Sekali lagi penulis hendak menyodorkan bukti kongkrit, mudah-mudahan hal ini tidak mengundang kejenuhan dan kebosanan pembaca, bahwa kebahagiaan rumah tangga tidak melulu bergantung kepada melimpahnya materi, dengan materi yang boleh dikata serba terbatas kebahagiaan pun bisa direngkuh dan digapai. “Kekayaan bukanlah dengan banyaknya harta, akan tetapi kekayaan adalah kekayaan jiwa.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Asma’ binti Abu Bakar ash-Shiddiq

Shahabiyah mulia ini adalah saudara Aisyah istri Rasulullah saw, putri orang terbaik dan termulia umat ini setelah nabinya Abu Bakar ash-Shiddiq, seorang wanita pemberani, tegar dan cerdik, berpartisipasi besar dalam perjuangan dakwah Rasulullah saw terutama dalam proses hijrah beliau ke Madinah, dialah yang menyiapkan segala keperluan Rasulullah saw dan bapaknya selama dalam perjalanan hijrah, dia pula yang mengirimkan makanan untuk Rasulullah saw dan bapaknya selama keduanya tertahan di gua Tsur.

Wanita ini bersuamikan seorang pahlawan besar Islam, az-Zubair bin al-Awwam, seorang sahabat dalam deretan sepuluh sahabat yang dijamin surga oleh Rasulullah saw, putra bibi Rasulullah saw Shafiyyah binti Abdul Mutthalib, laki-laki pemberani yang tidak pernah tertinggal dari peperangan bersama Rasulullah saw, dalam setiap peperangan dia selalu berada di garis depan dan memberikan peranan yang signifikan serta pengaruh yang besar bagi kemenangan kaum muslimin.

Dalam perang Badar az-Zubair adalah satu dari dua orang prajurit penunggang kuda, orang kedua adalah al-Miqdad bin al-Aswad. Dalam perang ini Rasulullah saw mengangkat az-Zubair sebagai panglima pasukan sayap kanan, sementara al-Miqdad sebagai panglima sayap kiri.

Dalam perang Uhud az-Zubair menorehkan namanya sebagai pahlawan sejajar dengan mertuanya Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin al-Khatthab, Ali bin Abu Thalib, Mush’ab bin Umair, Thalhah bin Ubaidillah, Abdullah bin Jahsy, Saad bin Muadz, Saad bin Ubadah, Saad bin ar-Rabi’ dan orang-orang yang setara dengan mereka.

Dalam perang Khandaq Rasulullah saw mengajak dan mendorong kaum muslimin untuk berjihad menghadapi pasukan Ahzab, maka az-Zubair maju ke depan menjawab seruan dan dorongan beliau, hal ini terulang sampai tiga kali sehingga Rasulullah saw bersabda, “Setiap nabi mempunyai hawari (pendukung setia) dan hawariku adalah az-Zubair.” (HR. Muslim).

Dari Abdullah bin az-Zubair berkata, “Pada perang Ahzab aku dan Umar bin Abu Salamah ditugasi menjaga para wanita, aku melihat az-Zubair menunggang kudanya mondar-mandir ke Bani Quraizhah dua atau tiga kali, ketika aku pulang, aku bertanya kepadanya, “Wahai bapakku, aku melihatmu mondar-mandir.” Bapakku menegaskan, Wahai anakku, apakah kamu melihatku?” Saya menjawab, “Ya.” Dia berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘Siapa yang bersedia pergi ke Bani Quraizhah untuk mengetahui berita tentang mereka?’ Maka aku berangkat, ketika aku kembali, beliau mengumpulkan bapak dan ibunya untukku, beliau bersabda, ‘Aku korbankan bapak dan ibuku demi dirimu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Inilah az-Zubair bin al-Awwam, suami Asma` binti Abu Bakar, dari sisi materi az-Zubair tidak termasuk dalam deretan hartawan, akan tetapi Asma` memilihnya bukan karena pertimbangan harta, akan tetapi karena perkara yang jauh lebih mulia dan luhur daripada harta, yakni fadhail, keutamaan-keutamaan yang dimilikinya dengan dasar pengakuan dari Nabi saw di mana sebagian darinya telah penulis paparkan di atas.

Lantas bagaimana kehidupan suami istri ini? Silakan pembaca menyimak langsung apa yang dituturkan oleh sang istri Asma` sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahihnya.

