Teks Jawaban Mufti Kerajaan Saudi Arabia Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Terhadap Soal-soal yang Diajukan Kepada Beliau dari Hadirin

Samahatusy Syaikh sangat menekankan supaya mentaati waliyul amri dalam perkara ma’ruf. Dengan ketaatan tersebut urusan umat ini akan berjalan lancar, stabilitas keamanan dapat dikendalikan dan masyarakat akan terhindar dari kekacauan. Syaikh Ibnu Baz menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘waliyul amri’ adalah ulama, umara’, penguasa dan sultan. Beliau juga menegaskan bahwa kewajiban mentaati waliyul amri sebatas dalam perkara ma’ruf dan bukan maksiat. Beliau menerangkan bahwa penguasa yang memerintahkan kepada perkara maksiat tidak wajib ditaati, namun walaupun begitu rakyat tidak dibenarkan memberontak penguasa. Beliau juga menjelaskan kapan rakyat boleh memberontak penguasa.

Syariat yang mulia ini telah menetapkan batasan-batasan sebagai berikut:

  • Mereka mendapati kekafiran yang nyata pada penguasa.
  • Mereka mempunyai sandaran dalil dari Allah (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dalam dakwaan mereka tersebut.
  • Sanggup dan kuasa mengganti penguasa tersebut.

Jika mereka tidak sanggup karena masih lemah, maka mereka tidak dibenarkan memberontak meskipun penguasa tersebut telah melakukan kekufuran yang nyata. Karena pemberontakan yang dilakukan dalam kondisi seperti itu justru akan membahayakan rakyat banyak dan menyalakan api fitnah. Di samping hal itu jelas bertentangan dengan motivasi sebenarnya yaitu perbaikan dan menciptakan maslahat bagi segenap umat. Beliau juga menjelaskan bahwa dalam kondisi demikian, rakyat cukup memberi nasihat, mengucapkan perkataan yang haq dan amar ma’ruf nahi mungkar sesuai kemampuan, itulah kewajiban umat jika begitu kondisinya.

Dalam jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan kepada beliau saat berlangsung acara pertemuan di Universitas al-Imam Turki bin Abdullah di Riyadh beliau menjelaskan urgensi ketaatan dan tetap melazimi manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah serta peringatan keras dari Allah dan Rasul-Nya terhadap orang yang berusaha membangkang dan memecah belah kaum muslimin tanpa haq.

Beliau juga menerangkan bahwa undang-undang atau peraturan yang sejalan dengan syariat Islam tidaklah menjadi masalah (yaitu harus ditaati). Seperti undang-undang dan peraturan jalan raya dan urusan-urusan lainnya yang berguna bagi masyarakat umum dan tidak bertentangan dengan syariat. Sementara undang-undang yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat, tidak boleh ditaati sama sekali. Barangsiapa menghalalkan undang-undang yang bertentangan dengan syariat tersebut maka ia telah kafir. Ketika beliau ditanya tentang sikap terhadap penguasa yang menghalalkan undang-undang yang bertentangan dengan syariat beliau menjelaskan: “Kita taati mereka dalam perkara yang ma’ruf dan jangan mentaati mereka dalam perkara maksiat, hingga Allah mendatangkan pengganti yang terbaik bagi kita.”

Beliau sangat memperingatkan bahaya orang-orang yang menyeru kepada selain Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka tidak layak ditaati dan diikuti, tidak patut didengar ucapannya dan selayaknya dimusuhi. Inilah teks jawaban tersebut:

Soal: Apa yang dimaksud dengan mentaati waliyul amri yang tersebut dalam ayat, apakah mereka para ulama atau penguasa? Bagaimanakah sekiranya penguasa itu berlaku zhalim dan aniaya terhadap diri sendiri dan terhadap rakyatnya?

