkan 12 personil TNI yang telah berada di sana sejak sehari setelah tsunami terjadi.

Untuk mendapatkan truk tersebut, 3 anggota tim segera berjalan kaki di antara puing-puing rumah menuju Posko TNI di Pabrik PT Semen Andalas (SAI) yang telah hancur oleh tsunami. Di sepanjang jalan tampak beberapa gundukan tanah kuburan korban tsunami dan tepat di pertengahan perjalanan. Juga tampak dua buah kapal (1 buah kapal tongkang dan 1 kapal berukuran besar pengangkut pasir besi bahan baku semen) kandas melintang di jalan sementara di kejauhan tampak sebuah kapal raksasa terbalik di ujung dermaga. Menurut keterangan yang kami dapat, korban di pabrik semen ini sekitar 600 orang pekerja tewas dan baru ditemukan sekitar 400 jenazah.

Akhirnya kami berhasil menaikkan barang-barang tersebut ke atas truk TNI setelah bernegosiasi dengan Serka M. Guntur, selaku komandan regu di sana. Serka yang ramah ini juga mengingatkan kami agar berhati-hati dan selalu berkelompok. Hal ini mengingat dua hari sebelumnya terjadi kontak senjata antara TNI-AD dengan GAM yang memakan korban 7 anggota GAM tewas. Kami juga diingatkan agar waspada terhadap bahan peledak, amunisi dan senjata yang diperkirakan masih berserakan di lokasi tersebut. Untuk diketahui, lokasi yang tak jauh dari pabrik SAI ini adalah markas Yonif TNI-AD sebelum tersapu tsunami.

Sekitar pukul 08.30 WIB, sebelum kami sempat membawa bantuan ke dermaga pabrik SAI yang sudah porak-poranda, pengungsi mulai berdatangan dari Lamno, Leupueng dan Lhoong menuju Banda Aceh maupun ke arah sebaliknya sehingga kami terpaksa membagikan di tepi sungai tersebut. Sayangnya stok air mineral kami telah habis sehingga diputuskan untuk menambah perbekalan tambahan.

Menjelang siang hari, sesuai rencana semula, kami memindahkan Posko di tepi jembatan ke dermaga pabrik SAI dengan dibantu truk tersebut. Hal ini karena kami mendengar ada kapal nelayan yang dapat membawa kami ke desa Leupueng dan Lamno. Di Posko baru ini sekitar 20 penduduk menemui kami untuk mengambil bahan pangan yang kami sediakan. Mereka meminta agar kami membuat Posko di Leupueng dan Lamno saja karena di pabrik semen ini keadaannya tandus serta mereka pun tidak perlu berjalan jauh ke Banda Aceh, bila Posko didirikan di desa mereka.

Untuk memenuhi permintaan mereka, kami mengirimkan 2 anggota tim untuk menyusuri jalan ke arah desa Leupueng dengan menyewa sepeda motor dari seberang sungai. Jalan kabupaten ini ternyata tak mudah dilalui, masih banyak puing rumah dan pohon melintang di tengah jalan. Bau mayat membusukpun masih terasa di sini.

Setelah 1,5 km, perjalanan kami terhenti dengan putusnya jembatan kedua ke arah Leupueng. Maka dari itu kami memutuskan mengirimkan bantuan pangan melalui kapal nelayan yang berlabuh di pantai pabrik semen tersebut. Awalnya, ABK kapal keberatan karena tidak ada surat pengantar. Mereka khawatir dianggap sebagai penyelundup logistik bagi GAM. Akhirnya mereka bersedia setelah kami mengambil salinan rekomendasi BAKORNAS PBP untuk SIWAKZ dan memberikan catatan pengantar di bawahnya untuk Camat Lamno.(bsk/12012005)