Asma` berkata, “Az-Zubair menikahiku sementara di bumi ini dia tidak mempunyai harta, hamba sahaya atau apa pun selain seekor unta untuk mengambil air dan seekor kuda, aku yang memberi makan kudanya dan mengambil air, aku menjahit timba dari kulit dan membuat adonan, aku sendiri tidak pandai membuat roti, yang membuat roti adalah para wanita Anshar tetanggaku, mereka adalah wanita-wanita baik, aku membawa biji kurma dari ladang az-Zubair yang berjarak sekitar dua pertiga farsakh hasil dari pemberian Rasulullah saw di atas kepala, suatu hari ketika aku sedang membawa biji kurma di atas kepalaku, aku berpapasan dengan Rasulullah saw bersama beberapa orang-orang Anshar, beliau memanggilku kemudian beliau bersabda, “Ikh, ikh.” –Kata untuk unta supaya ia menderum sehingga Asma` bisa naik ke punggungnya- Beliau ingin memberiku tumpangan, tetapi aku merasa malu berjalan bersama kaum laki-laki, aku teringat az-Zubair dan kecemburuannya, dia termasuk orang paling cemburu, Rasulullah saw mengetahui aku malu maka beliau berjalan meninggalkanku, aku pulang kepada az-Zubair, aku berkata kepadanya, “Aku bertemu Rasulullah saw pada sat aku membawa biji kurma di atas kepala, beliau bersama beberapa orang sahabat, beliau menghentikan untanya dan hendak menderumkannya supaya aku naik ke punggungnya, aku malu kepada beliau dan aku teringat dirimu yang cemburu.” Maka az-Zubair berkata, “Demi Allah, kamu membawa biji kurma adalah lebih berat bagiku daripada kamu naik bersama beliau.” Asma` berkata, “Sampai bapakku Abu Bakar mengirim seorang pelayan yang mengurusi kuda, seolah-olah dia telah memerdekakanku.”

Sebuah kehidupan yang mungkin dalam timbangan kita merupakan kehidupan yang berat, akan tetapi hal itu tidak berarti yang menjalaninya secara otomatis sengsara dan menderita. Asma sendiri menjalani kehidupannya sebagai istri az-Zubair dengan penuh kesabaran yang membahagiakan, kesabaran ini pada akhirnya berbuah manis dengan limpahan harta hasil dari penaklukan-penaklukan dan rampasan perang yang didapat oleh suaminya bersama Rasulullah saw, harta ini membuat kehidupan Asma` makmur, namun begitu harta bukan sesuatu yang tertanam di dalam hatinya, dengan hartanya ini Asma` menorehkan namanya ke dalam deretan wanita-wanita dermawan yang selalu memberi dan membantu, sampai kepada ibunya yang masih musyrik pun dia tetap memberi.

Pelajaran berharga bagi pasangan suami istri, memulai kehidupan rumah tangga dengan kesederhanaan yang diiringi dengan kesabaran yang membahagiakan akan membuka kelapangan rizki dan kehidupan yang lebih baik seiring dengan berjalannya waktu. Itulah karunia Allah yang Dia berikan kepada hamba-hambaNya yang dikehendakiNya dan Dia adalah penilik karunia yang luas.

Hasil dari pernikahan suami istri ini adalah Abdullah bin az-Zubair, anak pertama yang lahir dalam Islam, hal itu karena ibunya mengandungnya di Makkah, ketika tiba masa hijrah sang ibu membawanya dalam kandungan dari Makkah ke Madinah, tiba di Madinah sang ibu melahirkannya, inilah bayi pertama yang lahir di kalangan Muhajirin setelah hijrah ke Madinah, sehingga Abdullah ini dikenal sebagai anak pertama yang lahir dalam Islam.

Abdullah putra Asma tumbuh menjadi seorang pemuda pemberani, cerdas dan giat menuntut ilmu sehingga dia termasuk ke dalam deretan al-Abadilah al-Arba’ah, empat orang Abdullah dari kalangan sahabat yang sepantaran dalam umur dan setara dalam dalam ilmu dan keutamaan. Mereka adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amru bin al-Ash dan Abdullah bin az-Zubair.

Seorang wanita shalihah yang mengawali kehidupan rumah tangganya dengan seorang suami atas dasar keluhuran agama dan akhlak mulia dengan kesederhanaan dan kesabaran, walaupun demikian dia tetap meraih dan merengkuh kebahagiaan, materi yang tidak terbayangkan sebelumnya hadir dengan sendirinya, lebih dari itu kelahiran seorang putra yang menjadi salah seorang ulama besar sekaligus pahlawan Islam dari rahimnya, bukankah ini adalah sesuatu yang membahagiakan? Wallahu a’lam.
(Izzudin Karimi)