Jawab: Allah telah berfirman dalam kitab-Nya, artinya::

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. 4:59)

Ulil amri adalah para ulama dan umara’ (penguasa), yaitu penguasa dan ulama kaum muslimin. Mereka harus ditaati jika mereka memerintahkan kepada perkara yang ma’ruf bukan perkara maksiat. Seorang ulama dan penguasa mesti ditaati, sebab hanya dengan cara seperti itulah urusan rakyat akan berjalan dengan baik, keamanan akan tetap terjaga, seluruh urusan akan dapat dijalankan, orang yang teraniaya mendapat keadilan sementara orang yang zhalim mendapat peringatan. Apabila mereka tidak ditaati maka semua urusan akan hancur berantakan, yang kuat akan memakan yang lemah. Maka merupakan kewajiban mentaati penguasa maupun ulama dalam perkara ma’ruf. Seorang ulama tertuntut untuk menjelaskan hukum Allah, sementara penguasalah yang menjalankannya.

Demikianlah penafsiran yang benar tentang waliyul amri, yaitu ulama yang tahu tentang dienullah dan umara’ (penguasa) yang memerintah kaum muslimin, mereka tertuntut untuk menerapkan hukum Allah. Sementara rakyat wajib mendengarkan bimbingan para ulama dalam perkara yang haq dan wajib mematuhi penguasa dalam perkara yang ma’ruf. Namun jika mereka memerintahkan kepada perkara maksiat, baik yang memerintahkan itu umara’ ataupun ulama, maka tidak wajib ditaati. Jika seorang penguasa memerintahkan kamu meminum khamar, maka janganlah turuti perintahnya, janganlah meminum khamar! Jika mereka memintamu untuk memakan riba, maka janganlah penuhi permintaannya dan janganlah memakan riba! Demikian juga halnya terhadap para ulama, jika mereka mengatakan kepadamu sebuah perkara maksiat. Tentunya seorang ulama yang mengerti syariat tidak layak mengatakannya. Namun boleh jadi ulama tersebut ulama yang fasik. Apabila seorang ulama memerintahkanmu berbuat maksiat, maka janganlah taati perintahnya. Karena ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf saja. Sebagaimana disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits:

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ اْلخَالِقِ

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal mendurhakai Allah.”

Namun perlu diingat, tidak boleh memberontak penguasa sekalipun mereka berbuat maksiat. Kita wajib mematuhi mereka dalam perkara yang ma’ruf saja, dan tidak dibenarkan mentaati mereka dalam perkara maksiat serta tidak boleh memberontak mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَلىَ اْلمَرْءِ السَّمْعُ وَ الطَّاعَةُ فِي المَنْشَطِ وَ اْلمَكْرَهِ وَ فِيْمَا أَحَبَّ وَ كَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةِ اللهِ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةِ اللهِ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

“Seorang muslim wajib patuh dan taat (kepada umara’) dalam saat lapang maupun sempit, pada perkara yang disukainya ataupun dibencinya selama tidak diperintah berbuat maksiat, jika diperintah berbuat maksiat, maka tidak boleh patuh dan taat.”

Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ خَرَجَ عَنِ الطَّاعَةِ وَ فَارَقَ اْلجَمَاعَةَ وَ مَاتَ، مَاتَ مِيْتَةَ اْلجَاهِلِيَّةِ

“Barangsiapa membangkang terhadap penguasa dan memisahkan diri dari jama’ah lalu mati, maka ia mati secara jahiliyah.”

Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ وَلاَ يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ فَإِنَّ مَنْ فَارَقَ اْلجَمَاعَةَ مَاتَ مِيْتَةَ اْلجَاهِلِيَّةِ

“Barangsiapa melihat sebuah perkara maksiat pada diri pemimpinnya, maka hendaknya ia membenci kemaksiatan yang dilakukannya dan janganlah ia membangkang pemimpinnya. Sebab barangsiapa melepaskan diri dari jama’ah lalu mati, maka ia mati secara jahiliyah.”

Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيْعٌ يُرِيْدُ أَنْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ وَ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ فَاقْتُلُوْهُ كَائِنًا مَنْ كَانَ

“Siapa saja yang berusaha memecah belah persatuan kalian maka bunuhlah ia, siapapun orangnya.”

