Salah satu adat jahiliyah yang dijalani istri yang ditinggal wafat suami adalah berkabung selama satu tahun dengan tinggal di sebuah rumah kecil dan sempit dengan berpakaian paling buruk tanpa menyentuh air, sehingga setelah satu tahun berlalu dia keluar dan pembaca bisa membayangkan keadaan wanita ini. Benar-benar sengsara.

Zaenab binti Ummu Salamah berkata, “Apabila seorang wanita ditinggal wafat suaminya maka dia mengunci diri di ruangan sempit dan memakai pakaian terburuk, dia tidak menyentuh minyak wangi dan tidak pula lainnya sampai satu tahun berlalu kemudian dihadirkan seekor hewan – keledai atau domba atau burung – lalu dia mengusapkan kulitnya kepadanya tidak jarang dia mengusapkannya kepada sesuatu kecuali sesuatu itu mati, kemudian dia keluar lalu dia disodori kotoran hewan maka dia melemparkannya kemudian dia kembali memakai minyak wangi dan lainnya.”

Setelah itu Islam datang dengan memangkas masa berkabung dari satu tahun menjadi empat bulan sepuluh hari, yang bersangkutan tidak perlu tinggal di rumah sempit dan kecil, akan tetapi cukup di rumah di mana dia tinggal bersama suami sebelum suami meninggal, yang bersangkutan tidak perlu memakai pakaian terburuk, akan tetapi cukup dengan meninggalkan berhias demi menjaga hak suami, dan yang bersangkutan tidak harus mengunci diri di dalam rumah tanpa keluar darinya, akan tetapi dia boleh keluar jika memang ada hajat untuk itu.

Firman Allah, “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (Al-Baqarah: 234).

عَنْ أُمِّ عَطِيَّة أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَليَْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تُحِدَّ اْمرَأَةٌ عَلىَ مَيِتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، وَلاَ تَلْبَسُ ثَوْبًا مَصْبُوْغًا، إِلاَّ ثَوْبَ عَصْبٍ، وَلاَ تَكْتَحِلْ، وَلاَ تَمَسَّ طِيْبًا، إِلاَّ إِذَا طَهُرَتْ، نُبْذَةً مِنْ قِسْطٍ أَوْ أَظْفَارٍ.

Dari Ummu Athiyyah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Seorang wanita tidak berihdad atas mayit lebih dari tiga malam, kecuali atas suami empat bulan sepuluh hari, dia tidak memakai baju yang dicelup kecuali baju ashab, tidak bercelak dan tidak memakai minyak wangi kecuali jika dia bersuci dengan qusth dan azhfar.” (Muttafaq Alaihi).

Baju ashab adalah baju dari Yaman, benangnya diikat di beberapa bagian sebelum ditenun, lalu dicelup sehingga bagian yang terikat tetap putih lalu darinya dibuat pakaian.
Sedangkan qusth adalah ranting pohon yang beraroma wangi apabila ia dibakar, sementara azhfar adalah salah satu bentuk wewangian. Maksud hadits adalah wanita yang berihdad memakai wewangian pada saat dia bersuci dari haid.

Dari Jabir berkata, bibiku ditalak, dia hendak keluar untuk memanen kurmanya, lalu seorang laki-laki melarangnya, bibiku datang kepada Rasulullah saw, beliau bersabda, “Petiklah kurmamu, karena kamu bisa bersedekah atau berbuat baik.” (HR. Muslim)

Dari Furai’ah binti Malik bahwa suami pergi mencari para hamba sahayanya lalu para hamba sahaya tersebut membunuhnya, Furai’ah berkata, lalu aku meminta izin kepada Rasulullah saw untuk pulang ke keluargaku karena suamiku tidak meninggalkan rumah yang dia miliki dan nafkah, beliau bersabda, “Ya.” Akan tetapi ketika aku beranjak beliau memanggilku dan bersabda, “Tinggallah di rumahmu sampai masa iddahmu habis.” Furai’ah berkata, “Lalu aku beriddah di rumah selama empat bulan sepuluh hari, dan setelah itu Usman menetapkannya.” (HR. Ahmad dan Imam yang empat).

Di antara bentuk kezhaliman jahiliyah kepada wanita adalah tidak diberikannya mahar kepadanya, atau diberikan akan tetapi setelah itu suaminya memakannya dengan cara yang batil.

Dalam Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari dari Ibnu Abbas berkata, “Seorang suami makan mahar yang dia berikan kepada istrinya dan lainnya, dia tidak meyakini bahwa itu adalah dosa.”

Islam hadir dan mewajibkan mahar atas suami sebagai hak wajib bagi istri, suami tidak diperkenankan menggugatnya tanpa kerelaan dari istri, suami dilarang bersiasat demi mendapatkan mahar ini dengan cara apapun, misalnya dengan memperlakukan istri dengan buruk agar istri menunutut cerai, dengan begitu istri akan mengembalikan mahar yang diberikan suami kepadanya.

Firman Allah, “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4)

Imam Ibnu Katsir berkata, “Wajib atas seorang laki-laki memberikan mahar kepada wanita tanpa bisa tidak dan hendaknya dia membayarkannya dengan rela… Jika setelah itu wanita merelakan untuknya setelah mahar ditentukan atau diberikan sebagian darinya maka silakan memakannya dengan halal dan baik.”

Firman Allah, “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (An-Nisa`: 20)

Imam Ibnu katsir berkata, “Jika salah seorang dari kalian hendak berpisah dengan istrinya dan menggantinya dengan yang lain maka janganlah dia mengambil sedikit pun dari apa yang telah dia berikan kepadanya sebagai maharnya walaupun mahar tersebut sebesar qinthar.”

Firman Allah, “Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (An-Nisa`: 19)

Imam Ibnu katsir berkata, “Janganlah kamu memperlakukannya dengan buruk agar dia meningglkan apa yang telah kamu berikan kepadanya sebagai mahar atau sebagian darinya, atau sebagian dari hak-haknya dengan terpaksa dan tertekan.”

Di antara kezhaliman jahiliyah adalah hak talak bagi suami yang tidak berbatas, akibatnya istri tidak bisa terlepas dari suami meskipun suami telah mentalaknya seratus kali.

Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas berkata, “Hal itu jika seorang laki-laki mentalak istrinya maka dia lebih berhak merujuknya walaupun dia telah mentalaknya tiga kali.”

Islam hadir dan ia membatasi hak talak bagi suami hanya dengan tiga kali talak, tidak hanya itu istri diberi hak menuntut talak dari suami dalam kondisi tertentu demi mewujudkan kemaslahatan rumah tangga.

Firman Allah, “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik, tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya, barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (Al-Baqarah: 229).

Imam Ibnu Katsir berkata, “Ayat ini mengangkat apa yang berlaku di awal Islam, bahwa suami lebih berhak rujuk kepada istrinya walaupun dia telah mentalaknya seratus kali, karena hal ini mengandung kerugian bagi istri maka Allah membatasai hanya dengan tiga kali, Allah membolehkan rujuk pada talak pertama dan kedua dan menjadikan istri bain dengan talak yang ketiga.”

Inilah sebagian bentuk pengangkatan Islam terhadap beberapa tatanan jahiliyah yang merugikan wanita, bacalah dengan hati bersih dan nalar yang lurus semoga Allah membimbingmu dan kita semua ke jalan yang benar.