Maksudnya, kewajiban rakyat adalah patuh dan taat kepada ulama dan umara’ dalam perkara ma’ruf. Dengan begitu seluruh urusan akan lancar, masyarakat akan merasa aman, orang-orang yang teraniaya akan mendapat keadilan, orang-orang yang zhalim mendapat peringatan dan stabilitas keamanan tetap terjaga. Tidak dibenarkan memberontak penguasa dan memecah belah persatuan kaum muslimin kecuali apabila benar-benar didapati pada diri penguasa tersebut kekafiran yang nyata dan memiliki hujjah yang nyata dari Allah (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Serta pemberontakan mereka itu terhadap penguasa yang telah jelas kekafirannya tadi dapat memberi manfaat bagi kaum muslimin, kezhaliman dapat dienyahkan dan Daulah Islamiyah dapat benar-benar ditegakkan. Adapun jika mereka tidak mampu, maka mereka tidak diperkenankan memberontak meskipun penguasa itu benar-benar kafir. Sebab jika masih nekad dengan tindakan mereka tersebut justru akan menimbulkan kerugian dan kerusakan umat serta menyalakan api fitnah dan pembunuhan semena-mena. Namun apabila mereka benar-benar mampu dan memiliki kekuatan untuk mengubah penguasa yang kafir lagi zhalim tersebut dan menggantinya dengan penguasa yang shalih dan mampu melaksanakan hukum Allah, mereka boleh melakukannya. Yaitu setelah memenuhi syarat-syarat di atas, yaitu mereka mendapati kekafiran yang nyata pada penguasa itu dan memiliki hujjah dari Allah serta memiliki kemampuan untuk memunculkan kebenaran dan menaikkan penguasa yang shalih dan punya kuasa menerapkan hukum Allah.”

Kemudian saudara penanya meneruskan pertanyaannya sebagai berikut:
Maksudnya ketidakmampuan mereka itu merupakan alasan bahwa tanggung jawab itu terangkat dari mereka?

Syaikh menjawab: “Benar! Hendaknya mereka menyuarakan kebenaran, menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, itu sudah cukup bagi mereka. Perkara ma’ruf ialah lawan dari perkara maksiat. Perkara yang diwajibkan syariat, disunnahkan dan dibolehkan termasuk kategori ma’ruf. Seperti perintah supaya tidak melanggar rambu lalu lintas, jika lampu merah, wajib berhenti. Hal semacam itu tentunya bermanfaat bagi segenap kaum muslimin, dan hal itu juga termasuk al-ishlah (perbaikan).

Pertanyaan berikut: “Apa hukumnya menerapkan undang-undang buatan manuisa? Apakah boleh dipatuhi, apakah seorang hakim atau penguasa menjadi kafir karena menerapkannya?

Jawab: Jika undang-undang tersebut tidak menyalahi syariat, tentunya hal itu tidak dilarang. Misalnya undang-undang peraturan lalu lintas dan jalan raya atau perkara-perkara lainnya yang berguna bagi kaum muslimin dan tidak bertolak belakang dengan syariat, maka tidaklah mengapa dipatuhinya.

Adapun undang-undang yang bertentangan dengan syariat, ia tidak boleh mematuhinya. Apabila diterapkan undang-undang yang berarti tidak ada hukuman atas pezina, pencuri dan peminum khamar, maka undang-undang seperti ini tentu saja batil. Jika penguasa tersebut menghalalkan undang-undang seperti ini hukumnya kafir. Jika ia katakan undang-undang seperti itu halal dan boleh diterapkan, berarti ia telah menghalalkan apa yang diharamkan Allah, hukumnya kafir.

Lalu bagaimana cara menyikapi penguasa tersebut?

Jawabnya: Kita mematuhinya dalam perkara yang ma’ruf, jangan sekali-kali mematuhinya dalam perkara maksiat hingga Allah mendatangkan penggantinya.